[Cerpen] A Stranger and Two Broken Heart Stories



A Stranger and Two Broken Heart Stories
3000 words 

 ||---------------------------------------------------------------------------||


“. . .sometimes one feels freer speaking to a stranger than to people one knows. Why is that?"
“Probably because a stranger sees us the way we are, not as he wishes to think we are.”

***

Apa yang kau lakukan ketika sedang patah hati?

Jika kau tanya aku, aku akan dengan lugas mengatakan; menonton film. Aku bukan tipe laki-laki yang mudah menangis. Aku hanya menangis untuk dua hal; ketika aku benar-benar merasa kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupku, dan kedua, jika aku mengantuk, otomatis mataku berair. Tapi, untuk patah hati, itu masih belum masuk kriteria pertama. Pacar –atau apapun namanya, masih belum cukup berharga untuk aku tangisi.

Munafik jika kubilang patah hati tidak berpengaruh dalam hidupku. Bagaimana mungkin, orang yang sudah terbiasa bersamamu itu tiba-tiba pergi, dan kau masih merasa baik-baik saja? Sama sepertiku, ada sesuatu di tubuhmu yang tiba-tiba nyeri,terlepas, atau kau merasa sulit bernapas. Aku sukar menjelaskannya. Tapi, ada rutinitas yang kembali hilang. Seolah semua hidupmu yang teratur tiba-tiba mengalami getaran yang membuat sebagian hal tidak bisa kau lakukan lagi. Dengannya. Ya, cinta adalah kebiasaan, mungkin itu tepatnya.

Dan aku baru saja patah hati. Patah hati pertamaku.

Dua hari lalu, aku baru berpisah dengan orang yang sudah terbiasa bersamaku selama satu tahun terakhir. Perpisahan klise, yang aku tahu persis selalu diucapkan oleh orang-orang yang sudah bosan dengan pasangannya. Jujur, aku memang orang yang membosankan. Aku tidak bersikap layaknya seorang laki-laki yang dimabuk cinta. Tunggu, maksudku, apa yang kau harapkan dari seseorang yang baru pertama kali mengenal cinta?

Bahkan, untuk satu tahun ini saja, aku tidak bisa berbuat banyak. Dan itu yang menjadi masalah utama bagi kami –baginya.

Lalu, kau bisa tebak kejadian selanjutnya, dia pergi, dengan alasan yang sangat masuk logika; ingin fokus belajar.

Aku percaya, saat dia mengatakan itu. Tapi, kepercayaanku goyah ketika kulihat ia bersama laki-laki lain. Mesra. Lengannya bergelayut manja di lengan laki-laki itu; hal yang baru berani aku lakukan setelah hubungan kami menginjak bulan ke tujuh.

Dan akhirnya aku patah hati, seperti yang kujelaskan tadi.

Jadi satu-satunya hal yang akan aku lakukan adalah menonton film. Di bioskop. Dan sendiri.

Ide ini terlintas saja di benakku. Aku hanya berpikir, menonton film, apalagi komedi, dapat menyembuhkan luka patah hati. Teoriku. Dan aku harap berhasil. Bukankah kesedihan harus dibalas dengan kebahagiaan dan tertawa salah satunya?

Kini, di sinilah aku. Tepat di malam tahun baru. Di saat banyak orang berlomba-lomba untuk pergi ke beberapa tempat perayaan, aku lebih memilih ke sini. Di sebuah bioskop yang tampak asing bagiku. Sengaja aku pilih tempat yang tidak mengingatkanku padanya. Yah, sama seperti luka, semakin sering kau siram di tempat yang sama, akan semakin lama keringnya.

Di tanganku, satu lembar tiket sudah anteng kugenggam. Pengeras suara sudah berulang kali memanggil penonton untuk masuk ke teater tiga, tapi aku masih bergeming. Aku akan pergi ketika lampu dimatikan, begitu niatku. Tujuannya sudah jelas; aku tidak ingin diserang dengan tatapan aneh orang satu ruangan karena pergi sendiri. Rasanya seperti mereka menelanjangimu bulat-bulat dengan mata mereka. Kau merasa dipermalukan.

Sudah lima belas menit pintu teater dibuka, barulah aku memantapkan langkah. Aku masuk ke dalam ruangan itu. Baru saja masuk, aku sudah disambut gelak tawa. Untunglah, mereka bukan menertawakanku, tapi menertawakan film di belakangku.

Dengan cepat aku menuju bangku yang sudah tertera di tiket. Bangku paling atas. Setelah mendapati barisan yang akan kutempati, aku segera duduk. Seperti dugaanku sebelumnya, biasanya orang menonton film pasti berpasangan. Dan aku memilih bangku yang tepat di tengah-tengah mereka. Ada dua pasangan di sebelah kiriku yang menempati bangku satu sampai empat. Sedangkan di sebelah kiriku, ada tiga orang. Dua perempuan dan satu laki-laki. Tapi, tampaknya, perempuan dan laki-laki di dua bangku paling ujung adalah pasangan kekasih. Terlihat dari gerak-gerik mereka yang “mesra” bukan main. Jadi, di sebelahku ini, perempuan ini, juga sendiri?

Aku menggelengkan kepala secepat kilat. Sejak kapan aku jadi kepo begini?

[Review] Hibiscus - Agnes Arina

Judul Buku       : Hibiscus; samaran, misteri, dan balas dendam
Penulis            : Agnes Arina
Penerbit          : Bentang Pustaka
Cetakan          : Pertama
Tebal Buku      : 252 hlm
Tanggal Terbit  : Oktober 2013
ISBN               : 978-602-7888-87-6

Blurb :
Bali gempar. Pierre Villeneuve, wisatawan asal Perancis, ditemukan tewas terbunuh di sebuah kamar hotel mewah. Tangannya menggenggam bunga sepatu dan tak ada yang bisa memecahkan arti dari bunga itu.

Bagaskara, seorang detektif yang menyamar menjadi pemandu wisata, adalah pemandu yang mengantar Pierre dan keluarganya keliling Bali pada hari naas itu. Bagas gusar. Rasa keadilannya terpancing.

Kini yang bergerak bukan Bagas si pemandu wisata, tapi Detektif Bagaskara. Meski dengan mempertaruhkan misi dan samarannya, dia bertekad mengungkap kasus pembunuhan ini sampai tuntas. Semakin dia menyelidik, semakin dia menemukan banyak korban lain.

Dia kini harus mengerahkan semua kemampuannya untuk mencari si pembunuh sebelum jatuh korban berikutnya. Bagas sadar kini dia dikejar oleh waktu, tanggung jawab dan kematian.

[Review] Penjaja Cerita Cinta - @edi_akhiles



Judul Buku    : Penjaja Cerita Cinta
Penulis         : @edi_akhiles
Penerbit       : Divapress
Cetakan       : Pertama
Tebal Buku   : 192 hlm
Tanggal Terbit : Desember, 2013
ISBN            : 978-602-255-397-7

Blurb:
"Aku bisa memberikanmu cinta yang berpijar dari hati...," ucapnya suatu sore menjelang senja di sebuah kafe murahan. Kami hanya memesan es teh manis, plus dua potong pisang goreng. "Kuharap kamu mau mengerti betapa ketulusan hati jauh lebih berharga dari kemilau berlian...."
***
Rumah yang kucari ini lebih tepat disebut kastil. Tak ada rumah lain di sekitarnya. Ya, hanya sendiri berdiri dalam sepi. Debu-debu kering bisa beterbangan demikian berantakkannya meski hanya secuil angin yang melenguihnya. Pagarnya berdiri begitu congkak seolah berkata pada dunia, "Ada kehidupan paling rahasia di dalamnya, jangan ganggu ia atau kematian akan menyambarmu segera!"
***
Kadang yang lain, ia menggumam, "Aku percaya waktu adalah kesemuan. Tak patut bagi kita untuk menjadikan waktu sebagai ukuran sesungguhnya..."
***
 Jika ada cerita yang mewartakan rindu yang sangat menyayat hati pemiliknya, pastilah rindu yang dirasakan itu belumlah sepekat rindu yang bersemayam di hati Senja.

Malam Pertama

Aku harus tampil cantik sekarang. Semua harus tampak sempurna. Pakaian pun sudah aku siapkan. Satu model lingerie berwarna merah muda dengan renda yang sangat menggoda. Ah! Aku sudah tidak sabar.

“Sayang...” Suaranya memanggilku dari dalam kamar.

Aku pun semakin bergairah. Kulepaskan semua pakaianku, lalu mulai mengambil senjata rahasiaku. Sempurna!

Kulihat tubuhku di balik kaca, sudah sangat menggoda. Semuanya sudah siap. Darahku berdesir cepat. Satu bagian tubuhku menengang. Selalu. Setiap lingerie ini menempel di tubuhku.*

Aku pun membuka pintu. Kulihat matanya melebar.

“Sayang, bagaimana penampilanku?” Aku bertanya senang.

“Pa...” Dia berkata dengan nada tidak percaya sambil melihatku. “APA YANG PAPA LAKUKAN?”

 

***

*Tranvestisme
Jenis Parafilia yang kepuasan seksual penderitanya diperoleh bila memakai pakaian atau benda-benda pribadi lawan jenisnya (bra, celana dalam). Transvestisme juga dikenal sebagai berpakaian lawan jenis (cross-dressing).

*tulisan ini diikutsertakan dalam #FF100Kata

[Setidaknya] Ia Tidak Pernah Merasakan Patah Hati

"Mom, kayak apa sih rasanya jatuh cinta?"

Aku mengalihkan perhatianku dari majalah yang sedang kubaca lalu menatap Agan sambil tersenyum. "Memangnya Agan tahu cinta itu seperti apa?" Aku balas bertanya.

Anak lelakiku itu tampak berpikir keras. "Kalau dari novel-novel yang Agan baca dan film-film yang Agan tonton, jatuh cinta itu kayaknya menyenangkan, ya, Mom," ujarnya malu-malu seraya tersenyum.

Aku balas tersenyum padanya. Perlahan aku mendekatinya. "Jika Agan berpikiran begitu, ya, jatuh cinta memang seperti itu," ujarku.

Ia tampak tidak puas dengan jawabanku. "Tapi, kadang di novel sama film, kalau dua orang jatuh cinta itu kadang berantem, terus nangis, terus kadang juga si cowok pergi, atau si cewek..."

Aku memakai sarung tangan karet lalu membelai rambutnya pelan. "Hus. Sebenarnya, jatuh cinta itu menyenangkan, kok. Tapi prosesnya saja yang kadang buat orang jadi seperti itu. Sudah, Agan tidur aja. Udah malam. Besok dilanjutin ya," kataku sambil melepaskan belaian dari rambutnya. 

Ia beringsut menjauh lalu naik ke kasurnya. "Good night, Mom."

"Sweet dream, honey," aku membalas ucapannya lalu mematikan lampu.

***

 Tiga bulan kemudian.

"Mom, kayaknya aku jatuh cinta."
Aku mengerutkan kening, heran mendengar ucapan dari anak lelaki 17 tahunku itu.

"Mom, kalau misalnya aku selalu kepikiran sama seseorang, terus suka setiap kali liat dia tersenyum, dan gak mau buat dia sedih, itu namanya apa, Mom? Jatuh cinta, bukan?"

Aku diam. Menajamkan indra pendengaranku siapa tahu sedang salah mendengar ucapannya.

"Mom, aku jatuh cinta," ulangnya lagi.

Aku masih saja bergeming. Aku pastikan indra pendengaranku tidak salah. Agan bilang ia sedang jatuh cinta.

"Mom, itu namanya cinta, kan?"

Sebagai jawaban dari pertanyaannya itu, aku berjalan menjauh.

Sederhana

Sudah lama aku di sini, tapi aku masih saja tidak bosan. Setiap kali aku ke sini, selalu ada cerita-cerita baru yang hadir. Dengan tokoh-tokoh baru. Dan juga masalah-masalah baru. Tapi tetap dengan satu suasana yang sama.

Hujan.

Hari ini, pagi hari, kembali aku singgah ke sini. Terdapat sepasang anak sekolah dasar yang masih mengenakan seragam duduk di trotoar, menantikan sebuah angkutan kota untuk berhenti. Aku bisa mendengar percakapan mereka.

"Bagaimana kalau kita bolos saja?" ujar anak laki-laki.

Aku menggeleng menatap mereka berdua. Bisa-bisanya mereka berpikiran seperti itu. Bukankah mereka adalah generasi penerus bangsa. Sudah seharusnya mereka bersekolah.

"Aku tidak berani," balas anak perempuan sambil memainan kakinya ke depan.

Bagus, pikirku. Itulah sikap yang kumaksud.

Anak laki-laki itu mengambil pundak anak perempuan lalu menariknya sehingga mereka kini berhadapan.

"Sebenarnya aku juga," desah anak laki-laki itu. Kini wajahnya jadi tampak lesu. "Tapi, jika kita tidak bolos hari ini, ibu guru akan menagih uang bayaran. Bapak dan Ibu masih belum punya uang. Jadi, kita harus bagaimana?"

"Aku juga gak tahu," anak perempuan itu berkata lemas.

Anak laki-laki itu lalu menarik lengan anak perempuan lalu mengajaknya berdiri. "Baiklah, ayo semangat! Gimana kalau kita mandi hujan aja?"

Pertanyaan itu lalu dibalas dengan anggukan kepala mereka berdua. Mereka pun berlarian berkejaran dengan bulir hujan. Tawa mereka semakin keras terdengar. 

Hujan masih saja berbunyi nyaring sedangkan aku hanya bisa terpaku melihat mereka. Kadang kebanyakan manusia berpikir bagaimana kebahagian seharusnya. Bagi mereka, kebahagiaan itu didapat saat mandi hujan. Sesederhana itu. Dan setelah hujan, mereka akan kembali pada realita kehidupan mereka sesungguhnya.

Sebuah angkutan kota berhenti tepat di sampingku dan aku merasa inilah saatnya untuk pergi. Tepat ketika angkutan itu melaju, aku menghilang dari situ.

Aku adalah kubangan air hujan di hadapanmu. Mendengar ceritamu adalah hal favoritku.

Dan aku tidak sabar menantikan hujan turun lagi.

Mungkin esok hari?

***

Suka Darinya

Ada banyak hal yang aku suka darinya. Pertama, mata hitamnya yang berkilat-kilat ketika mulai berbicara. Ia menyampaikan semuanya lewat mata, seolah matanya memiliki bahasa tersendiri. Mata hitamnya juga membuat teduh, ketika kau melihatnya, seolah dirimu tertarik masuk ke dalam. 

Yang kedua adalah rambutnya yang tergerai indah. Tidak panjang, hanya sebahu. Namun, yang aku tahu, ia tidak suka membuatnya macam-macam. Tidak keriting, tidak juga lurus seperti iklan di tivi. Ia hanya membuatnya biasa saja, apa adanya. Tapi, menurutku itu yang paling baik.

Setelah itu, hal yang aku suka adalah pipinya yang menggembung gemas. Aku selalu suka caranya memainkan pipinya untk dibuat lelucon, menariknya bebarengan ke kiri dan ke kanan sambil menjulurkan lidah. Pipinya juga mempunyai satu hal yang istimewa. Ia memiliki lesung pipi, bukan di samping, tapi di sudut atas bibirnya yang kecil. Ada kebiasaan lucu darinya. Bila ia terlalu lelah, ia akan menyenderkan pipinya itu ke bahu orang di sebelahnya.

Dari ke semuanya itu, hanya ada satu hal yang aku tidak suka darinya. Bahu itu, bukan bahuku.

Daylight

"Aku takut matahari akan datang cepat esok hari. Aku takut, setelah malam ini, kita akan menjadi diri kita masing-masing. Strangers."

Ada yang berbeda malam ini dan Rian sudah tahu pasti apa itu. Hanya untuk malam ini, ia sudah mengambil cuti kerja satu hari penuh hanya untuk berbelanja baju-baju terbaru sesuai usianya yang baru menginjak dua puluh tiga. Selama ini, ia selalu tampil necis dengan tuksedo suits rapi dengan tas laptop yang menunjang pekerjaannya sebagai manager di sebuah perusahaan yang baru saja berkembang.

Hanya untuk malam ini juga, ia rela mengesampingkan alerginya terhadap parfum. Ia berkunjung ke semua sudut toko wewangian tersebut, mencari aroma yang pas, maskulin namun segar, juga tidak terkesan kekanak-kanakkan.

Setelah memastikan mendapatkan semua yang ia butuhkan, Rian tahu, ia sudah siap. Ia sudah sangat siap malam ini. Pertemuan penting. Setelah hampir dua bulan ia mengamati, staker sana-sini, ia sudah siap menemui seseorang yang sangat penting. Cinta pertamanya sendiri.

Sebuah kebetulan membawanya jadi seperti ini. Hari itu malam sudah semakin larut. Dengan perasaan kantuk, Rian mengendarai mobilnya menuju apartemennya. Dan saat itu, di pinggir jalan, dilihatnya seorang wanita cantik sedang duduk di trotoar. Mungkin ini adalah cinta pada pandangan pertama. Rian tidak yakin. Selama ini ia belum pernah merasakan hal seperti ini. Tapi, bagaimanapun juga, matanya tidak bisa berhenti memandang wanita itu. Dengan gaun malam yang tampak perfect dengan badannya yang bak gitar Spanyol ditambah dengan wajahnya yang membuat Rian tertarik. Kejadian itu hanya satu menit, tapi Rian sudah yakin. Ia jatuh cinta.

Kini sudah waktunya. Dengan mantap ia menjalankan mobilnya ke jalan itu. Ia tahu persis, wanita itu pasti ada jam sepuluh malam ini di tempat yang sama. Rian mencari-cari sosok itu. Ketika ia menemukan sosok itu, tanpa tedeng aling-aling ia langsung menghampiri wanita itu.

Dengan cepat ia menyerahkan segepok uang yang sudah ia persiapkan sebelumnya.

Biarkan aku merasakan cintaku malam ini, pikir Rian. Karena esok pagi, aku dan wanita ini takkan pernah sama lagi.

***

Request dari lagu Daylight - Maroon5 - Fahrenheit

 
 

Ajaib

Aku pernah mendengar sebuah pepatah; ada dua cara menjalani kehidupan, berpikir bahwa semua yang kau alami adalah keajaiban, atau berpikir bahwa tidak ada keajaiban sama sekali di dunia ini.

Bertemu denganmu membuatku percaya anggapan yang pertama. Kamu adalah keajaiban yang paling nyata. Keajaiban yang tercipta buatku untuk menjalani kehidupan. 

Kamu datang tiba-tiba di suatu ketika hari sedang hujan. Berteduh di bawah atap kafe Perancis yang belum menunjukkan tanda-tanda akan buka. Dan saat itulah keajaiban bekerja dengan caranya. Takdir Tuhan, mungkin. Entahlah. Satu-satunya yang teori yang aku percayai adalah bahwa kita ditakdirkan. Payungku tiba-tiba terlepas dari genggaman, lalu melayang indah jatuh di hadapanmu. Pertama dalam hidupku aku merasa matahari bukan jadi benda yang paling bersinar di dunia ini. Tapi, senyumanmu yang seolah menjadi terang di hari yang hujan ini.

Kejadian itu membuat kita berlabuh pada satu percakapan. Tentang payung. Tentang hujan.

"Banyak orang yang bilang menyukai hujan namun tidak benar-benar menyukainya?" gerutuku.

Kamu mendelik. "Maksudmu?"

"Banyak orang yang menyukai hujan tapi malah berpayung ketika ia datang. Tidak seperti aku, aku tidak menyukai hujan dan aku berpayung," lanjutku.

"Cara orang menikmati hujan itu berbeda-beda. Aku suka hujan turun. Aku menikmatinya hanya dengan melihatnya. Aku tidak suka bersentuhan dengan titik airnya, Itu membuatku flu," selorohnya. 

Kami tertawa.

"Hujan adalah salah satu hal yang paling aneh. Dia harus berkorban untuk menjadi dirinya sendiri. Ia harus rela melepaskan titik-titik airnya sendiri ke lahan, lalu kembali ke langit,terus jadi dirinya sendiri. Begitu seterusnya," kamu berkata sambil menatap titik-titik hujan yang menirai. "Buat apa berkorban sebegitu banyaknya? Melepaskan titik-titik air itu pastilah sulit."

 Aku ikut-ikutan melakukan hal yang sama denganmu. "Tapi, bukankah ia melakukan itu karena ia suka?" aku berkomentar. "Hujan adalah hujan ketika ia turun, bukan? Daripada ditahan dan semakin banyak, bukankah itu malah membuat semakin sulit?"

Kamu diam sambil mengulum senyum. 

"Justru itulah aku menyukai hujan. Ia rela melepaskan. Sesuatu yang sangat sulit untuk kulakukan."

"Apa yang sedang kau lepaskan?" tanyaku penasaran.

Dia menatapku tajam. Bola matamu yang hitam itu langsung membuatku terdiam.

"Aku sedang berusaha melepaskan kehidupan. Kehidupan terlalu sulit untuk dijalani bagi diriku sendiri."

Aku bergeming, mencoba menelaah setiap kata yang keluar dari bibirmu yang memerah. "Sendiri?"

"Seperti yang kaulihat," katamu sambil menarik sudut bibirmu sendiri.

Aku semakin heran. Melepas kehidupan? Maksudnya?

"Kadang aku berpikir, mengapa orang-orang takut mati. Padahal menurutku, kehidupan jauh lebih menakutkan. Jika kau mati, tidak ada rasa sakit. Semua lepas, hilang begitu saja. Sementara jika kau hidup, kau masih bisa merasakannya. Bahkan, sangat nyata," jelasmu panjang lebar sambil memainkan rambutmu yang basah. "Sekarang, mengapa orang-orang takut mati?"

Aku berdeham sebentar. Pembicaraan yang berat.

"Mungkin orang-orang bukan takut pada kematian itu sendiri. Mereka takut apa yang mereka lakukan selama hidup tidak cukup baik untuk ditinggalkan. Dikenang?" kataku asal. Pembicaraan ini sungguh di luar nalar.

Aku memutuskan untuk menoleh kepadamu. Tidak ada lagi matahari. Yang aku lihat, wajahmu seumpama mendung hari ini. Gelap. Kelam. Misterius.

Kamu lalu tertawa terbahak. Seolah apa yang aku katakan tadi adalah lelucon terlucu di dunia.

"Jadi ini semua tentang kenangan?" kamu bertanya retoris. "Aku, selama aku hidup tidak pernah membuat kenangan yang baik. Aku baru saja membunuh seseorang. Tunanganku yang selingkuh. Sedari dulu, aku tidak pernah bahagia. Mungkin itu yang membuatku tidak takut mati, ya?"

Aku mengangkat kedua bahu. Tidak tahu.

Kamu lalu tertawa lagi. "Oke. I got it. Semoga pembicaraan kita ini termasuk dalam kenangan, ya," ujarmu lalu berlari menerobos hujan. Mencumbu kesukaanmu itu.

Aku hanya tersenyum. Lalu sedetik setelahnya, yang kudengar hanya suara decitan mobil. Yang kulihat, tubuhmu terbang bebas ke udara.

Kamu mati. Kamu menemui akhirmu.

Dan sejak saat itu aku mulai mempercayai anggapan kedua. Tidak ada keajaiban di dunia ini. Kamu membuktikannya. 

"Jika hidup adalah keajaiban itu sendiri, maka hidup tidak akan pernah menjadi sesulit ini. Baginya, wanita yang kutemui di pinggir jalan."

Happy Birthday!

 "Saat kau lihat, hitam sebagai putih, dan sebaliknya. Kau akan tahu, bahwa rahasia sebesar apapun akan terbongkar."
 
Selamat ulang tahun.
Aku tahu akan banyak orang yang mengucapkan ini padamu.
Tapi, aku hanya ingin jadi yang pertama.
Jadi, pembuka bahagia.
 
Kau tahu, ada ritual kecil saat aku sedang berulang tahun?
Yang pertama, ponsel harus kumatikan.
Aku hanya ingin tenang, berdamai dengan suara-suara di otakku yang mendadak akan keluar.
Yang kedua, aku akan duduk di tepi jendela, memandang ke luar langit lepas.
Aku selalu suka saat-saat seperti ini.
Saat aku menitip mimpi-mimpiku pada bulan.
Saat aku memancing bintang untuk sekadar melihat apa yang kulakukan satu tahun ke belakang.
 
Namun mendadak sekarang berubah.
Aku tak lagi melakukannya saat aku berulang tahun.
 
Kini..
Di ulang tahunmu..
Aku melakukannya juga.
Aku menitip doa-doaku untukmu pada bulan yang cerah bersinar.
Aku  menggantung harapanku pada bintang-bintang.

Dan.
Selamat ulang tahun.
Entah dengan cara apa, pesan ini akan sampai padamu.

Selamat ulang tahun.
Hanya itu.

***
 
special to :
Henytaria Fajrianti 
22 Maret 1994
 

Di Balik Dua Puluh Dua~

"Sudah kuduga, aku benci hari ini!" Aku menggerutu kesal sembari berjalan cepat menuju keluar dari kafe.

"Kenapa tidak ada satupun orang yang megerti sih!" 

Bukan tanpa alasan aku membenci angka kembar. Aku lahir tanpa ibu. Atau dengan kata lain, aku adalah penyebab ibuku meninggal. Ayah memperlakukanku dingin, seolah-olah aku adalah pembunuh orang yang paling dikasihinya di dunia ini.

Untuk itulah aku benci dua puluh dua. Aku benci angka kembar. Aku benci semuanya.

Dan hari ini, sudah kuduga, angka sial akan selalu membayangi hidupku. Roni, yang notabene tahu tentang ketidaksukaanku terhadap angka-angka itu mendadak amnesia. Cincin yang digunakannya untuk melamarku ternyata sama. Tidak ada beda.

Kau kira aku jahat?
Tidak sama sekali.

Buktinya aku sudah rela menerima perbedaan kami yang berjarak sebelas tahun; satu-satunya angka kembar yang aku toleransi.
Tebak karena apa?
Karena CINTA!

Tapi apa yang kudapat? Roni mempermainkanku. Dan baru kutahu bahwa ia sudah punya dua puluh satu isteri. Dan aku akan menjadi yang kedua puluh dua? 
Tidak akan bisa.
Cinta juga harus bisa melihat mana yang masuk akal dan tidak.

Aku membuka mobil lalu melompat masuk. Mendadak, dua orang berpakaian hitam dan mengenakan topeng mengambil tempat di sebelah kursi kemudi.

"SERAHKAN MOBIL INI!"

Aku tergagap. Seketika perasaan takut menjalar.

"AP... APA YANG MAU KA... KALIAN LAKUKAN?"

"DIAM, DAN CEPAT KELUAR!"

Aku yang sudah terlalu takut langsung keluar dari mobil. Lututku lemas melihat mobil itu menjauh.

***
Sudah kubilang aku benci dua puluh dua.
Setelah kehilangan cinta, mobil juga melayang.

Aku menggerutu kesal. Kejadian tadi sudah kuaporkan pada polisi, dan apa yang kudapat; mereka hanya bilang tunggu sampai dua puluh empat jam.

Dan fix! 
Dua puluh empat jadi angka sialku selanjutnya.

Aku berjalan gontai menuju rumah. Lagi-lagi, suasana gelap yang ada. Ayah pastilah sedang berada di kamar, menciumi foto ibu, menangis sepanjang malam dalam diam.

Aku membuka pintu rumah dan akhirnya mataku terbelalak, telingaku mendadak terlalu peka.

"SELAMAT ULANG TAHUN, SAYANG. AKU TADI DISURUH TEMEN-TEMEN KAMU BUAT NGERJAIN. AKU GAK PUNYA ISTRI KOK. DAN INI BUATMU." Roni menyerahkan cincin yang jauh berbeda dari tadi. Dan. Tidak. Kembar.

Meri, sahabatku, sontak memelukku. "Tadi kami yang mencuri mobilmu. Tenang saja, semua aman," dia mengacungkan jempolnya.

Secara bergantian, semua orang memelukku erat. Baru kali ini aku tidak tahu apa yang aku rasakan.

Sampai aku melihat dia...

Ayah...

"Selamat ulang tahun. Ibumu pasti bangga melahirkanmu..."

*** 

Selamat ulang tahun...
Kami ucapkan...
Selamat panjang umur...
Kita kan doakan...

Dua Puluh Dua

"Sudah kubilang, aku benci angka kembar. Atau apapun yang terlihat sama!"

 "Tapi -"

"Tapi apa? Aku hanya tidak suka dan buang benda itu sekarang!!!"

***
Aku menghela napas dalam. Perempuan ini memang aneh. Membenci angka kembar yang aku sendiri tidak tahu apa alasannya. Padahal menurutku, angka kembar sangat keren. Orang akan berbondong-bondong menikah pada angka kembar. Lihat saja, berapa banyak orang yang menikah pada tanggl 11-11-11. Atau 12-12-12. Atau berapapun lainnya.

Tapi tidak dengan peremuan ini. Dia sangat tidak suka. Meskipun ia lahir pada tanggal yang memasang angka kembar - dua puluh dua - tapi ia tetap tidak suka. Pernah suatu ketika, harga sebuah notebook yang sedang promo adalah 2.222.000, ia rela membayarnya genap tiga juta.

Aneh, bukan?

Secara tidak langsung juga pertemuan kami menyiratkan dua angka kembar itu. Bertemu tanggal sebelas november dua ribu sebelas,  sebelas bulan berkenalan, lalu aku mengajaknya menikah.

dan ditolak?

Apa perasaanmu, ditolak karena karena dia membenci angka kembar?
Sangat tidak masuk akal.

***

"Cincin itu terlalu sama buat kita!"

"Umur kita beda sebelas tahun!"

"APA? AKU JADI ISTRIMU YANG KEDUA PULUH DUA?!"

"PERGI!"
 

Setiap Tempat Punya Cerita [Bimo Rafandha]


Judul : Pulang
Tempat : Gunung Dempo, Pagaralam, Sumatera Selatan


Tugu Rimau di titim awal pendakian Gunung Dempo

***

"Nanti kita harus pergi ke tugu Rimau, ya."
"Emang mau pergi ke sana beneran?"
"Iya. Kata orang pemandangannya bagus. Kayak berada di atas awan."
"Aku gak percaya."
"Maka dari itu, mari kita buktikan!"

***

Percakapan itu yang menbawaku ke sini saat ini, titik awal pendakian gunung Dempo, Pagaralam di ketinggian 1820 mdpl. Aku benci mengakuinya tapi kau benar. Aku memang sedang berada di atas awan.

Dan memang pemandangannya sangat indah.

Sebagai orang yang gila berpetualang, aku tidak mengerti mulanya mengapa gunung ini menjadi tempat pertama bagimu untuk memulai pendakian. Bukankah masih banyak gunung-gunung lain yang pemandangannya luar biasa. Entahlah, pemikiran setiap orang itu berbeda-beda, bukan? Yang aku tahu, dari mulutmu hanya meluncur satu kalimat, "Kenali dulu rumah sendiri baru pergi bertamu ke tempat orang lain." 

Dan memang benar, Pagaralam memang menjadi rumahmu sendiri. Tinggal merantau ke kota penuh sesak, Palembang, kau selalu rindu tempat ini. Kota kecil di propinsi Sumatera Selatan yang dipagari oleh bukit-bukit serta gunung yang menjulang. Suasana asri dan dingin. Ha. Aku masih sangat ingat ketika kaumenceritakan kotamu dengan berapi-api.

Kini, aku berdiri, memandang satu batas antara langit dan bumi. Semuanya tampak sempurna, jika ada kau tentunya.

Kau mengalami musibah kecelakaan, beberapa hari sebelum kita memulai pendakian. Sesungguhnya, aku sama sekali tak ingin pergi. Tapi, aku teringat mimpimu. Dan pendakian ini sesungguhnya untukmu. Aku membawamu pulang dalam satu ragaku, sementara kau terbaring lemah di rumah sakit. 

Aku menarik napas panjang, mencoba memasuki udara pagi ke dalam tubuhku. Kemudian aku menyalakan ponsel, mencari namamu di kontak, lalu mulai mengetik pesan singkat.


Aku sudah sampai di tugu Rimau. Pemandangannya bagus. Cepatlah sembuh dan kita akan kesini lagi.

Aku menyayangimu.


Tak lama setelah itu, ponselku berdering. Tanpa percakapan. Hanya isakan tangis yang meraung-raung terdengar.

Saat itu pula aku tahu...





Kau benar-benar pulang...

***


***

Pagaralam, Sumatera Selatan

Me!

Singa Sirkus

Ada banyak kata-kata yang ingin aku ungkapkan kepadamu. Tentang bagaimana kamu sudah berhasil mencuri hal yang paling penting bagiku dalam sebulan ini: perhatianku.

Kamu adalah perempuan biasa, aku tahu. Apa yang spesial dari perempuan dengan rambut hitam panjang yang tergerai, dengan pipi menggembung gemas, mata bulat besar berwarna coklat muda, hidung mancung dengan satu tahi lalat kecil tepat di sebelah kiri, bibir kecil tanpa polesan apa-apa yang berhasil membuatku tertegun dengan sempurna? 

Apa yang istimewa, hah?

Tapi tetap saja, aku merasa terusik. Seperti singa yang digelitik, mungkin aku bukan lagi bangun, tapi sudah siap menerkam.

Tapi, apalah daya, aku seperti singa sirkus, luluh di tanganmu.

Huh.

Tapi,

Ah, aku memang pria yang penuh alasan. Padahal, di tempat lain, aku tidak seperti ini.

Kini, aku melihatmu. Dan perasaan itu muncul lagi. Aku sudah bosan, sungguh. Jadi, aku akan mengatakan semuanya. Alasanku menganggapmu sedikit hmmm... istimewa?

Aku akan menghampirimu. Dan aku harap kamu siap.

Pelan-pelan...

Dan aku di hadapanmu sekarang. Sudah saatnya aku mengatakannya.

"Hai."


Aku harap kamu membalasnya.

Kini

Kau mungkin sudah bosan aku terus datang ke sini. Benar saja, hampir tiap hari aku mengunjungimu. Seperti biasa, ada ritual yang harus aku lakukan ketika bertemu denganmu. Pertama-tama, aku akan melihatmu bermain dari jauh. Bermain dengan kupu-kupu, tidur di rerumputan, atau sekadar mandi cahaya matahari. Setelah itu, aku akan datang, membawa satu tangkai tulip ungu, kesukaanmu. Selanjutnya, aku akan menekuri setiap inci tubuhmu. Kakimu, badanmu, tanganmu, hingga mengusap-usap kepalamu.

Tapi kini, tampaknya itu tidak bisa aku lakukan lagi. Saat ini, aku akan memilih berbaring di sampingmu. Hidup bersama denganmu. Aku sudah lelah menunggu. Tiga puluh tujuh tahun sejak ketiadaanmu. Aku sudah lelah menunggu.

Kini, sambutlah aku.
Menunggumu membunuhku.

Terbang

"Yang kamu perluin cuma tutup mata kamu." Anak laki-laki itu berkata pada perempuan mungil di sebelahnya.

"Yakin bisa terbang?" Perempuan itu ragu bertanya. 

Anak laki-laki itu mengangguk mantap. "Pastinya dong. Kamu tinggal tutup mata kamu lalu biarin udara menyentuh kulitmu. Rasakan lembutnya, halusnya..."

Perempuan itu lantas mengikuti instruksi dari temannya itu. Ia menutup matanya perlahan. Angin dari gedung lantai 13 itu langsung menerpa wajahnya.

"Lembutnya..."

Perempuan itu merasakan kulit-kulit wajahnya digelitik oleh angin senja itu. Dia terkikik sebentar.

"Hus. Gak boleh ketawa. Kamu harus bisa rasain..."

Perempuan itu langsung terdiam.

"Sekarang, kamu bentangin tangan kamu. Terus mulai hitung. Satu..."

Perempuan itu membentangkan tangannya lebar-lebar. Sebentar lagi aku terbang.

"Dua."

Anak perempuan itu mulai berjinjit.

"Tiga."

Perempuan itu merasakan kakinya melayang ke udara, tidak menampak pada benda padat di bawahnya. Ia membuka mata lalu melihat gumpalan awan bertemu wajahnya.

"Apa kubilang! Kematian bisa buat kamu terbang!" Anak laki-laki itu lantas tersenyum senang.


Di bawah, dua orang anak jalanan ditemukan meninggal terjun dari lantai 13.






Sekali Saja

"APA-APAAN LO! BRENGSEK!" Dino melayangkan tangannya sehingga menyentuh keras pipi wanita di hadapannya.

"Aku bisa jelasin ini, Din." Wanita itu mengambil tangan Dino lalu mendekapnya erat sambil menangis terisak.

"GAK ADA YANG PERLU LO JELASIN! GUE UDAH LIAT DENGAN MATA KEPALA GUE SENDIRI! ANJING LO! WANITA MURAHAN!"

"DINO! JAGA OMONGAN KAMU! TENANG!" Suara tak kalah keras terdengar. Kali ini berasal dari seorang pria yang berada di samping wanita itu. Pria itu lantas bangun, walau masih dengan keadaan setengah telanjang, dia melepaskan pegangan wanita itu dengan Dino.

"HAHA LUCU! LUCU KALIAN BERDUA!" Dino terkekeh pahit. "YAYAYA. GUE TAHU. SAHABAT GUE SAMA PACAR GUE SELINGKUH DEPAN MATA GUE! DAN LO NYURUH GUE TENANG? OTAK LO DI MANA, HAH?" 

Isak tangis dari wanita itu semaki keras terdengar.

"Aku cuma pengin jadi normal, Din." Pria itu menggenggam tangan Dino. "Maaf, aku cinta Kirana. Aku udah selingkuh di belakang kamu. Tapi, aku memang cinta Kirana." 

Dino hanya bisa terpaku melihat pria itu, Andi, kekasihnya berkata demikian.

"Maaf, izinkan aku selingkuh sekali ini aja." Pria itu memeluk tubuh Dino.

Dino melepaskan pelukan itu kasar lalu berjalan cepat ke luar hotel tempat kekasih dan sahabatnya menginap. Sambil membanting pintu, ia lantas teriak, "Kita Putus!"