Lapangan
itu sunyi. Yang terdengar hanya iringan pukulan gamelan tembang Sunda yang
dimainkan oleh para pemusik dari panggung kecil di samping lapangan.
Selebihnya, orang-orang yang bergumul padat di pinggir lapangan menahan napas,
berusaha tidak bersuara sama sekali. Mata mereka fokus menelusuri ke tengah
lapangan, melihat dua objek yang saling menatap garang. Dari tempat para
penonton berdiri, mereka bisa merasakan tensi.
Lain
di pinggir, lain di tengah lapangan. Dua objek yang dipertontonkan itu saling
tatap. Dengan masing-masing satu orang pendamping yang dengan telaten memeriksa
keadaan mereka, dua objek itu berusaha untuk bergerak. Tanpa basa-basi,
keduanya lalu dibawa masing-masing pendamping ke sisi kanan dan kiri. Satu
orang mengambil tempat di di antara mereka. Iringan musik yang terdengar tadi
makin meningkatkan ritmenya. Perlahan-lahan menjadi semakin cepat seiring
dengan suasana menegangkan yang hadir di antara mereka.
Tepat
dengan satu aba-aba, dua objek itu berlari kencang. Kaki-kaki mereka yang kecil
menggesek kasar tanah, rumput, entah apapun yang ada di bawah mereka. Keduanya
seolah tidak peduli. Kepala mereka menunduk, memamerkan mahkota keras yang
berkilau terkena sinar matahari yang menyengat. Dan sepersekian detik kemudian,
dua tanduk mereka beradu.
Bam!
Satu kali. Badan mereka sedikit mundur ke belakang seperti terbang. Kedua kaki
di bagian belakang akan terangkat. Penonton bersorak riuh. Mereka kembali
mengambil ancang-ancang.
Bam!
Benturan kedua. Bunyi kedua tanduk yang beradu itu terdengar keras. Kali ini,
tepuk tangan penonton terdengar bersahutan.
Dari
situ, dua tanduk itu semakin sering beradu. Kadang di antara pertandingan yang
intens itu, ada sedikit jeda bagi mereka untuk bernapas. Selebihnya, untuk
waktu yang cukup lama, mereka berlaga. Pertandingan itu terus berlangsung
hingga hantaman ke dua puluh.
Pemandangan
seru seperti itu dapat kita temui di Kabupaten Garut. Garut adalah sebuah kabupaten
yang berada di provinsi Jawa Barat yang terletak 64 KM sebelah tenggara dari
Kota Bandung. Secara geografis, wilayah ini berada di ketinggian 0 KM hingga
2.800 KM yang memberikan topografi wilayah lengkap mulai dari garis pantai
sepanjang 90 KM yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia dan
gunung-gunung tinggi menjulang seperti Gunung Gede, Gunung Guntur, dan Gunung
Cikuray. Tak ayal, dengan bentangan seperti itu, dari dulu Garut terkenal
sebagai daerah wisata Swiss van Java.
Yang harus kamu tahu tentang Garut. (Dok. Pribadi) |
Nah,
di wilayah Garut ada satu objek yang amat terkenal di masyarakat hingga saat
ini: domba garut. Ya, domba garut sudah menjadi hewan ikonik wilayah ini hingga
dikenal seantero negeri. Keberadaan hewan ini pula mengembangkan kesenian yang
turun-menurun berada di tengah masyarakat: Seni Adu Tangkas Domba Garut. Namun
sebelum membahas mengenai kesenian tersebut, apa sih yang membuat domba garut
menjadi hewan yang istimewa?
Secara
umum, domba garut adalah domba lokal yang dapat ditemui di wilayah Priangan.
Dengan nama spesies Ovies aries, diyakini
bahwa domba garut merupakan hasil dari persilangan tiga jenis domba yaitu domba
lokal Priangan, domba merino asal Spanyol, dan domba kaapstad asal Afrika. Yang
unik justru asal usulnya. Alkisah, domba merino dan domba kaapstad dibawa oleh
pemerintah Belanda pada tahun 1864 untuk diberikan kepada KF Holle, pengusaha
teh di Priangan. Lima tahun kemudian, tepatnya tahun 1869, domba-domba tersebut
dipindahkan ke daerah garut secara bertahap. Perpindahan itu kemudian sampai
kepada Bupati Suryakarta Legawa yang memiliki domba kaapstad dan merino.
Penyebaran yang massal mengakibatkan persilangan yang berlangsung terus-menerus
selama bertahun-tahun hingga menjadi jenis domba garut seperti sekarang. Keren,
kan?
Sebagai
domba lokal, domba garut memiliki karakteristik yang berbeda dengan jenis domba
asli dan domba lokal lainnya, loh. Karakteristik inilah yang membuat domba
garut ditetapkan oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor
2914/Kpts/OT.140/6/2011 sebagai sumber daya genetik ternak (SDGT) lokal
Indonesia yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Jenis domba ini memiliki
tubuh dan kepala dengan warna dominan kombinasi hitam-putih. Bentuk telinganya
pun kecil (rumpung) dengan garis muka
cembung. Ukuran tubuh domba ini pun bervariasi dengan rata-rata tinggi 65 cm
untuk betina dan 74 cm untuk jantan. Panjang badannya pun mulai dari 56 cm
untuk betina dan 63 cm untuk jantan. Berat keduanya pun berbeda: 36 Kg buat
betina dan 57 Kg buat jantan. Ekornya berbentuk segitiga dengan bagian pangkal
yang melebar lalu mengecil ke ujungnya. Bentuk ini memiliki istilah ngabuntut beurit atau ngabuntut bagong.
Pejantan tangguh. (Dok. Greeners) |
Yang
menarik tentu tanduk yang menghiasi kepala domba garut. Untuk domba jantan,
bentuk tanduknya besar dan panjang dengan variasi bentuk melingkar atau
melengkung mengarah ke depan dan ke luar. Sedangkan untuk domba betina, kadang
ada tanduk kecil yang menghiasi kepalanya atau bahkan tidak ada tanduk sama
sekali. Beragam jenis tanduk seperti nagbendo,
gayor, golong tambang, leang, hingga sogong
dibedakan berdasarkan letak tanduk, jarak tanduk, hingga bentuk tanduknya.
Lima fakta tentang domba garut. (Dok. Pribadi) |
Selama
ini domba garut dipelihara oleh masyarakat secara tradisional sebagai hewan
ternak untuk diambil kulit dan dagingnya hingga bisa jadi sumber pendapatan.
Namun bagi sebagian orang, anatomi dari domba garut yang seperti itu—apalagi
domba garut jantan, membuatnya jadi ikon ketangkasan. Ditambah lagi sifatnya
yang agresif memunculkan seni yang turun menurun berkembang di dalam masyarakat
Garut: Seni Adu Tangkas Domba Garut.
Bila
orang melihat kesenian yang melegenda ini, banyak yang beranggapan apa
istimewanya dua domba dengan tanduk besar di kepala saling beradu di tengah
lapangan kemudian dipertontonkan ke seluruh lapisan masyarakat? Tak salah
memang. Bagi yang tidak mengerti, ajang ini mungkin terkesan seperti adu-aduan.
Akan tetapi, nyatanya kesenian ini bukan hanya sekadar itu loh. Kesenian ini
sudah menjadi budaya yang turun-menurun diwariskan di tengah masyarakat Garut.
Kesenian
ini dipercaya berasal dari para penggembala domba garut yang ada di tahun
1900-an. Saat mereka sedang berada di tanah lapang, mereka melihat domba-domba jantan
yang mereka gembalakan memiliki sifat agresif yang suka menyerang satu sama
lain. Dan untuk mengisi kebosanan, mereka pun menyabit mengadu domba-domba
jantan yang ada di sekitar mereka. Pertandingan iseng ini kemudian diketahui
oleh para juragan—sebutan pemilik domba. Lima tahun kemudian, mereka
menyelenggarakan kegiatan adu domba antar kampung dalam satu agenda khusus.
Puncaknya, kegiatan ini pun menyebar ke daerah lainnya.
Sejarah
adu domba garut ini memiliki daftar yang panjang. Apalagi semakin ke sini,
masyarakat menjadi semakin peka terhadap kondisi domba yang dipertandingkan.
Beberapa berpendapat bahwa kegiatan seni ini adalah bagian dari penyiksaan
hewan. Untuk itulah, di tahun 1980-an, Himpunan Peternak Domba dan Kambing
Indonesia (HPDKI) pertama menyepakati istilah seni adu domba menjadi
ketangkasan domba. Selain itu, mereka pun menetapkan peraturan-peraturan yang
harus ditaati agar seni ini dapat diterima di masyarakat sebagai produk
kesenian yang menghibur.
Sejarah panjang seni ketangkasan domba garut. (Dok. Pribadi) |
Jika
kalian pikir adu tangkas domba garut adalah pertandingan dua domba hingga salah
satunya cedera kalian mungkin perlu mengoreksinya. Kesenian adu tangkas domba
garut tersebut bukan sekadar adu-aduan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya,
saat ini pertandingan adu tangkas domba garut sudah menjadi wisata budaya yang
dapat dinikmati semua masyarakat. Untuk itulah ada batasan dan peraturan yang
melingkupi pertandingan ini.
Salah
satu yang paling mendasar adalah pembagian kelas domba garut. Jadi untuk
domba-domba yang diadu, semuanya diukur berdasarkan kelas masing-masing yaitu
kelas A, B, dan C. Semua dibedakan berdasarkan berat domba. Dan juga peraturan
pertandingan menjadi maksimal dua puluh kali adu tanduk atau pukulan kepala
domba menjadi perubahan besar untuk membuat domba yang bertanding tidak terlalu
cedera.
Secara
umum, untuk domba garut yang dapat dipertandingkan memiliki umur lebih 2 hingga
6 tahun. Biasanya, domba laga telah dilatih terlebih dahulu seperti berenang di
sungai untuk menguatkan otot-ototnya sehingga memiliki kuda-kuda yang kuat saat
bertanding. Terkadang, tanduk domba pun diasah sedemikian rupa hingga jadi
simetris dan mengkilap. Makanan mereka pun diatur sedemikian rupa agar sesuai
dengan kelas-kelas yang ingin dipertandingkan.
Saat
waktu laga dimulai, domba-domba itu kemudian dibawa menuju arena bertanding
oleh para pendamping yang disebut malandang.
Tugas malandang adalah memastikan
domba garut yang dipertandingkan memiliki kondisi prima. Malandang membawa domba ke pekalangan—tempat menunggu—lalu mengatur
posisinya agar siap diadu. Bila sudah pada posisinya, di sinilah ada tiga peran
penting yang hadir yaitu wasit, juri dan protokol. Seperti di pertandingan
olahraga peran wasit di sini pun sama. Wasit bertugas untuk mengawasi jalannya
pertandingan. Ia berhak mengatur jalannya pertandingan baik menghentikan
pertandingan bila telah membahayakan keselamatan domba.
Nah,
juri di sini bertugas untuk menilai jalannya pertandingan. Inilah bedanya adu
domba dahulu dengan sekarang. Penentuan pemenangnya tak lagi ditentukan dari
domba yang berhasil membuat lawannya cedera. Sekarang, tim juri menilai dari
berbagai aspek untuk menentukan sang domba juara. Penilaian itu meliputi adeg-adeg atau bentuk tubuh domba, kesehatan
domba teknik pemidangan yang meliputi
jarak ancang-ancang, keindahan melangkah, kecepatan gerakan, teknik pukulan,
dan keberanian dari domba itu sendiri. Banyak bukan? Nantinya juri yang
biasanya berjumlah tiga orang ini akan memberi poin-poin untuk masing-masing
aspek.
Lain
halnya dengan protokol. Laiknya acara-acara resmi, protokol bertugas memandu
acara kesenian ini dari awal hingga akhir. Ia mengumumkan domba-domba mana saja
yang akan bertanding, bagaimana bentuk penilaian menyapa para penonton, hingga
menutup acara. Protokol menjadi peran vital karena ialah yang mengetahui dan
menjelaskan seluk-beluk kegiatan kesenian adu tangkas domba garut ini.
Ketika
wasit telah memberi aba-aba untuk mulai, para mandalang melepaskan domba masing-masing. Sifat agresif domba garut
jantan membuat kedua domba secara naluriah membenturkan kedua kepalanya satu
sama lain. Dan pada saat inilah keduanya dinilai oleh dewan juri. Secara umum,
pukulan yang diterima oleh kedua domba tak lebih dari dua puluh pukulan. Akan tetapi,
bila di pertengahan pertandingan ada tanda-tanda salah satu domba yang diadu
mengalami cedera, pertandingan dapat dihentikan. Seru bukan?
Sebagai
produk budaya, seni ketangkasan domba garut adalah sebuah ajang pesta rakyat
Garut. Kegiatan ini adalah ranah silaturahmi seluruh lapisan masyarakat
termasuk para peternak domba garut, masyarakat biasa hingga para juragan. Ada
pula industri peternakan yang turut serta memeriahkan. Di ajang ini, seni khas
Sunda juga turut hadir memberi keriuhan. Semua bersuka cita, bercampur menjadi
satu menyaksikan pertandingan. Tua muda, kaya miskin, status sosial apapun
semua berbaur tanpa memandang perbedaan apapun.
Dalam
praktiknya pula, beragam dampak pun dirasakan baik oleh para pemilik domba
hingga masyarakat. Selain sebagai ajang hiburan, kegiatan kesenian ini juga
memiliki nilai ekonomi yang sayang untuk dilewatkan. Bagi para pemilik, domba
garut yang sering mendapatkan title
juara mau tidak mau melambungkan harganya sehingga menaikkan ‘kelas’ di mata
peternak lainnya. Sedangkan saat kegiatan berlangsung, banyak masyarakat yang
hadir dan menjajakan barang dagangannya. Hal ini secara tidak langsung
mendongkrak kegiatan ekonomi itu sendiri.
Empat hal yang bisa didapatkan dari adu ketangkasan domba garut. (Dok. Pribadi) |
Adu
tangkas domba garut hingga sekarang sering kali dilakukan tiap minggu. Untuk
acara resmi pemerintah, kegiatan ini biasa dilakukan 3 – 4 kali dalam setahun
seperti pada hari jadi Kabupaten Garut dan hari besar nasional. Hal ini
dilakukan untuk tetap merawat nilai-nilai budaya yang ada di Kabupaten Garut.
Tradisi budaya yang telah mengakar selama ratusan tahun tersebut penting untuk
dilestarikan sebagai unsur seni yang enak dipandang. Pun dengan keberadaan
domba garut itu tersendiri. Sebagai sumber daya genetik ternak sudah seharusnya
keberadaan domba garut terus diperhatikan. Eksistensinya perlu dijaga agar
dapat mendongkrak pariwisata melalui wisata budaya seperti adu tangkas ini.
Sebab,
kekayaan budaya Indonesia terletak dari jenis kebudayaan yang beragam. Dan
kesenian adu tangkas domba garut ini adalah gabungan hewan ikonik Kabupaten
Garut dan laga budaya yang melegenda. Sudah sepatutnya untuk terus ada.
Referensi: