Mengenal Wayang Palembang, Kesenian Tradisional yang (Hampir) Terlupakan
Senin, 20 Juni 2016
- Post a Comment
Pertunjukkan wayang
selalu identik dengan kesenian Jawa. Tapi di Palembang, Sumatera Selatan ada
satu seni pertunjukan yang juga serupa.
Gambar diambil dari sini |
Wayang Palembang adalah
pertunjukan tradisional khas Palembang yang diperkirakan tumbuh sejak beberapa
abad yang lalu. Beberapa sumber mengatakan bahwa Wayang Palembang mulai ada saat
Arya Damar yang berkuasa di Palembang saat itu mulai terpengaruh budaya
Palembang. Lambat laun, kesenian ini tumbuh dan berkembang sesuai dengan
karakter lokal kota Palembang.
Dalam pagelarannya,
Wayang Palembang biasanya diiringi oleh seperangkat Gamelan berlaras pelog
dengan caturan atau gending yang memiliki bentuk dan harmoni yang telah diolah
sedemikian rupa dan tanpa sinden atau penyanyi tradisional. Musik yang
mengiringi wayang Palembang berbeda dengan bunyi-bunyi yang dikeluarkan gamelan
Jawa. Pukulannya bergerak dari kanan ke kiri, berbeda dengan Jawa dari kanan ke
kiri. Dari segi warna wayangnya pun berbeda. Warna wayang Palembang kuning
tembaga, bukan keemasan seperti di wayang Jawa.
Dari segi cerita,
pertunjukan wayang Palembang menampilkan cerita yang hampir sama dengan wayang
Jawa yaitu sekitar Mahabarata dan Ramayana namun mendapat gelar sesuai nama
khas daerah seperti Wak atau Raden.
Bahasa yang digunakan sebagai dialog pun adalah bahasa Palembang halus yang
dicampur bahasa sehari-hari. Perilaku tokohnya juga lebih bebas dibanding
wayang Jawa yang ketat dengan pakem klasik.
Kesenian ini
perlahan-lahan mulai tenggelam. Gaungnya sudah tidak terdengar lagi hingga pada
tahun 2005, UNESCO memberikan bantuan untuk melestarikan kesenian ini berupa
seperangkat gamelan dan wayang untuk menghidupkan kembali pertunjukkan ini. Namun
tampaknya, upaya ini masih belum membuahkan hasil.
Sejujurnya, saya pun
baru mengetahui keberadaan Wayang Palembang beberapa tahun ini. Itu pun
dikarenakan tugas dari sekolah untuk mencari kesenian dan kebudayaan Sumatera
Selatan. Jika banyak yang menulis tentang tari-tarian dan kebudayaan lainnya,
entah mengapa tidak ada seorang pun yang tertarik mengambil Wayang Palembang
sebagai bagian dari kebudayaan Palembang. Ada beberapa sebab pentingnya. Wayang
Palembang—apalagi bagi generasi sekarang terdengar amat asing di telinga.
Mungkin inilah potret keberadaannya di masyarakat Palembang.
Selama ini Palembang
masih terkenal dengan wisata kuliner seperti pempek, atau wisata sungai Musi
sehingga. Dalam acara-acara kebudayaan, sangat jarang—bahkan hampir tidak
pernah terdengar pementasan Wayang Palembang. Masyarakat Palembang pun mungkin
tidak akan tahu jika ada kesenian ini.
Sekarang, Wayang Palembang
telah menjelma seperti barang usang yang tergeletak begitu saja di sudut paling
dalam lemari yang berdebu tebal. Terlalu sayang untuk dibuang, namun terlalu
malas untuk dipedulikan. Sebenarnya, kesenian dan kebudayaan tidak seharusnya menghilang.
Melupakan budaya sama saja seperti menghilangkan jati diri sendiri. Seni dan udaya
yang ada lalu berkembang dari beberapa waktu silam tak dapat dibantah telah
menjadi cerminan dari kita, tentang bagaimana kita hidup di dalam sebuah
ekosistem yang terikat. Sebagai contoh kebudayaan Palembang pasti berbeda
dengan kebudayaan Jawa. Bahkan, dalam kasus beda batas wilayah namun tetap satu
provinsi seperti Palembang dan Banyuasin kebudayaannya pun berbeda. Tatanan
masyarakat dan bagaimana bersikap terhadap sesama pun itu tergantung pada
budaya setempat. Seperti Wayang Jawa yang lebih memperhatikan pakem kesopanan
dengan bahasa yang magis dan berbeda dengan Wayang Palembang yang lebih santai
dan bebas, kebudayaan itu merasuk dalam diri kita, baik sadar maupun tidak
sadar.
Kebudayaan—apapun bentuknya,
selalu mengajarkan kita untuk bersikap. Tak seharusnya budaya seperti Wayang
Palembang punah dan musnah ditelan peradaban. Adalah tugas kita semua, bukan
hanya pemerintah untuk membangkitkan kesenian ini. Langkah nyatanya cukup
sederhana. Dimulai dengan kita mengakui keberadaannya agar semua orang bisa
tahu bahwa ada kesenian ini di Palembang. Caranya seperti menuliskannya di blog ini.
Karena, jika bukan
kita, siapa lagi?
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/wayang-nusantara-indonesian-shadow-puppets/wayang-palembang-nasibmu/215668541109/
http://zainbie.com/sejarah-kesenian-wayang-palembang/
http://budaya-indonesia.org/wayang-kulit-palembang/
http://www.palembang-tourism.com/berita-435-wayang-kulit-palembang.html
http://palembang.tribunnews.com/2013/11/21/ternyata-palembang-punya-wayang
http://kidnesia.com/Indonesiaku/Teropong-Daerah/Sumatera-Selatan/Seni-Budaya/Wayang-Kulit-Asal-Palembang
[Review] Mermaid Fountain - Dyah Rinni
Selasa, 10 Mei 2016
- Post a Comment
Penulis : Dyah Rinni
Penerbit : Writerpreneur Club
Penerbit : Writerpreneur Club
Genre : Fiksi, Romance
Kategori : Young Adult, Fairy Tale, Kuliner
Terbit : Mei 2016
Tebal : iv + 224 hlm
Harga : Rp. 59.000
Blurb:
Konon kabarnya air mancur itu membawa keajaiban.
Mairin Malya, seorang chef. Ia memperjuangkan segalanya demi mimpi membangun restoran seafood. Hingga suatu saat, tragedi datang dan meremukkan semua harapannya. Satu-satunya jalan untuk terus menjaga mimpinya adalah dengan berdusta.
Laguna Senna, seorang penyanyi bersuara emas. Seumur hidup ia berjuang untuk ketenaran dan kekayaan. Hingga suatu hari, dunianya yang rapuh terancam runtuh.
Mereka bertemu di depan air mancur Putri Duyung. Bersama-sama, mereka melemparkan koin. Bersama-sama, mereka berharap agar impian mereka tercapai.
Dan kemudian keajaiban terjadi. Tapi, tidak dengan cara yang mereka inginkan.
Takdir memutarbalikkan dunia keduanya, membawa mereka ke arah yang tak terduga: musuh, masalah, dan juga, cinta.
Akankah pada akhirnya mereka menemukan kebahagiaan yang mereka cari? Ataukah mereka akan hancur menjadi buih seperti dongeng sang Putri Duyung?
Namun, untuk setiap permintaan ada pengorbanan yang harus dibuat.
*
[Cerpen] Pluviophile
Jumat, 15 April 2016
- 3 comments
Gambar diambil dari sini |
¯When
I feel has come and gone before / No need totalk it out / we know what it’s all
about ¯
Rainy
Days and Mondays – The Carpenters
“Kenapa kadar bahagia tiap orang itu
beda-beda?”
“Mungkin karena tiap orang punya batasan tentang
kebahagiaan sendiri-sendiri?”[1]
Kami saling melempar pertanyaan secara
bergantian. Sedari tadi, kami masih tetap bertahan pada keadaan yang sama:
duduk berdua di beranda sebuah restoran cepat saji yang masih sepi. Bulir-bulir
hujan sebesar biji jagung turun menghunjam atap seng, membuat suasana bising
yang mengisi suasana diam pada percakapan di antara kami.
“Apa batasanmu untuk bahagia?”
“Kamu bertanya dengan pertanyaan yang
sebening kaca,” jawabku. Aku mengambil cangkir kopiku, lalu menyeruputnya. Rasa
pahit itu lumer di lidah, tapi aku terlalu tak peduli mengenai itu. Ada rasa
sesak yang memenuhi rongga dada, yang segera ingin melesak keluar.
Setelah
meletakkan kembali cangkir, aku melanjutkan, “Tidakkah semuanya sudah jelas?
Untuk apa kamu menanyakan hal yang kamu sudah pasti tahu jawabannya?”
Kulihat,
ujung-ujung bibirnya mulai terangkat. Ia tersenyum kecil.
“Kalau
kamu?” aku balik bertanya.
Tidak
ada jawaban. Ia hanya mengalihkan pandangannya ke arah jendela di samping kami,
memandangi hujan yang sedang menirai.
“Ah,
iya. Hujan.” Tanpa dikomando, kata-kata itu meluncur dari bibirku.
Ia
menoleh ke arahku. Senyumannya melebar.
“Kamu
sangat suka hujan,” lanjutku sambil balas tersenyum. Tapi, seperti rasa kopi
itu, senyumanku pahit, amat pahit. “Kamu sangat bahagia jika hujan sedang
turun,” desahku.
Ia
tertawa. “Kamu sudah sangat mengenalku,” komentarnya singkat. “Menurutmu,
bahagia itu seperti apa?”
Aku
menatap lekat matanya, mencari definisi bahagia yang menjadi pertanyaannya.
Semakin lama, matanya semakin lekat. Pekat. Ada lubang hitam di sana dengan aku
yang menjadi sumbernya.
Dalam
satu tarikan napas, aku berujar pelan. “Melepaskan.”
Hanya
satu kata itu. Akan tetapi, beribu kenangan ikut di dalamnya. Seluruh rasa
bercampur aduk mengikutinya.
Hanya
satu kata itu.
[Cerpen] PERFECT ENDING
Selasa, 12 April 2016
- 2 comments
Gambar diambil dari sini |
*
Aku
benci musim dingin.
Aku
benci salju-salju yang jatuh tiba-tiba, tak terencana. Aku juga benci matahari
yang kehilangan lakonnya. Dan aku benci karena musim dingin membuatku tidak
bisa bebas mengambil gambar di luar.
“Takeru-kun!”
Nene-chan
menepuk pundakku ketika aku berjalan lesu ke sekolah. Ia kemudian menyamakan
langkah kakinya denganku.
“Sudah
tahu mau membuat film apa?” tanya Nene-chan lagi.
Aku
mendesah. Film yang dimaksud olehnya adalah tugas yang diberikan para senior
kami di klub film dua minggu lalu. Semacam project
akhir tahun ajaran yang nanti akan menjadi syarat kami apakah benar-benar
diterima sebagai anggota klub film atau tidak. Bagi anggota tahun pertama
sepertiku, masuk klub film adalah mutlak. Sedari dulu, aku menyukai semua hal
yang berbau film. Aku menikmati gambar-gambar yang kuambil lewat camcorder butut pemberian otousan. Sudah banyak gambar yang
kurekam dan sejauh ini mendapat respon yang cukup bagus dari beberapa temanku.
Dan itulah yang kusesali. Aku tidak memiliki stok gambar lagi untuk tugas senior
kali ini.
“Aku
belum tahu,” ucapku pelan.
Nene-chan
mengangguk. “Kalau aku akan buat semacam dokumenter. Film tentang Tokyo Tower!”
ujarnya antusias.
Aku
mengarahkan pandanganku ke arahnya seraya memicingkan mata. “Melodrama lagi?”
Kenapa
‘lagi’? Karena kutahu Nene-chan sangat suka genre itu. Sedangkan aku, meski
tidak menolak, melodrama menjadi urutan terakhir film yang akan kubuat.
Gadis
itu melebarkan senyumannya. “Kalau Takeru-kun pasti tidak mau buat seperti itu,
kan?”
Tepat
sekali.
Baru
saja aku ingin menjawabnya, ada tiga buah objek yang tertangkap mataku di depan
gerbang sekolah. Sebuah objek yang mendadak membuatku tergelitik sehingga
membangkitkan semangat yang ada di dalam dadaku, semangat yang berhasil
mengalahkan rasa benciku pada musim dingin.
“Kenapa
Takeru-kun?” tanya Nene-chan lagi melihatku diam cukup lama.
Aku
berbalik lalu meletakkan kedua tanganku di atas pundaknya. “Arigatou Nene-chan!” seruku.
Nene
menatapku bingung. Sebelum ia bertanya lagi, aku langsung menjawabnya, “Tampaknya,
kali ini aku akan membuat film melodrama!”
Yubi kiri (An Another Story)
Senin, 11 April 2016
- Post a Comment
Gambar diambil dari sini |
*
Aku
pernah menyukai seseorang. Tapi aku berbohong padanya.
Aku
tidak tahu kapan persisnya atau alasan apa aku mulai menyukainya. Yang kutahu,
ia masuk begitu saja ke dalam kehidupanku, membuatku nyaman di dekatnya tanpa
peduli apa pandangan orang.
Pertemuan
kami sederhana, suatu pagi aku terlambat datang ke sekolah karena Rika-chan,
pacarku, tidak membangunkanku. Saat itu, ada satu orang yang ikut terlambat.
Kami berdua sama-sama menaiki kereta yang sama. Saat itu, musim dingin dan aku
sudah pasrah akan dihukum apa saja oleh Genta-sensei. Tapi kemudian, anak itu
dengan lantang bersuara, “Ada salju yang menumpuk.”
Melihatnya,
aku hanya bisa tertegun. Genta-sensei menoleh ke arahku. “Apa benar
Tomohiro-san?”
Anak
itu langsung menoleh ke arahku serius. Bola matanya yang cokelat menatapku
serius.
“H—hai!”
Genta-sensei
berdeham. “Baiklah kalau begitu, kalian boleh masuk.”
Dengan
cepat, aku melangkahkan kaki, menjauh dari pandangan Genta-sensei. Anak itu
mengekor di belakangku. Setelah cukup jauh, aku membalikkan badan.
“Arigatou...”
Ia
melangkah ke arah belakang sedikit karena terkejut lalu tersenyum ke arahku.
“Bisa
aku meminta alamat surelmu?” Ia bertanya sembari menyerahkan ponselnya.
Eh?
Aku
mengambilnya cepat lalu mengetik. Jam pertama ketika itu hampir usai saat aku
menyerahkan kembali ponselnya.
Setelah
ia mengambil ponselnya, tanpa mengucap apa-apa lagi, ia berlari pergi.
Dan
mendadak hidupku berubah setelah ini.
Langganan:
Postingan (Atom)