[Setidaknya] Ia Tidak Pernah Merasakan Patah Hati

"Mom, kayak apa sih rasanya jatuh cinta?"

Aku mengalihkan perhatianku dari majalah yang sedang kubaca lalu menatap Agan sambil tersenyum. "Memangnya Agan tahu cinta itu seperti apa?" Aku balas bertanya.

Anak lelakiku itu tampak berpikir keras. "Kalau dari novel-novel yang Agan baca dan film-film yang Agan tonton, jatuh cinta itu kayaknya menyenangkan, ya, Mom," ujarnya malu-malu seraya tersenyum.

Aku balas tersenyum padanya. Perlahan aku mendekatinya. "Jika Agan berpikiran begitu, ya, jatuh cinta memang seperti itu," ujarku.

Ia tampak tidak puas dengan jawabanku. "Tapi, kadang di novel sama film, kalau dua orang jatuh cinta itu kadang berantem, terus nangis, terus kadang juga si cowok pergi, atau si cewek..."

Aku memakai sarung tangan karet lalu membelai rambutnya pelan. "Hus. Sebenarnya, jatuh cinta itu menyenangkan, kok. Tapi prosesnya saja yang kadang buat orang jadi seperti itu. Sudah, Agan tidur aja. Udah malam. Besok dilanjutin ya," kataku sambil melepaskan belaian dari rambutnya. 

Ia beringsut menjauh lalu naik ke kasurnya. "Good night, Mom."

"Sweet dream, honey," aku membalas ucapannya lalu mematikan lampu.

***

 Tiga bulan kemudian.

"Mom, kayaknya aku jatuh cinta."
Aku mengerutkan kening, heran mendengar ucapan dari anak lelaki 17 tahunku itu.

"Mom, kalau misalnya aku selalu kepikiran sama seseorang, terus suka setiap kali liat dia tersenyum, dan gak mau buat dia sedih, itu namanya apa, Mom? Jatuh cinta, bukan?"

Aku diam. Menajamkan indra pendengaranku siapa tahu sedang salah mendengar ucapannya.

"Mom, aku jatuh cinta," ulangnya lagi.

Aku masih saja bergeming. Aku pastikan indra pendengaranku tidak salah. Agan bilang ia sedang jatuh cinta.

"Mom, itu namanya cinta, kan?"

Sebagai jawaban dari pertanyaannya itu, aku berjalan menjauh.


***

Tidak ada yang salah saat jatuh cinta, aku tahu hal itu. Tapi, apakah jatuh cinta bisa menerima sebuah keadaan? Agan, selama masa hidupnya, hanya mengenali dua perempuan. Aku dan Amanda, dokter pribadinya.

Agan adalah penderita Bubble Boy Disease, kondisi dimana penderitanya tidak memiliki sistem imun tubuh sehingga tidak bisa sedikitpun terkontaminasi kuman dan bakteri melalui kontak apapun seperti udara, sentuhan dan lain lain, jika terjadi kontaminasi dapat menyebabkan masalah serius untuk penderitanya bahkan dapat mengakibatkan kematian. Selama terbebas dari kontaminasi tersebut, penderita masih bisa beraktifitas seperti biasa, oleh karena itulah Agan harus ditempatkan di sebuah gelembung atau ruang kaca khusus yang steril dari kuman dan bakteri. 

Dan Agan tidak mungkin jatuh cinta denganku. Sudah pasti ia jatuh cinta dengan Amanda.

Aku menelungkupkan kepalaku ke dua telapak tanganku. Ini tak akan berhasil, pikirku. Agan tidak boleh patah hati.

***


Hari itu sudah malam, dan Agan sudah terlelap dalam mimpinya. Aku memanggil Amanda menuju ruang tengah.

Amanda tampak seperti biasa. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai indah melewati bahu. Wajahnya juga masih tampak cantik walaupun sudah hampir tengah malam. Senyum pun tidak berhenti menghiasi wajahnya. Jujur, siapapun pria pasti akan dengan mudah tertarik padanya.

Tapi,  kenapa harus Agan juga?

Aku duduk di sofa ketika Amanda datang menghampiri.

"Manda," sapaku duluan. Aku menekuri jemari di tanganku, gugup.

Amanda lalu mengambil tempat di hadapanku. "Iya, Bu."

"Ada yang ingin saya bicarakan?"

Manda menaikkan ujung alisnya. "Memangnya kenapa, Bu? Ada yang salah dengan Agan?" tanyanya heran.

Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan gemuruh di hatiku. "Bisa dikatakan seperti itu," ujarku pelan. 

"Kenapa, Bu?"

"A-Agan... Ia jatuh cinta padamu." Akhirnya aku keluarkan juga kata-kata itu. 

Aku melirik Amanda dari ujung mataku. Ia bergeming.

"Sa-saya tahu ini tidak akan mudah bu-buatmu," kataku gugup. "Ta-tapi bisakah Amanda membalas perasaannya --"

"Tapi, Bu --"

"Setidaknya berpura-puralah." Isakanku keluar. Dadaku terasa amat sakit. "Pura-puralah membalas cintanya. I-ia tidak pernah merasa sesenang ini. Baru kali ini saya merasa ia benar-benar hidup. To-tolonglah."

Amanda masih saja bergeming. Tapi, dari ekspresinya aku tahu. Ia akan setuju.

***

Setelah hari itu, Amanda menjalankan tugasnya dengan baik. Menjadi dokter pribadi Agan sekaligus menjadi orang yang terpenting dari Agan. Itu kuketahui dari cerita Agan setelah Amanda pulang. Ia bercerita bagaimana Amanda menunjukkan alamat rumahnya, makan malam dengan hanya mereka berdua, menggambar bersama. Cerita-cerita itu ia ceritakan dengan semangat, seolah-olah hari-hari itu adalah hari-hari yang paling membahagiakan dalam hidupnya.

Dan dadaku semakin terasa sakit.

***

"Mom, Dokter Amanda sebentar lagi berulang tahun. Kira-kira aku kasih hadiah apa, ya, Mom?"

"Semua wanita suka bunga," ujarku sambil tersenyum.

"Kalau begitu, aku kana kasih mawar. Mom bisa belikan?" pintanya senang.

Aku mengangguk, dan ia pun kembali sibuk mengerjakan sesuatu.

Aku tidak tahu apa itu.

***

Serangan jantung.

Aku kena serangan jantung pagi ini.

Agan tidak ada di dalam ruang kaca. Ia pergi. Ia menghilang.

Ia tidak ada di kamar mandi, atau di dalam rumah, atau di atas, atau di dapur. Ia tidak ada di manapun.

Aku menangis sejadi-jadinya. Anak semata wayangku.... Mendadak aku teringat sesuatu.

Jangan-jangan...

Tidak... Ini tidak boleh terjadi....


***

Aku terduduk lesu di kursi tunggu rumah sakit. Dugaanku benar. Agan berlari keluar dari ruang steril untuk menemui Amanda di rumahnya. Hari ini adalah hari ulang tahun Amanda. Kenapa aku sama sekali tidak memperkirakan?

Aku mengutuk diriku sendiri. Setelah sampai di rumah Amanda, ia mendadak pingsan. Dua puluh menit dari situ, Agan langsung koma. 

Aku memeluk kakiku erat, takut terjadi apa-apa padanya. Seharusnya, Agan tidak perlu jatuh cinta seperti ini. Logikanya sudah hilang. Seharusnya Amanda tidak ada. Seharusnya...

Otakku dipenuhi kata seharusnya sampai terdengar bunyi satu nada yang memanjang.

Aku menangis sekencang-kencangnya.

***

Agan meninggal. Sistem imunnya tidak mampu menahan bakteri dan virus yang cepat menyebar di dalam tubuhnya. Tapi, aku cukup senang. Memang aku kecewa ia sudah tidak ada, tapi aku senang karena semasa hidupnya ia sudah pernah mengenal cinta.

Aku senang karena, setidaknya, ia tidak pernah merasakan patah hati.

***


Terinspirasi oleh video klip 
Afgan - Sabar



5 komentar