[CeriteraJuli] - Kenang-Kenangan Bernama Kenangan

Karena libur lebaran, cerita ini jadi terhambat juga. :( Jadi, Promp kelima dari @kampungfiksi adalah kenangan. Hmm... Jadi, bikin ini aja. Semoga menikmati. ^^

*
Gambar diambil dari sini

*

#5 Kenang-Kenangan bernama Kenangan

Kai


Kau tahu apa yang terjadi pada seseorang yang kemarin main hujan-hujanan sepanjang jalan menuju rumah?
Flu.
Kuulangi, flu.
Sepanjang hari kemarin, aku hanya bisa meringkuk di balik selimut, menonton siaran berita di televisi, dan akhirnya tertidur. Dan pagi harinya, aku bangun masih dengan kepala pening. Dalam hati aku mengutuki tentang insiden payung hitam dan perempuan kerdil kemarin.

“Mas Kaisar mau sekolah hari ini?”
Pertanyaan itu dilontarkan oleh si Mbok saat mengetahui keadaanku keesokan paginya. Dengan tubuh yang masih berat, aku bangkit dari tempat tidur.
“Iya, Mbok.”
“Tapi, Mas Kaisar kan demam. Nanti sakitnya tambah parah, loh.” Si Mbok menatap dengan raut muka khawatir.
Aku mengulas senyum kecil. Selama ini, di rumah ini, hanya Mbok yang dapat bersikap seperti ini. Mbok mengurusiku semenjak kecil, bahkan mungkin dari masih bayi. Oleh karena itu, aku merasa sikapnya adalah bukti bahwa ia tulus merawatku.
“Aku nggak apa-apa, kok, Mbok. Nanti kalau minum parasetamol juga sembuh,” kilahku.
“Kalau begitu, cepat ganti baju. Tuan sudah menunggu di bawah.”
Mendengar kata itu disebut, mataku langsung melebar. “Papa di sini?”
Mbok mengangguk. “Tuan sudah menunggu sejak tadi di meja makan.”
Aku mendesah berat. “Baiklah. Nanti aku ke sana,” ucapku lemas. “Mbok keluar aja dulu.”
Wanita itu menurut. Ia berjalan keluar ke arah pintu. Segera aku menyambar handuk lalu langsung menuju kamar mandi.
Dalam pikiranku, berbagai bergelayut yang membuahkan satu pertanyaan dengan tanda tanya besar di kepalaku.
Kali ini apa lagi?
*
Aku melihat pria itu duduk di meja makan dalam diam. Matanya tak henti menatap layar tablet yang cukup besar sambil sesekali meng-klik layar. Perawakannya masih sama seperti terakhir yang kutahu tentangnya: kemeja rapi, dasi, dan celana dasar. Kacamata baca juga masih tergantung di wajahnya.
Sesungguhnya tak banyak yang kuingat tentangnya. Hanya definisi itu. Hanya perawakannya itu. Selebihnya kabur. Samar.
Aku menghela napas sekali lalu masuk ke meja makan. Tanpa bersuara, aku duduk di kursi tempat aku biasa duduk—sebelah kanan dengan satu kursi pemisah antara aku dan dia.
Masih dalam suasana hening dan canggung, aku mengambil sepotong roti dan mengoleskan selai cokelat ke sana. Ini adalah kali pertama ia ingin sarapan denganku. Selama ini kami hidup dalam batas kami masing-masing. Biasanya ia akan pergi pagi-pagi sekali atau siang sekalian agar tak melihatku. Dan aku pun tidak merasa keberatan.
“Saya dengar kau kemarin pulang kehujanan,” Pria di hadapanku membuka suara namun masih tetap tidak menoleh.
“Ya,” aku menjawab singkat.
“Kau tahu itu adalah perbuatan yang sia-sia?”
“Ya.”
“Kalau begitu, mengapa kau lakukan?”
Aku berhenti mengunyah, mengambil gelas air putih yang ada di samping piring, kemudian meminumnya. Entah mengapa tenggorokanku terasa amat panas.
“Aku memberikan payungku ke temanku di sekolah.”
Kegiatannya berhenti lalu menatapku tajam. “Saya sama sekali tidak mengira kau melakukan hal bodoh seperti itu.”
“Dia membutuhkannya,” aku berkilah.
“Kau pun membutuhkannya,” potongnya cepat. “Apa kau lupa asalmu? Apa kau lupa pengorbanan yang sudah ada selama ini sehingga kau bisa menyia-nyiakan hidupmu seperti ini?”
Aku menelan ludah. Masalah itu lagi. Selalu tentang ini.
“Aku mengerti.”
Aku langsung beranjak dari tempat duduk tanpa melihat dan langsung menuju kamar. Aku tidak ingin memperpanjang masalah ini. Sebuah percakapan sia-sia yang tidak ada ujungnya. Setelah sampai, aku menutupnya cepat lalu terduduk. Napasku tersengal. Kepalaku malah semakin pening. Aku memegang dadaku dengan tangan kanan.
Bahkan setelah sekian lama, rasa sakit itu masih saja sama.
*
Saat bel pulang sekolah berbunyi, aku lebih memilih langsung menuju ke ruang Gema. Meski hidungku memerah, namun Bintara bilang bahwa hari ini akan diadakan rapat untuk membahas konten Gema bulan depan.
Setelah sampai, ruangan tersebut masih kosong. Aku mengambil tempat di paling ujung ruangan sambil menyandarkan kepalaku ke meja. Baru tiga puluh detik aku memejamkan mata, sebuah suara yang amat kukenal mampir di telingaku.
“Kaisar.”
Aku mengangkat kepala. Benar dugaanku. Perempuan dengan kamera yang tergantung di lehernya. Perempuan yang membuatku flu berat hari ini.
Aku mendesah lalu kembali menyandarkan kepalaku ke meja. Suara derap langkah kakinya mendekat hingga ia akhirnya duduk di sampingku.
“Kau kenapa? Sakit?”
Aku tidak menjawab.
By the way, thanks payungnya kemarin.”
Mataku membulat. Aku mendongak lalu menatapnya heran. “Payung kemarin?”
“Ya,” jawabnya sambil tersenyum. “Kau lupa?”
Lupa? Mana mungkin aku lupa payung yang membuatku flu seperti saat ini! Tu—tunggu. Bukankah payung itu...
Ia mengambil payung hitam yang amat kukenal dari dalam tasnya. “Nih.”
Aku menerimanya masih dengan heran. “Berfungsi?”
Perempuan itu mengangguk. “Tinggal buka pengaitnya dulu di samping, kok. Payungnya memang tipe  yang agak ribet. He he he.”
Sial!
“Wah, ada apa ini?”
Kami berdua refleks menengok ke arah pintu masuk. Rombongan Gema lain baru saja masuk.
“Nggak, kok, Bi. Cuma sebatas terima kasih atas payung Kai kemarin,” jelas Rae.
Rombongan itu duduk mengelilingi meja bundar. Aku dan Rae ikutan duduk.
“Jadi kemarin itu payung Kai?” Bi bertanya lalu menatapku.
Alisku terangkat. “Iya. Memangnya kenapa?”
“Kalau begitu aku juga harus berterima kasih.”
Apa ini?
Rae mendekatkan tubuhnya ke arahku. “Kemarin Bi ikutan nebeng payungmu sampai parkiran. Terus aku diantar sampai ke rumah naik mobil.”
Sial dua kali!
“Sudah bahas masalah payungnya,” Siska berkomentar. “Kita mulai rapat, yuk.”
Semuanya mengangguk.
“Jadi, aku baru dapat ide untuk tema Gema bulan depan,” Bintara memulai rapat dengan nada serius. “Seperti yang kita tahu, bulan ini sampai awal bulan depan akan ada perayaan 50 tahun SMA 35.”
Aku merapatkan jaketku. Mendadak perasaanku tidak enak.
“Temanya adalah memoir. Perjalanan lintas waktu SMA ini. Sebuah kenang-kenangan tentang kenangan.”
Seluruh bulu kudukku berdiri. Aku menggigil.
“Jadi, kita mau fokus tentang perayaan ulang tahun?” Beno menimpali.
“Ya. Tapi, kita akan mengupasnya lebih dalam.”
“Kalau konten lain?” Giliran Angga yang bertanya.
“Tetap ada,” Bintara menjawab. “Hanya saja, sorot utamanya tentang ulang tahun SMA. Konten lain pun tetap ada.”
“Kalau begitu, aku mau meliput tentang perayaan ulang tahun sekolah!” Suara dari perempuan di sampingku terdengar nyaring. Semua langsung menoleh.
“Anggap saja sebagai tugas pertama masuk Gema,” Rae berkata bersemangat.
“Yakin bisa?” tanya Siska ragu.
“Yap!”
“Gimana Bi?”
Bintara terlihat menimbang. “Kalau begitu kamu satu tim dengan Kaisar. Tentang perayaan ulang tahun sekolah. Gimana Kai?”
Kini, semua mata menuju ke arahku. Hawa dingin semakin masuk ke tulangku. Aku menghela napas.
Ulang tahun? Sial tiga kali.
*


Tidak ada komentar

Posting Komentar