Pluviophile



4 Korean Variety Shows That Blown My Mind


Mengenal Tanda Tangan Digital

Pesona Pangkalpinang yang Mengejutkanku!



Samyang bikin Belanja Cerdas





Mengenal Wayang Palembang, Kesenian Tradisional yang (Hampir) Terlupakan

Pertunjukkan wayang selalu identik dengan kesenian Jawa. Tapi di Palembang, Sumatera Selatan ada satu seni pertunjukan yang juga serupa.

Gambar diambil dari sini
Wayang Palembang adalah pertunjukan tradisional khas Palembang yang diperkirakan tumbuh sejak beberapa abad yang lalu. Beberapa sumber mengatakan bahwa Wayang Palembang mulai ada saat Arya Damar yang berkuasa di Palembang saat itu mulai terpengaruh budaya Palembang. Lambat laun, kesenian ini tumbuh dan berkembang sesuai dengan karakter lokal kota Palembang.

Dalam pagelarannya, Wayang Palembang biasanya diiringi oleh seperangkat Gamelan berlaras pelog dengan caturan atau gending yang memiliki bentuk dan harmoni yang telah diolah sedemikian rupa dan tanpa sinden atau penyanyi tradisional. Musik yang mengiringi wayang Palembang berbeda dengan bunyi-bunyi yang dikeluarkan gamelan Jawa. Pukulannya bergerak dari kanan ke kiri, berbeda dengan Jawa dari kanan ke kiri. Dari segi warna wayangnya pun berbeda. Warna wayang Palembang kuning tembaga, bukan keemasan seperti di wayang Jawa.

Dari segi cerita, pertunjukan wayang Palembang menampilkan cerita yang hampir sama dengan wayang Jawa yaitu sekitar Mahabarata dan Ramayana namun mendapat gelar sesuai nama khas daerah seperti Wak atau Raden. Bahasa yang digunakan sebagai dialog pun adalah bahasa Palembang halus yang dicampur bahasa sehari-hari. Perilaku tokohnya juga lebih bebas dibanding wayang Jawa yang ketat dengan pakem klasik.

Kesenian ini perlahan-lahan mulai tenggelam. Gaungnya sudah tidak terdengar lagi hingga pada tahun 2005, UNESCO memberikan bantuan untuk melestarikan kesenian ini berupa seperangkat gamelan dan wayang untuk menghidupkan kembali pertunjukkan ini. Namun tampaknya, upaya ini masih belum membuahkan hasil.

Sejujurnya, saya pun baru mengetahui keberadaan Wayang Palembang beberapa tahun ini. Itu pun dikarenakan tugas dari sekolah untuk mencari kesenian dan kebudayaan Sumatera Selatan. Jika banyak yang menulis tentang tari-tarian dan kebudayaan lainnya, entah mengapa tidak ada seorang pun yang tertarik mengambil Wayang Palembang sebagai bagian dari kebudayaan Palembang. Ada beberapa sebab pentingnya. Wayang Palembang—apalagi bagi generasi sekarang terdengar amat asing di telinga. Mungkin inilah potret keberadaannya di masyarakat Palembang.




Selama ini Palembang masih terkenal dengan wisata kuliner seperti pempek, atau wisata sungai Musi sehingga. Dalam acara-acara kebudayaan, sangat jarang—bahkan hampir tidak pernah terdengar pementasan Wayang Palembang. Masyarakat Palembang pun mungkin tidak akan tahu jika ada kesenian ini.

Sekarang, Wayang Palembang telah menjelma seperti barang usang yang tergeletak begitu saja di sudut paling dalam lemari yang berdebu tebal. Terlalu sayang untuk dibuang, namun terlalu malas untuk dipedulikan. Sebenarnya, kesenian dan kebudayaan tidak seharusnya menghilang. Melupakan budaya sama saja seperti menghilangkan jati diri sendiri. Seni dan udaya yang ada lalu berkembang dari beberapa waktu silam tak dapat dibantah telah menjadi cerminan dari kita, tentang bagaimana kita hidup di dalam sebuah ekosistem yang terikat. Sebagai contoh kebudayaan Palembang pasti berbeda dengan kebudayaan Jawa. Bahkan, dalam kasus beda batas wilayah namun tetap satu provinsi seperti Palembang dan Banyuasin kebudayaannya pun berbeda. Tatanan masyarakat dan bagaimana bersikap terhadap sesama pun itu tergantung pada budaya setempat. Seperti Wayang Jawa yang lebih memperhatikan pakem kesopanan dengan bahasa yang magis dan berbeda dengan Wayang Palembang yang lebih santai dan bebas, kebudayaan itu merasuk dalam diri kita, baik sadar maupun tidak sadar.

Kebudayaan—apapun bentuknya, selalu mengajarkan kita untuk bersikap. Tak seharusnya budaya seperti Wayang Palembang punah dan musnah ditelan peradaban. Adalah tugas kita semua, bukan hanya pemerintah untuk membangkitkan kesenian ini. Langkah nyatanya cukup sederhana. Dimulai dengan kita mengakui keberadaannya agar semua orang bisa tahu bahwa ada kesenian ini di Palembang. Caranya seperti menuliskannya di blog ini.


Karena, jika bukan kita, siapa lagi?



Sumber:
https://www.facebook.com/notes/wayang-nusantara-indonesian-shadow-puppets/wayang-palembang-nasibmu/215668541109/
http://zainbie.com/sejarah-kesenian-wayang-palembang/
http://budaya-indonesia.org/wayang-kulit-palembang/
http://www.palembang-tourism.com/berita-435-wayang-kulit-palembang.html
http://palembang.tribunnews.com/2013/11/21/ternyata-palembang-punya-wayang
http://kidnesia.com/Indonesiaku/Teropong-Daerah/Sumatera-Selatan/Seni-Budaya/Wayang-Kulit-Asal-Palembang

[Review] Mermaid Fountain - Dyah Rinni

Penulis  : Dyah Rinni
Penerbit : Writerpreneur Club
Genre : Fiksi, Romance
Kategori : Young Adult, Fairy Tale, Kuliner
Terbit : Mei 2016
Tebal : iv + 224 hlm
Harga : Rp. 59.000
Blurb: 
Konon kabarnya air mancur itu membawa keajaiban.

Mairin Malya, seorang chef. Ia memperjuangkan segalanya demi mimpi membangun restoran seafood. Hingga suatu saat, tragedi datang dan meremukkan semua harapannya. Satu-satunya jalan untuk terus menjaga mimpinya adalah dengan berdusta.

Laguna Senna, seorang penyanyi bersuara emas. Seumur hidup ia berjuang untuk ketenaran dan kekayaan. Hingga suatu hari, dunianya yang rapuh terancam runtuh.

Mereka bertemu di depan air mancur Putri Duyung. Bersama-sama, mereka melemparkan koin. Bersama-sama, mereka berharap agar impian mereka tercapai.

Dan kemudian keajaiban terjadi. Tapi, tidak dengan cara yang mereka inginkan.

Takdir memutarbalikkan dunia keduanya, membawa mereka ke arah yang tak terduga: musuh, masalah, dan juga, cinta.

Akankah pada akhirnya mereka menemukan kebahagiaan yang mereka cari? Ataukah mereka akan hancur menjadi buih seperti dongeng sang Putri Duyung?

Namun, untuk setiap permintaan ada pengorbanan yang harus dibuat.

*

[Cerpen] Pluviophile


Gambar diambil dari sini

¯When I feel has come and gone before / No need totalk it out / we know what it’s all about ¯
Rainy Days and Mondays – The Carpenters

   “Kenapa kadar bahagia tiap orang itu beda-beda?”
   “Mungkin karena tiap orang punya batasan tentang kebahagiaan sendiri-sendiri?”[1]
   Kami saling melempar pertanyaan secara bergantian. Sedari tadi, kami masih tetap bertahan pada keadaan yang sama: duduk berdua di beranda sebuah restoran cepat saji yang masih sepi. Bulir-bulir hujan sebesar biji jagung turun menghunjam atap seng, membuat suasana bising yang mengisi suasana diam pada percakapan di antara kami.
   “Apa batasanmu untuk bahagia?”
   “Kamu bertanya dengan pertanyaan yang sebening kaca,” jawabku. Aku mengambil cangkir kopiku, lalu menyeruputnya. Rasa pahit itu lumer di lidah, tapi aku terlalu tak peduli mengenai itu. Ada rasa sesak yang memenuhi rongga dada, yang segera ingin melesak keluar.
Setelah meletakkan kembali cangkir, aku melanjutkan, “Tidakkah semuanya sudah jelas? Untuk apa kamu menanyakan hal yang kamu sudah pasti tahu jawabannya?”
Kulihat, ujung-ujung bibirnya mulai terangkat. Ia tersenyum kecil.
“Kalau kamu?” aku balik bertanya.
Tidak ada jawaban. Ia hanya mengalihkan pandangannya ke arah jendela di samping kami, memandangi hujan yang sedang menirai.
“Ah, iya. Hujan.” Tanpa dikomando, kata-kata itu meluncur dari bibirku.
Ia menoleh ke arahku. Senyumannya melebar.
“Kamu sangat suka hujan,” lanjutku sambil balas tersenyum. Tapi, seperti rasa kopi itu, senyumanku pahit, amat pahit. “Kamu sangat bahagia jika hujan sedang turun,” desahku.
Ia tertawa. “Kamu sudah sangat mengenalku,” komentarnya singkat. “Menurutmu, bahagia itu seperti apa?”
Aku menatap lekat matanya, mencari definisi bahagia yang menjadi pertanyaannya. Semakin lama, matanya semakin lekat. Pekat. Ada lubang hitam di sana dengan aku yang menjadi sumbernya.
Dalam satu tarikan napas, aku berujar pelan. “Melepaskan.”
Hanya satu kata itu. Akan tetapi, beribu kenangan ikut di dalamnya. Seluruh rasa bercampur aduk mengikutinya.
Hanya satu kata itu.

[Cerpen] PERFECT ENDING

Gambar diambil dari sini
*

Aku benci musim dingin.

Aku benci salju-salju yang jatuh tiba-tiba, tak terencana. Aku juga benci matahari yang kehilangan lakonnya. Dan aku benci karena musim dingin membuatku tidak bisa bebas mengambil gambar di luar.

“Takeru-kun!”

Nene-chan menepuk pundakku ketika aku berjalan lesu ke sekolah. Ia kemudian menyamakan langkah kakinya denganku.

“Sudah tahu mau membuat film apa?” tanya Nene-chan lagi.

Aku mendesah. Film yang dimaksud olehnya adalah tugas yang diberikan para senior kami di klub film dua minggu lalu. Semacam project akhir tahun ajaran yang nanti akan menjadi syarat kami apakah benar-benar diterima sebagai anggota klub film atau tidak. Bagi anggota tahun pertama sepertiku, masuk klub film adalah mutlak. Sedari dulu, aku menyukai semua hal yang berbau film. Aku menikmati gambar-gambar yang kuambil lewat camcorder butut pemberian otousan. Sudah banyak gambar yang kurekam dan sejauh ini mendapat respon yang cukup bagus dari beberapa temanku.

Dan itulah yang kusesali. Aku tidak memiliki stok gambar lagi untuk tugas senior kali ini.

“Aku belum tahu,” ucapku pelan.

Nene-chan mengangguk. “Kalau aku akan buat semacam dokumenter. Film tentang Tokyo Tower!” ujarnya antusias.

Aku mengarahkan pandanganku ke arahnya seraya memicingkan mata. “Melodrama lagi?”

Kenapa ‘lagi’? Karena kutahu Nene-chan sangat suka genre itu. Sedangkan aku, meski tidak menolak, melodrama menjadi urutan terakhir film yang akan kubuat.

Gadis itu melebarkan senyumannya. “Kalau Takeru-kun pasti tidak mau buat seperti itu, kan?”

Tepat sekali.
Baru saja aku ingin menjawabnya, ada tiga buah objek yang tertangkap mataku di depan gerbang sekolah. Sebuah objek yang mendadak membuatku tergelitik sehingga membangkitkan semangat yang ada di dalam dadaku, semangat yang berhasil mengalahkan rasa benciku pada musim dingin.

“Kenapa Takeru-kun?” tanya Nene-chan lagi melihatku diam cukup lama.

Aku berbalik lalu meletakkan kedua tanganku di atas pundaknya. “Arigatou Nene-chan!” seruku.

Nene menatapku bingung. Sebelum ia bertanya lagi, aku langsung menjawabnya, “Tampaknya, kali ini aku akan membuat film melodrama!”

Yubi kiri (An Another Story)

Gambar diambil dari sini
*

Aku pernah menyukai seseorang. Tapi aku berbohong padanya.

Aku tidak tahu kapan persisnya atau alasan apa aku mulai menyukainya. Yang kutahu, ia masuk begitu saja ke dalam kehidupanku, membuatku nyaman di dekatnya tanpa peduli apa pandangan orang.

Pertemuan kami sederhana, suatu pagi aku terlambat datang ke sekolah karena Rika-chan, pacarku, tidak membangunkanku. Saat itu, ada satu orang yang ikut terlambat. Kami berdua sama-sama menaiki kereta yang sama. Saat itu, musim dingin dan aku sudah pasrah akan dihukum apa saja oleh Genta-sensei. Tapi kemudian, anak itu dengan lantang bersuara, “Ada salju yang menumpuk.”

Melihatnya, aku hanya bisa tertegun. Genta-sensei menoleh ke arahku. “Apa benar Tomohiro-san?”

Anak itu langsung menoleh ke arahku serius. Bola matanya yang cokelat menatapku serius.

“H—hai!”

Genta-sensei berdeham. “Baiklah kalau begitu, kalian boleh masuk.”

Dengan cepat, aku melangkahkan kaki, menjauh dari pandangan Genta-sensei. Anak itu mengekor di belakangku. Setelah cukup jauh, aku membalikkan badan.

Arigatou...”

Ia melangkah ke arah belakang sedikit karena terkejut lalu tersenyum ke arahku.

“Bisa aku meminta alamat surelmu?” Ia bertanya sembari menyerahkan ponselnya.

Eh?

Aku mengambilnya cepat lalu mengetik. Jam pertama ketika itu hampir usai saat aku menyerahkan kembali ponselnya.

Setelah ia mengambil ponselnya, tanpa mengucap apa-apa lagi, ia berlari pergi.

Dan mendadak hidupku berubah setelah ini.