Masih menjadi misteri mengapa aroma pop
mie ketika sedang dalam perjalanan sangat menggoda bagi saya.
Mungkin karena micin yang ada di
bungkusnya, diseduh dengan air panas yang mendidih, kemudian menguap masuk
menuju hidung yang membuat seluruh indera menjadi terbuka.
Atau mungkin karena kamu. Di perjalanan
itu, semua tentangmu membuat hal-hal sederhana menjadi begitu istimewa. Di
tengah dinginnya Puncak, kita duduk berdua mamandangi binar-binar kecil lampu
kota yang perlahan dimakan kegelapan. Bermula dari sebuah ajakan “Ayo, ke
Puncak aja!”, kita duduk membicarakan banyak hal. Lebih banyak tentangmu karena
saya sebagai pemesan hanya fokus mendengarkan, sembari sesekali menelan ludah
melihat bibirmu yang tak berhenti menyantap pop mie ayam bawang yang kamu
pesan.
Tak ada yang terjadi setelahnya, hingga
langit berubah warna, dan entah bagaimana mulanya saya menemukan kita tengah mendekap bersama.
*
Masih menjadi misteri mengapa aroma pop
mie ketika sedang dalam perjalanan sangat menggoda bagi saya.
Mungkin karena kata orang, aroma adalah kunci
paling mudah untuk membuka memori kita.
Atau mungkin karena kamu. Di perjalanan
menuju Puncak selanjutnya, kamu menyelipkan pop mie di tengah kita. Bagimu
pop mie semacam ritual yang harus tetap terjaga ketika mengunjungi
Puncak. Pop Mie dan Puncak adalah pasangan serasi yang saling menemukan.
Dinginnya puncak baru bisa dinikmati ketika kehangatan membanjiri, itu analogi
yang selalu kamu katakan. Dinginnya saya, hanya kamu yang bisa taklukkan. Katamu,
saya seumpama sebuah ruangan kosong yang dikelilingi dengan kaca transparan.
Dengan mudah, kamu bisa melihat apa yang ada di dalamnya. Yang saya butuhkan
hanya satu sentuhan, itu yang kamu katakan.
Saya merasa telanjang. Di antara terpaan
angin malam, kamu perlahan melululantakkan.
*
Masih menjadi misteri mengapa aroma pop
mie ketika sedang dalam perjalanan sangat menggoda bagi saya.
Mungkin karena rasanya yang membuat gila.
Bekasnya di bibirmu terasa begitu
istimewa. Gurih, asin, manis bercampur satu menjadikannya candu. Kala itu kita
saling mengulum, melumat, mengulat, entah apa lagi yang kita lakukan. Saya rasa
malam itu adalah malam yang paling berkesan bagi saya. Saya tidak pernah bisa
mengerti bagaimana dua manusia bisa berbagi satu rasa yang sama. Atau hanya
perasaan saya?
Di pertemuan ketiga, benteng yang saya
bangun roboh seroboh-robohnya. Tak ada yang lagi tersisa. Di dekapanmu, saya
memberikan segalanya.
Di malam itu, kamulah yang menunjukkan
jawaban.
*
Masih menjadi misteri mengapa aroma pop
mie ketika sedang dalam perjalanan tidak lagi menggoda bagi saya.
Atau memang karena harganya yang lebih
mahal dari mie instan kemasan.
Atau mungkin karena tak ada lagi kamu di
perjalanan selanjutnya. Kini saya duduk di tempat yang sama, melihat
pemandangan yang sama. Hanya saja, tak ada lagi kamu di sebelah saya. Sepuluh
juta rupiah tak lagi cukup membuatmu bercerita. Saya tidak tahu. Kamu menguap
begitu saja, mungkin mencari analogi-analogi baru, mungkin menyantap makanan
lain di tempat-tempat baru. Yang jelas, kamu sudah menjelma menjadi hantu.
Saya diam kemudian menyantap pop mie
ayam bawang yang saya pesan. Udara malam menusuk ke tulang-tulang saya. Benar
katamu, pop mie dan puncak adalah pasangan serasi yang saling menemukan. Tapi
kamu lupa…
…bahwa mereka baru dapat dinikmati
ketika saling melenyapkan.