"Bagaimana penampilanku?" Dinar memutar-mutar tubuhnya dengan anggun. Gaun putih yang dipakainya pun ikut mengembang cantik.
"Cantik," komentarku pendek.
"Ah, Kirana. aku jelek, ya?" katanya sambil mengamati setiap detail gaun pengantinnya.
Aku hanya bisa tersenyum melihat tawanya. "Nggak kok, kamu cantik. Serius."
"Aku gugup."
"Wajar, kan? Hari ini hari besarmu. Aku rasa bukan kamu saja yang gugup. Di.." kata-kataku tercekat pada sebuah nama. "Dimas juga pasti gugup," lanjutku sedikit dipaksakan.
"Ayo kita keluar. Semua tamu sudah menunggu," ajakku pada Dinar.
Kami berdua keluar dari ruang yang kelak menjadi kamar pengantin Dinar dan Dimas. Aku berhenti sejenak, mengamati ruangan itu. Dua bulan yang lalu, di ruangan ini, aku dan Dimas bersatu, tanpa sekat di tubuh. Benar-benar satu. Hingga saat aku tahu, Dimas adalah kekasih sahabatku.
"Kirana, ayo!" Dinar memanggil namaku. Aku mengikutinya dari belakang. Dimas, aku tahu ini salah. Tapi aku akan tetap menunggumu. Ada hal yang harus kamu tahu, ada alasan bagimu tuk kembali, aku refleks memegang perutku yang mulai membuncit.
Nak, lihatlah. Ayahmu menikah hari ini...