Imlek di Palembang : Sejarah dan Perayaan




“Mengapa kita pergi ke rumah koko cici saat sincia, Pa?”

Pertanyaan itu akhirnya saya lontarkan ketika kami sedang bersiap untuk pergi berkunjung ke rumah keluarga Papa beberapa tahun yang lalu. Saat itu, kami sekeluarga kompak mengenakan pakaian berwarna merah cerah—yang menurut kepercayaan Tionghoa, ong, pembawa keberuntungan.
Saat itu, Papa hanya tersenyum. Tidak memberikan jawaban. Mungkin karena sedang sibuk memanaskan motor, atau tidak mendengar pertanyaan saya.


Aku pun mengulang pertanyaan, “Kenapa kita pergi Imlek-an, Pa?”

Kali ini Papa menoleh lalu menatap mata saya lekat. Perlahan, Papa kembali tersenyum.

“Kenapa tidak?”

Dua kata itu terdengar jelas di telinga saya. Bahkan cukup jelas hingga saya bisa mengingatnya sampai saat ini. Ketika itu, jawaban itu hanya saya anggap sebagai angin lalu. Sebuah jawaban ‘penutup mulut’ untuk anak kecil yang memiliki hobi bertanya. Tapi, lambat laun, pandangan saya pun ikut berubah.

Benar. Kenapa tidak?

Sebagai orang yang masih memiliki darah keturunan Tionghoa, Imlek bukanlah hal baru yang saya alami dan rasakan. Bagi saya, Imlek sama halnya dengan perayaan hari-hari libur lainnya. Saya masih ingat, sewaktu kecil, ketika hari ini tiba, saya akan dibawa berkeliling oleh orang tua saya untuk mengunjungi sanak saudara yang sedang merayakannya. Meskipun kami tidak merayakan, tapi tradisi itu berjalan begitu saja.

Saya menyukai Imlek. Saya menyukai semua ornamen khas Tionghoa berwarna merah yang biasanya memenuhi seluruh ruangan di rumah saudara saya. Biasanya hal yang pertama saya cari adalah kue keranjang—kue khas imlek untuk dimakan. Kue itu biasanya sudah berjejer rapi di meja makan, bersama pempek—makanan khas Palembang, dan kue-kue kering seperti nastar. Dan tak lupa, amplop-amplop merah yang dihiasi ornamen emas tergantung rapi di pohon-pohon berdaun merah di sudut ruangan.
Kue yang Ada Saat Imlek Kemarin (Dok. Pribadi)

“Kita mungkin nggak merayakan, tapi, apa salahnya ikut dalam euforia-nya? Lagipula, imlek kan hakikatnya mengucapkan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Meskipun kita berbeda-beda caranya, tapi, kita kan keluarga.”

Perayaan Imlek di Rumah Salah Satu Keluarga (Dok: pribadi)

Keluarga.

Satu kata itu yang jadi perekat. Meskipun saya muslim, tapi keluarga besar saya berbeda-beda. Dan perbedaan itu menjadikan saya lebih ‘kaya’. Termasuk saat Imlek.




Keluarga saya adalah potret kecil perayaan Imlek di Palembang. Kota ini sendiri tak bisa lepas dari kebudayaan Tionghoa. Meski tidak tahu kapan pastinya, keberadaan etnis Tionghoa diyakini sudah ada sejak zaman kerajaan Sriwijaya. Bukti keberadaan itu dapat dilihat dari legenda terkenal, Pulau Kemaro. Imlek kemarin, pulau ini jadi destinasi pertama saya memastikan langkah saya untuk menyusuri kebudayaan Tionghoa di Palembang. Berbekal ongkos seharga Rp 175.000,-, saya bersama teman-teman saya menggunakan speedboat dari Dermaga BKB mengunjungi Pulau Kemaro.

Yang terlihat jelas saat menginjakkan kaki di pulau ini adalah kerumunan orang berbagai usia dan latar belakang ikut semarak memeriahkan Imlek. Ornamen-ornamen seperti lampion berwarna merah tergantung di jalan-jalan menuju tempat-tempat wisatanya. Di pinggirnya, beberapa orang membuat kelompok-kelompok kecil untuk sekadar berfoto, atau duduk-duduk santai melihat pemandangan. Orang yang berjualan pun banyak, mulai dari rumah umang-umang, hingga kelapa muda.

Keriuhan Warga Palembang yang Ikut dalam Euforia Imlek (Dok. Pribadi)

Terdapat dua atraksi utama yang penuh dengan pengunjung. Yang pertama tentu klenteng yang terletak di bagian depan. Klenteng ini masih tertutup, namun banyak orang yang sekadar ingin melihat ke dalam. Dengan arsitektur berwarna cerah khas Tionghoa, klenteng ini mampu menjadi magnet bagi pengunjung.  Aroma dupa mulai masuk ke dalam hidung, agak menyengat namun anehnya malah terkesan misterius bagi saya. Yang kedua adalah pagoda yang baru dibangun beberapa tahun ke belakang. Menara ini sukses menjadi atraksi baru dan spot untuk foto-foto pengunjung yang ada di sana.

Klenteng dan Menara Pagoda (Dok. Pribadi)

Pulau ini sejatinya adalah delta sungai yang menjadi daratan. Keberadaan pulau yang berada di aliran sungai Musi ini tak lepas dari legenda Tan Bun An, seorang pangeran dari Tionghoa yang ingin menikahi Putri Sriwijaya, Siti Fatimah. Kisah bak Romeo dan Juliet ini sampai saat ini masih jadi legenda yang menarik bagi masyarakat Palembang. Terdapat klenteng Hok Tjing Rio dan Menara Pagoda yang hingga saat ini, banyak etnis Tionghoa yang akan mengunjungi pulau ini saat Cap Go Meh di setiap tahun baru Imlek.

Sudut Pulau Kemaro (Dok. Pribadi)

Tapi, jauh sebelum itu, dari sebuah kampung bernama Kampung Kapitan yang terletak di pinggiran sungai Musi, sebuah cerita sunyi mengalir. Kampung ini dipercaya sebagai pecinan pertama yang ada di Palembang. Kampung Kapitan terletak di 10 ulu ini memiliki sejarah yang amat panjang terhadap kekayaan kebudayaan Tionghoa tempo dulu. Nama Kampung Kapitan sendiri diambil dari sebutan Belanda kepada Tjoa Ham Hiri yaitu Kapitan sekitar 400 tahun yang lalu. Tugas dari Kapitan adalah untuk mengawasi pajak rakyat yang nantinya disetorkan kepada Belanda.

Dupa dan Pintu Masuk Rumah Peribadatan Kampung Kapitan (Dok. Pribadi)

Saya mengunjunginya setelah dari Pulau Kemaro. Dengan menggunakan sepeda motor, letak kampung ini tidak begitu sulit dicari. Jika kalian membayangkan kata ‘kampung’ adalah rumah-rumah yang padat penduduk, kalian tidak sepenuhnya benar. Kampung Kapitan ini merujuk pada dua rumah panggung tua yang tersusun dari kayu-kayu yang sudah lapuk. Ditemani Pak Mulyadi, Kapitan ke sebelas, kami menyusuri sudut-sudut tua rumah ini. Terdapat ruang tamu setelah kita memasuki pintu berwarna merah cerah yang ada di rumah peribadatan. Di ruang tamu itu, foto-foto sang Kapitan beserta sejarahnya terletak manis di sana. Ada hal unik yang diberitahu oleh Sang Kapitan ke Sebelas yaitu adanya ‘lukisan tiga dimensi’. Lukisan tersebut adalah lukisan sang Kapitan dulu yang bila dilihat dari berbagai sudut, matanya akan mengikuti ke arah kita. Dan saya beserta teman saya pun sudah membuktikannya! Wajib dicoba ketika berkunjung ke sini. Lebih jauh dari ruang tamu, terdapat sebuah altar penyembahan untuk berdoa. Karena sedang Imlek, maka altar diisi berbagai macam makanan dan dupa-dupa yang amat memanjakan mata sekaligus terasa khidmat.

Altar Peribadatan yang Khidmat (Dok. Pribadi)

Beliau banyak bercerita kepada kami mengenai Kampung Kapitan, tentang kejayaan Tionghoa ketika pertama kali datang ke kerajaan Sriwijaya. Dengan bangganya Beliau bercerita bahwa dulu perayaan Imlek selalu dipusatkan di kampung ini. Tapi, beberapa tahun ke belakang, pelaksanaannya berganti ke Pulau Kemaro. Selain itu, Pak Mulyadi juga bilang bahwa seharusnya, kami mendatangi Kampung Kapitan terlebih dahulu, sebab Kampung Kapitan adalah ‘kakak’ dari Pulau Kemaro.

Pak Mulyadi, Kapitan Ke Sebelas Sedang Berkisah tentang Kampung Kapitan (Dok. Pribadi)

Mendengar kisah Pak Mulyadi, ditemani aroma dupa dan suasana sunyi rumah peribadatan, kami pun menuju ke rumah kedua. Sebuah rumah pemerintahan. Rumah ini memiliki suasana yang berbeda dari rumah peribadatan. Lebih terkesan kelam. Ada satu hal yang membuat miris adalah keberadaan lubang di atap. Saya menanyakan kepada Beliau tentang hal ini. Dengan raut muka yang sedih, Beliau menjawab bahwa memang selama ini masih ada janji pemerintah yang belum terealisasi. Janji yang masih ia nanti sekian lama agar sejarah berharga ini tidak punah.

Dupa yang Tergantung untuk Petayaan Imlek dari Rumah Pemerintahan Kampung Kapitan (Dok. Pribadi)

Kami selesai mengunjungi ketika petang mulai datang. Setelah mengunjungi Kampung ini, saya merasa lebih kaya. Bahwa Imlek tidak sekadar sebuah perayaan, tapi banyak sekali sejarah yang ada di dalamnya.




Nah, akulturasi kebudayaan Tionghoa dan Palembang itu sudah melekat di kehidupan masyarakat Palembang sehari-hari. Apalagi saat Imlek tiba, kita dapat melihat berbagai dekorasi khas Tahun Baru Cina bertaburan di mana-mana.

Bisa kita lihat di sudut-sudut kota, beberapa ornamen seperti lampion sudah mulai dipasang. Beberapa mal besar pun ikut merayakan. Imlek dalam hal ini menjadi ‘hari’ besar bersama. Dan warga Palembang nggak asing lagi melihatnya.

Setelah merenung di Kampung Kapitan, saya bersama teman-teman memutuskan untuk menilik perayaan Imlek di sebuah klenteng di pinggiran sungan Musi. Sore itu, Klenteng Dewi Kwan In penuh oleh pengunjung. Bukan hanya dari etnis Tionghoa, namun banyak juga dari kalangan lain. Lampion-lampion mampu menarik minat pengunjung buat sekadar berfoto ria. Saya menangkap momen ini sebagai sebuah keharmonisan dalam perbedaan. Bahwa Imlek sejatinya juga sudah melekat bagi masyarakat Palembang.

Euforia Imlek di Klenteng Dewi Kwan In (Dok. Pribadi)

Keriuhan Imlek pula menjadi dasar adanya sebuah festival bertajuk Festival Imlek Sriwijaya. Dari beberapa sumber yang saya baca, Festival Imlek Sriwijaya dilaksanakan di daerah pecinan, Dempo Lapangan Hatta pada tanggal 4 – 6 Maret 2015. Lampion-lampion merah menyala digantung di atas tempat acara dan disusun rapi sepanjang jalan menuju panggung utama. Di kanan kirinya, terdapat tenda-tenda UMKM yang mengitari lapangan dan dapat dikunjungi pengunjung. Berbagai lomba pun digelar, mulai dari kaligrafi, lomba menyanyi lagu mandarin, memasak Pao—kue kukus khas Tionghoa, dan barongsai. Atraksi demi atraksi pun ditampilkan untuk menghibur pengunjung.

Keriuhan Festival Imlek Sriwijaya 2015 silam (Dok. Studio Kreasindo)

Sejujurnya, saya nggak tahu tentang Festival Imlek Sriwijaya ini. Yang saya tahu, festival ini digelar sebagai upaya melestarikan kebudayaan Tionghoa di Palembang sekaligus untuk mengenalkan kota Palembang ke ranah nasional dan internasional. Meskipun belum menginjakkan kaki ke festival ini dua tahun lalu, akan tetapi, saya bisa membayangkan betapa banyaknya orang-orang yang berkumpul, yang bukan hanya dari teknis Tionghoa, namun dari semua kalangan, berbaur menjadi satu untuk menikmati sajian yang diberikan. Dari sinilah saya bisa paham, bahwa sesungguhnya, kebahagiaan itu bisa milik siapa saja.

Festival Imlek Sriwijaya 2015 (Dok. Studio Kreasindo)

Dan kini, setelah satu tahun vakum, festival itu kembali dilaksanakan. Dengan tajuk Festival ImlekIndonesia, skala perayaan pun dibuat lebih besar dan meriah. Terdapat arakan pawai budaya, berbagai lomba, serta kesenian tradisional dari beberapa daerah yang ada di Indonesia. Dengan jangka waktu 2 hari yaitu tanggal 11 – 12 Februari, festival yang bertempat di PSCC Palembang ini bakal jadi festival yang wajib buat diikuti. Banyak atraksi budaya, gelar perlombaan, dan kedai kuliner yang akan memanjakan para pengunjungnya. 

Festival Imlek Indonesia (Dok. Festival Imlek Indonesia)


Festival ini akan menjadi corak sejarah, bahwa semua berkeluarga. Dengan sejarah yang begitu panjang antara kota Palembang dan etnis Tionghoa, sudah sepatutnya bagi kita untuk turut andil dalam perayaannya. Karena seperti kata Papa saya, ‘Kenapa tidak?’

*
Lampion itu mulai menyalak,

Terang teramat terang.
Merah yang menyala.
Di antara semilir angin saat ini,
Aroma dupa mulai masuk ke penciuman.
Orang-orang berbaris,
Beberapa menangis,
Menelungkup tangan,
Memanjatkan doa dalam ketulusan.
Malam ini, sang Ayam Api
mulai mengambil kendali.
Berharap esok akan lebih baik.
Jauh lebih baik dari hari ini.
Gong Xi Fat Chai!

Sumber:
http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/06/kampung-kapitan-palembang-jejak-pertama-keturunan-tionghoa
https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/kisah-tan-bun-an-yang-melegenda-di-pulau-kemaro
http://www.studiokreasindo.com/blog/?con=blogdetails&id=6
http://palembang-tourism.com/destinasi-357-kampung-kapiten-kota-palembang.html
http://palembang-tourism.com/berita-399-festival-imlek--cap-go-meh-2015.html
http://festivalimlekindonesia.com/





SPECIAL THANKS:
Buat teman jalan saat Imlek kemarin.
JOJO-DWI-EJAK-DIANA





17 komentar

  1. Ternyata Palembang itu punya banyak sejarah dengan etnis Tionghoa, ya. Jadi banyak tahu lewat postingan ini. Dan gak sabar buat tunggu festivalnya nanti!

    BalasHapus
  2. Ceritanya menarik sekali. Semoga menang ya, Bim.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahhaa. Makasih cici. Senang bisa bikin cerita yang menarik. Aamiin! :D

      Hapus
  3. Ceritanya keren nih, Selain itu Foto-nya keren - keren Kak Bimo.
    Semoga Febuari nanti bisa liat festival-nya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Adit. Makasih, ya. Hehe. Yok jalan ke festivalnya. :P

      Hapus
  4. Keren bim �� good luck

    BalasHapus
  5. Wah postingannyo berisi banget sih bim semoga menang bimmmmm!

    BalasHapus