[cerita] Rumah Impian Ibu
32 KM
Orang bilang jarak 32 KM tidak berarti apa-apa. Kita bisa pulang pergi menuju kampus dalam waktu kurang dari lima jam.
Aku tahu, dan aku paham.
Yang aku khawatirkan bukan tentang jarak di antara kita. Sama sekali bukan. Tapi tentang waktu yang selama ini terbuang untuk jarak sejauh itu. Waktu yang seharusnya bisa aku isi.. denganmu.
***
Namanya Putri. Seorang mahasiswi sistem informasi yang berhasil menarik hati Rido. Rido tidak tahu kapan dia suka dengan Putri. Yang jelas sudah sebulan ini Putri selalu ada di tempat Rido ada. Di kampusnya, di rumahnya, di langit-langit kamarnya, bahkan di tempat pribadinya sekalipun, sebuah ruang imaji warna putih, mimpinya.
Rido juga tidak tahu mengapa dia menyukai Putri. Yang jelas, dulu, Putri dan dia bergabung di satu komunitas, hingga jadi koordinator satu event yang sama. Kata pertama Putri ketika memanggil namanya jelas masih terngiang di telinganya.
Rido. Rido. Rido.
Dia mengulangnya tiga kali namun terasa puluhan ribu kali.
Rido juga tidak mengerti, bagaimana dia bisa menyukai Putri. Tidak ada yang spesial, bahkan jika kau mengharapkan adegan romantis mereka berdua, Rido akan terang-terangan menjawab bahwa membahas proposal event menjadi andalannya.
Rido merenggangkan tubuhnya yang keram akibat duduk terlalu lama.
Putri. Putri. Putri.
Tampaknya aku benar-benar sudah jatuh cinta.
***
"Put, aku mau ngomong sesuatu." Rido membiarkan Putri menyesap coklat panasnya sambil berusaha menyusun kalimat di otaknya.
Hari ini hari ke 32 Rido dan Putri saling kenal. Setelah dua hari lalu Rido meyakinkan bahwa dirinya jatuh cinta, maka ia tidak ingin galau terlalu lama. Dia memutuskan untuk menyatakan cinta pada Putri, cewek berjilbab yang sudah membuatnya bertekuk lutut.
Putri meletakkan cangkir di tangannya lalu menatap Rido sambil mengangkat satu alisnya. "Kamu mau nembak aku?"
Deg. Suasana hening sekaligus dingin menyelimuti mereka. Padahal ini jam 2 sore dan suasana kafe sangat ramai.
"Eng.. Anu.." jawab Rido gugup. Bisa-bisanya dia tahu. Apa dia bisa baca pikiran?
"Kalo kamu ngajakin aku keluar kosan sampe rela dateng 32 KM ke kampus padahal gak ada kuliah aku rasa kamu bakal nembak aku. Lagipula cuma aku yang deket dengan kamu satu bulan ini -"
"32 Hari," potong Rido cepat. Putri langsung menatap Rido dengan tatapan jangan-ngomong-lagi.
"Iya, 32 hari. Cuma aku yang ada di deket kamu TIGA PULUH DUA HARI ini," ujar Putri. Ia lalu menarik nafas sejenak lalu melanjutkan, "Jadi aku pikir gak mungkin ada cowok yang rela begitu kalo gak mau bahas urusan penting. Urusan kamu dan aku kan event yang udah selesai sepuluh hari lalu, jadi ya aku pikir urusan penting kamu ya mau nembak aku."
Rido diam membisu. Semua yang dikatakan malaikatnya itu benar. SEMUANYA.
"Dan kalo kamu diam seperti ini, aku rasa semua ucapanku tadi benar. Dan kalo ngeliat kamu gugup kayak gini, kita bakal sampe sore dan kamu gak ada bis buat pulang. Jadi -" Putri sengaja membuatnya menggantung. Dia melirik Rido di hadapannya tanpa ada tanda-tanda untuk menjawab.
"Jadi, ya. Aku mau jadi pacarmu." Putri lantas tersenyum. Senyuman yang paling indah yang pernah dilihat Rido seumur hidupnya. Senyuman yang sekarang jadi miliknya..
Rido akhirnya ikut tersenyum. Ini adalah hari paling membahagiakan di hidupnya.
***
"Hei, Put. Aku mau tanya," Rido membuka percakapan mereka di telepon malam itu. Rido dan Putri memang masih memanggil nama masing-masing. Walaupun sudah dua tahun ini mereka bersama, mereka masih nyaman dengan panggilan masing-masing.
"Nanya apa, Do?"
"Kamu pernah bosan?"
"Bosan apa?' tanya Putri heran.
Rido menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Ya bosan kayak gini."
"Hmm."
"Put.."
"Iya."
"Aku cuma mau tau aja, kok. Apa pernah kamu bosan? Kan kita gak kayak pasangan lain."
"Sama kok. Satu perempuan satu laki-laki. Sama saling mencintai."
"Bukan. Bukan itu maksudku. Apa kamu pernah bosan, kan aku gak bisa terus ketemu kamu. Paling juga di kampus. Trus kita jarang menghabiskan waktu sama-sama. Mungkin bisa dihitung pake jari selama dua tahun ini. Jadi, apa kamu pernah bosan?"
"Iya."
"Iya?"
"Iya aku kadang bosan. Tapi aku tahu keadaannya. Kita cuma berjarak 32 KM kok. Gak jauh. Dan aku udah bisa terima itu. Yang penting kamu sayang aku. Cukup."
"Kalo aku lebih jauh?"
"Aku gak yakin bisa sanggup. Melihatmu itu candu. Aku gak bisa seminggu gak liat kamu."
"Gombal." Rido terkekeh geli.
"Ye, serius. Kan kamu yang hobi gombal. Kamu kan rajanya." Putri ikut tertawa.
"Put," panggil Rido setelah tawanya berhenti.
"Ya?"
"Aku sayang kamu."
"Aku tahu."
***
"Aku ke sana ya. Kamu tunggu." Rido memacu cepat motornya di jalanan. Tidak ada yang ia pikirkan. Yang ia tahu, Putri sakit dan butuh pertolongan. Meski Putri bilang baik-baik saja, Rido tidak mendengarkan. Dia tidak ingin gadisnya itu kesusahan.
Rido menerobos tirai hujan yang membasahi jalanan Palembang-Inderalaya dengan cepat.
80 KM/h
85 KM/h
100 KM/h
120 KM/h
Brak! Terdengar suara dentumam keras.
***
Putri bangkit dari tempat tidurnya. Dia melirik jam di meja belajarnya. 19.00.
Sudah tiga jam, Putri mendesah. Sudah tiga jam seharusnya Rido sampe ke sini. Sudah tiga jam.
***
Hei, apa kabar, sayang. Wah sejak kapan aku memanggil kamu sayang ya Put. Tapi gak apa-apalah. Sekali-kali. Hehehe.
Kalo kamu baca surat ini, berarti kita udah berpisah jarak lebih dari 32 KM ya. Sekarang berapa jaraknya? Kamu bisa bantu hitung? :p
Aku bercanda. Aku tahu kamu pasti bingung, kok aku buat surat ini. Hehehe. Sejak percakapan kemarin aku pikir, gimana kalo kamu dan aku jaraknya jauh. Kamu kerja di mana. Aku di mana. Jadi aku mau buat surat ini sebagai pengganti kalo kamu kangen aku. :p
Aku sayang kamu, Put. Jarak berapapun di antara kita, aku yakin kita bisa sama-sama. Ya kecuali kalo aku mati ya. Hahaha.
Ya, kalaupun aku mati, aku ada di samping kamu kok. Tapi kamunya yang harus jaga jarak sama aku. Kamu mau pacaran sama hantu? :p
Haduh. Aku mulai ngelantur. Yaudah daripada kesana kesini mending aku sudahi saja ya.
Put,
Aku sayang kamu.
***
Putri menggenggam surat itu keras. Air matanya jatuh menetes di gundukan tanah merah di hadapannya.
Aku juga sayang kamu. Aku tahu kamu sekarang ada di dekatku.
Kapan Putus?
"Gue gak bisa, Ya. Gue ada acara penting jadi gue gak bisa nemenin lo ke tempat Adrian. Lagipula kita kan cewek. Masa mau ke kosan dia tengah malem?"
"Tapi, Ty. Dia ulang tahun besok. Aku mau ngasih kejutan ke dia. Ayolah, kamu kan sahabat aku."
"Gak bisa. Beneran. Gue ada urusan penting. Besok pagi aja gimana? Gue temenin. Suer."
"Okay. Thanks, Ty. Kamu memang sahabat aku."
Klik. Sambungan telepon terputus.
"Siapa?"
"Biasa. Gak penting. Sekarang.. Selamat ulang tahun ya, Adrian sayang," kataku sambil memeluk tubuh laki-laki di balik selimut tempat tidurku.
"Dan, kapan putus?" tanyaku pada detik selanjutnya.
Benda Masa Lalu
"Jangan sampai masa lalumu merusah masa depanmu. Selagi sempat, buanglah kenanganmu itu."
Aku tidak mempercayai kata-kata ibu. Setidaknya sebelum lima menit dari sebelum ini.
"Kita cerai!"
Dua kata itu masih terngiang di benakku. Dua kata yang keluar dari bibir manis yang kukecup satu jaw ini.
Aku masih terpaku ketika lelakiku berangsur memasukkan barang-barangnya ke dalam koper. Tersadar sebentar, aku lalu berlari menghambur ke hadapannya.
"Kenapa, Di?" Aku meraung-raung. Aku merasa tidak ada yang salah dari tadi.
"PERGI! AKU JIJIK. MULAI SEKARANG KAMU, YANI, JANGAN PERNAH KETEMU AKU LAGI."
Lelakiku itu kemudian pergi ke luar rumah. Sedang aku menangis, tak tahu apa yang terjadi. Padahal kami baru menikah hari ini. Seharusnya...
Di depan pintu rumah, dia berhenti lalu melempar sesuatu ke arahku. Dua kartu persegi yang aku tahu jadi alasan semua ini.
KTP :
NAMA : MULYONO
JENIS KELAMIN : PRIA
KTP :
NAMA : MULYANI
JENIS KELAMIN : WANITA
Benda masa lalu, aku tahu ibu.
(Cerita) Resep Rahasia
Dia, gadis penyuka langit merah.
Dia,
gadis penyuka langit merah.
Duduk di taman dengan buku yang terbuka.
Halaman pertama,
dia menulis tentang kata yang mencipta,
erat dua manusia.
Halaman kedua,
jari-jari lentiknya menarikan kata-kata,
merajut pelan-pelan dengan rasa.
Halaman ketiga,
penanya berhenti berdansa di sebuah nama,
bibirnya tersenyum ceria.
Di bagian akhirnya,
sebuah hati sudah tergambar penuh makna,
cinta?
2.
Dia,
yang duduk menunggu senja,
tenggelam di taman dengan buku yang terbuka.
Kehabisan kata-kata pada halaman-halaman selanjutnya.
Mantera-mantera cinta sudah dia torehkan,
pada lembar-lembar putih yang tak berdosa.
Dia,
benar-benar,
jatuh cinta.
3.
Dia,
yang tak sempat mencumbu jingga.
Dengan langkah tegap seorang pria menggantikan sebuah pena,
masuk ke jari-jarimu yang lentik.
Buku terbuang dengan percuma,
tanpa pertanda,
dia berubah.
4.
Dia,
yang membanjiri langit dengan air mata.
Tak ada lagi langitnya yang memerah.
Langit samar,
abu-abu kehitaman.
suram.
Tak ada lagi jari-jari yang saling menggenggam,
hanya pedih teriris sepi pada dahan-dahan yang mencumbu hujan.
Dia kehilangan,
dua hal paling berharga dalam hidupnya,
mahkota dan sebuah harga,
dirinya.
Penanya tertawa gembira,
dia menuliskan lagi coretan pada buku usang,
ke halaman berikutnya,
berikutnya,
berikutnya,
berikutnya,
berikutnya,
berikutnya,
berikutnya,
hingga halaman terakhir hanya satu kata,
nama kekasih yang mengkhianatinya.
5.
Hujan turun,
deras sekali.
Dia,
yang menginginkan langit merah.
Bukunya tergeletak sewarna hatinya yang membara,
dia tergeletak,
dengan pena yang menancap tepat di urat nadinya.
Dia,
menemukan sendiri merahnya.