Senyum

Aku heran, ketika tiba-tiba suatu saat ada satu hal yang membuatku teringat padamu, aku tersenyum. Namun anehnya secara bersamaan, ada yang nyeri di dalam dada. Sesak.



The Journeys 2 : Cerita dari Tanah Air Beta

Cerita dari Tanah Sriwijaya


Jembatan Ampera
Photographer : Bimo Rafandha
at 06:13, April 15th 2012
With Samsung Galaxy Y, 1.3 MP


Dulu, terjadi sebuah percakapan antara seorang ayah dengan anaknya. Saat itu dengan menggunakan vespa tua bewarna biru, Ayah yang berumur tiga puluhan dan anak kecil berbaju kodok itu melewati sebuah jembatan yang sangat besar.

"Yah, ini kok kotor ya jembatannya. Mana bau pesing." Anak kecil itu menggerutu sambil menutup hidung.
"Sudah, ditahanin aja." Papa menenangkan. "Lagian harusnya kamu berterimakasih kepada jembatan ini."
"Berterima kasih buat apa, Yah?" tanya anak kecil itu lugu.
"Ntar, kalo Bimo udah gede, Bimo bakal tahu."
"Ah, Ayah payah." Kata anak kecil itu cemberut. Melihat ekspresi anaknya itu, sang Ayah hanya tertawa penuh arti.

Dan akhirnya anak kecil itu yang penasaran itu pun merajuk hampir seminggu.

***

Kini, sudah hampir 10 tahun cerita itu berlalu, sang Anak tumbuh dengan pertanyaan yang masih membekas di ingatan. Dan anak itu adalah aku. Namun kali ini, aku mencoba mengartikan sendiri, menurut versiku sendiri, jawaban atas pertanyaan yang aku ajukan sendiri.

Sebenarnya, aku tidak tahu ingin bercerita apa tentangnya, jembatan itu. Kata-kataku hanya tercekat, tidak bisa diungkapkan.

Terkadang aku bertanya, masih sanggupkah dia bertahan di sana, dengan beban-beban berat yang mencumbu tubuhnya setiap hari? Atau tidakkah dia merasa geram melihat mereka yang dengan tidak terpuji dengan cat aneka rupa, mencoreng keelokan rupanya? Tidakkan dia merasa bosan, hanya diam melihat orang yang menghujat dirinya, seperti aku dulu?

Dia bergeming.
Namun, seandainya dia bisa bangkit, hidup seperti makhluk lain, mungkin inilah jawabannya.

"Aku akan selalu bertahan." Katanya yang diwakili hembusan angin. "Aku suka seperti ini, berguna bagi mereka, rakyat di kota tempatku berdiri. Berteman dengan arus sungai, dan menari dengan percikan hujan. Aku menikmatinya.Dan aku tidak akan bosan di sini. Aku adalah mereka, pesan yang diamanatkan untuk pemimpin negeri ini. Aku adalah simbol perjuangan mereka. Jadi ada alasankah bagiku untuk mengeluh?"

Aku membayangkan, seandainya, dia berbicara seperti itu, dia pasti sedang tersenyum lebar. Senyum yang diwakili oleh sinaran fajar pagi ini, pagi ketika aku menikmati (lagi) senandungnya.

Ini adalah kisahnya, kisah tentang pengabdian yang terlupa. Kisah tentang Indonesia di Tanah Air Beta. Kisah tentang Indonesia di Tanah Sriwijaya. 

Bila kau singgah ke tempat ini, nanti. Lihatlah dia. Dengarkan kisah sunyinya. Dan kau akan beruntung ada di sini, di tempat dia berdiri.


Palembang, 15 April 2012
Untukmu, Kebanggaanku.
JEMBATAN AMPERA.



Jembatan Ampera
Photographer : Bimo Rafandha
at 05:47, April 15th 2012
With Samsung Galaxy Y, 1.3 MP



Prolog

Sinar matahari pagi melewati sela-sela jari-jari ventilasi yang sudah kelihatan tua, masuk ke sebuah ruangan dengan cat kusam yang hampir mengelupas. Di dalam ruangan itu, seorang lelaki dengan wajah yang pucat pasi dan bibir yang membiru, menggigil.

Dia kemudian mengejang, bicara tidak jelas. Sesaat lalu dia mengamuk, mancari-cari barang di lemari kayunya yang sudah berlubang dimakan rayap. Setelah memastikan benda yang dicarinya tidak ada, dia frustasi.  Berbekal sebuah cutter yang berkarat, dia menyayat nadi di tangannya. Darah keluar dari pergelangan tangannya, dan setelah itu dihisapnya darah itu lekat-lekat, seperti anak bayi yang ingin minum ASI pertamanya.

Hampir lima menit dia menghisap darah dari tangannya sendiri, terdengar suara dobrakan dari arah luar. Pintu terbuka, lalu dilihatnya seorang laki-laki berkacamata dengan kemeja biru muda. Dia roboh dengan samar-samar mendengar orang itu berteriak.

"RAKA!!!!!!!"

***

Did you forget?


Sebegitu sulitkah kamu mengingat satu angka itu?

Aku merindumu, bahkan untuk satu sekon kamu tiada.
Rindu itu membuat sesak, tercekat di dalam dada.
Serta merta meluber, lebur, seiring aku merapalkan mantera-mantera berbunyi namamu.

Lupakah kamu?
Atau 
Ahh, sudahlah.

Bahkan sampai saat ini, tiga kata itu.
Masih ada dalam harapanku.

Selamatt Ulang Tahun - Dewi Lestari

"... Aku tidak tahu kemalangan jenis apa yang menimpa kamu, tapi aku ingin percaya ada insiden yang cukup dahsyat di dunia serba selular ini hingga kamu tidak bisa menghubungiku. Mungkinkah matahari lupa ingatan, lalu keasyikan terbenam atau terlambat terbit? Bahkan kiamat pun hanya berbicara soal arah yang terbalik, bukan soal perubahan jadwal."


Ribuan detik kuhabisi
Jalanan lengang kutentang
Oh, gelapnya, tiada yang buka
Adakah dunia mengerti?


Miliaran panah jarak kita
Tak jua tumbuh sayapku
Satu-satunya cara yang ada
Gelombang tuk ku bicara


Tahanlah, wahai Waktu
Ada "Selamat ulang tahun"
Yang harus tiba tepat waktunya
Untuk dia yang terjaga menantiku


Tengah malamnya lewat sudah
Tiada kejutan tersisa
Aku terlunta, tanpa sarana
Saluran tuk ku bicara


Jangan berjalan, Waktu
Ada "Selamat ulang tahun"
Yang harus tiba tepat waktunya
Semoga dia masih ada menantiku


Mundurlah, wahai Waktu
Ada "Selamat ulang tahun"
Yang tertahan tuk kuucapkan
Yang harusnya tiba tepat waktunya
Dan rasa cinta yang s'lalu membara
Untuk dia yang terjaga
Menantiku



Dewi Lestari - Selamat Ulang Tahun

Radith : Agreement.

"Cuacanya bagus ya, Na?" Radith memandang langit dari bingkai jendela tempat mereka duduk.

"Awannya putih bersih, langitnya biru. Jarang-jarang Jakarta bisa kayak gini." Radith melanjutkan sambil menyeruput moccacino dari cangkirnya.

"Dith." Kirana membuka suara. Radith refleks menoleh.

"Aku mohon, Dith. Cuma kamu yang bisa nolong aku." Kirana meminta sembari memegang tangan Radith. Matanya sungguh-sungguh.

"Kenapa harus gue, Na?" Protes Radith. "Gue gak bisa ngekhianatin sahabat gue sendiri. Lo tau Raka sama gue udah kayak saudara. Kalo gue lakuin ini, apa yang bakal dia pikir?" 

"Karena aku percaya kamu, Dith. Kamu juga tau alasan kenapa aku lakuin ini. Ini semua buat dia, Dith. Aku sayang Dia. Aku juga gak mau kayak gini. Tapi aku harus. Aku ga ada pilihan lain." Jelas Kirana. Sudut matanya berair.

"Pilihan itu selalu ada, Na. Cuma lo yang ga bisa ngeliatnya. Lo terjebak di pola pikir yang bilang pilihan lo bener. Padahal ini bakal nyakitin lo juga." 

Sinar matahari semakin menyengat masuk di antara mereka berdua. Hangat, atau terlanjur panas.

"Emang bakal nyakitin aku, tapi aku ga bisa ngelihat dia sakit lebih dari ini. Aku mohon." Air mata Kirana semakin banyak terjatuh.

Radith menimang-nimang. Diteguknya kembali moccacino yang telah dingin. Pahit.

"Lo tau gue susah dapetin sahabat kayak dia. Selama ini gue gak pernah bener-bener nemuin orang yang klop dengan gue." Radith menarik nafas lalu melepaskannya perlahan. Berat.

"Anggap gue lakuin ini buat dia."  Radith berdiri lalu berjalan cepat menjauh meninggalkan Kirana.

Kirana melihat punggung Radith menjauh. Air matanya tidak tertahankan lagi. "Makasih, Dith." Ucap Kirana terisak perlahan.

Radith meninggalkan cafe dengan wajah memerah lalu masuk ke mobilnya.

"Sial!! Apa yang udah gue lakuin?" Gerutu Radith. Mobilnya melaju cepat. Dia hanya ingin pergi ke sebuah tempat : Rumah Raka.

***