BACK TO THE PAST [Bimo Rafandha]


Judul : Kembali Ke Agresi Militer Belanda 1


Aku terbaring lemah di tumpukan daun kering. Aku melihat sekeliling. Pohon-pohon tinggi menjulang. Sinar matahari masuk di sela-sela daun-daun yang masih enggan beranjak dari pohonya. Di bawah pohon-pohon tersebut, terdapat orang berpakaian hijau sedang duduk beristirahat. Ada pula yang sedang membasuh luka temannya dengan air seadanya. Di sisi lain, sekelompok manusia dengan pakaian yang sama berdiri tegap dan siaga sambil memegang bambu runcing dan senjata peninggalan Jepang.

Aku memijat-mijat keningku yang tidak pening. Ah, sial! gerutuku. Ternyata ini bukan mimpi.

***

Aku baru saja tiba di rumah setelah beradu pendapat dengan dosen dari belanda mengenai konsep time travel. Perjalanan waktu. Bagiku yang gila sains, konsep tersebut tidak bisa dilakukan. Mustahil. Paradoks. Kalaupun itu memungkinkan, bagaimana cara menjelaskan jika manusia-manusia tidak 'mampir' ke masa lalu untuk sekadar berkunjung? Dan terdapat kemustahilan lainnya.

Namun, Beliau berbeda. Beliau menjelaskan tentang konsep fisika kuantum yang belum aku mengerti. Dunia paralel. Dunia lainnya. Konsep mengenai relativitas ruang waktu. Hukum fisika kuantum Everett-Wheeler tentang "many-world interpratation". Seperti menonton film Harry Potter and The Prisoners of Azkaban. Terdapat 'hal' lain yang membuat kita dari masa depan tidak bisa bertemu 'kita' dari masa lalu. Hal itu bernama takdir. Bukankah hidup itu penuh misteri? Tidak ada yang tidak mungkin, katanya menutup pembicaraan panjang ini. Dia lalu tersenyum dan memberiku sebuah buku yang ditulisnya serta satu gelang berwarna perak.

Aku merebahkan tubuhku ke tempat tidur. Perbincangan tadi masih membekas di pikiranku. Time Travel. Perjalanan waktu. Tidak mungkin! tegasku dalam hati. Aku pun memejamkan mata dengan pakaian yang kuliah yang masih lengkap, lalu terlelap.

Desingan peluru membangunkanku. Peluru? Aku terlonjak dari tempat tidurku. Bukan, yang benar, tempatku tidur. Sebuah dipan kayu yang berlubang di makan rayap dilapisi anyaman dari daun yang tidak aku tahu. Aku menepuk pipiku keras.

Sakit.
Bukan mimpi.

Aku melihat baju yang kukenakan. Kaus oblong lusuh dengan celana pendek selutut. Di kakiku terletak semacam sendal dari kayu. Kemana kemejaku? Jeansku? Sepatuku? tanyaku dalam hati.

"LARI KE HUTAN! BELANDA MENYERANG!"

Aku tersontak dari tempatku duduk, terkejut mendengar teriakan dari arah belakang 'rumah'. Ku lihat sekumpulan manusia, dengan pakaian tak jauh beda dengan apa yang kukenakan sekarang, berlarian. Seperti ayam kehilangan induknya.

Desingan peluru semakin sering terdengar. Suaranya pun semakin mendekat.

"LARI! SEMBUNYI DI HUTAN!"

Suara itu terdengar lagi. Tanpa pikir panjang aku mengikutinya. Kami terus berlari menjauh dari pusat kota. Di udara, ku lihat pesawat-pesawat sudah mulai mewarnai senja.

***

Aku membetulkan posisi dudukku. Sudah satu malam aku di sini. Ternyata masih sama. Masih pohon-pohon. Masih orang-orang yang sama walaupun sudah berkurang hampir setengahnya karena ditembak tentara belanda.

Ini zaman apa? Peperangan? tanyaku dalam hati.

Aku memutuskan untuk bertanya dengan seseorang berpakaian hijau di sebelahku. Mirip seperti TNI.

"Apa yang terjadi?" tanyaku sopan.

Dia lantas menoleh ke arahku. "Belanda menyerang," katanya lesu.

"Karena?"

"Mereka tidak terima tentang perjanjian Linggarjati. Menurut mereka, itu tidak adil. Mereka mengirimkan ultimatum namun jelas ditolak Indonesia! Mereka lalu memutuskan untuk menyerang. Ibukota sudah diserang. Kemarin kami diperintahkan oleh komandan Nasution untuk melindungi orang-orang di sini. Bandung." jelasnya panjang lebar.

Perjanjian linggarjati? Nasution?

"Tahun berapa ini, Pak?" tanyaku gemetar untuk memastikan. Walaupun aku mempunyai jawabannya, aku tidak ingin mendengarkan. berharap perkiraanku salah.

"1947 tahun masehi. Memangnya kenapa?"

Aku terdiam. Time travel benar-benar terjadi..

***

Aku tersadar dari lamunan setelah sosok yang hanya aku lihat di buku sejarah SMP mendekat. MayJen A.H. Nasution mengambil tempat di tengah-tengah rombongan.

"Kita akan berperang!" katanya penuh wibawa.

Semua orang yang semula diam mulai bersorak "MERDEKA!" Aku memperhatikan saksama. Merinding menjalar ke semua bagian tubuhku. Ternyata begini suasana perjuangan. Campuran antara semangat dan bau.. kemerdekaan.

"Cukup. Kita akan meyerang dengan taktik geriliya. Jadi, kita akan membagi diri jadi beberapa kelompok kecil dan bersembunyi dei daerah-daerah kantong. Setelah musuh mendekat, lakukan serangan kilat.

Aku hanya mengangguk bersemangat. Ada sedikit kekhawatiran, bagaimana hidupku di masa depan? Ayah? Ibu? Bagaimana jika aku mati di sini? Tapi aku menepis semua kekhawatiran itu. Aku terbawa suasana ini. Perjuangan merebut kemerdekaan. 

Aku mendengarkan semua instruksi yang diberikan oleh komandan. Aku bersama sepuluh orang lainnya bertugas di bagian barat hutan. Strategi sudah tersusun rapi dan tinggal menunggu eksekusi esok hari. Sebelumnya, semua orang pada saat itu meneriakkan tiga kata yang kembali membuatku merinding.
"MERDEKA ATAU MATI!!!"

***

Aku berlari kencang menghindari beberapa desingan peluru yang mengarah ke arahku. Aku lihat beberapa orang Belanda sudah berhasil dikalahkan. Namun, kami kalah jumlah dan persenjataan. Aku berlari sekencang-kencangnya. Terdengar beberapa bunyi tembakan yang bercumbu dengan kulit manusia. 

Tibalah aku di ujung hutan. Seorang tentara belanda mendapatiku dalam posisi yang tidak menguntungkan. Inilah saatnya nyaliku ciut. Aku tidak ingin mati. Tentara Belanda itu semakin mendekat. Aku menatap lekat wajahnya. Mirip seseorang, pikirku. Dengan setelan khas tentara Belanda dan sebuah senapan laras panjang di tangannya, dia berjalan semakin dekat. Oh ya, mirip dosen dari belanda itu! kataku dalam hati.

Dia mengarahkan senapannya ke arahku. Inilah waktunya.

Tiba-tiba sebuah lubang hitam muncul di belakangku. "KONSEP BLACK HOLE!" sorakku. Tanpa pikir panjang, aku melompat ke arah lubang itu. Sesak menyelimuti. Perasaan seperti oksigen menipis. Aku berusaha menarik nafas panjang namun tidak bisa. Perlahan namun pasti, aku kehilangan kesadaran. Pingsan.

***

Aku mendapati tubuhku terbaring di kamarku. Aku melihat tanggalan. 5 Agustus 2012. 2012? Aku sudah kembali? Apakah ini mimpi? Kalaupun ini mimpi, mengapa rasanya begitu nyata?

Aku terkejut melihat pakaian yang aku kenakan. Sama seperti sebelumnya. Kaus oblong penuh lumpur dan celana pendek selutut. Berarti ini bukan mimpi! Aku mengalami time traveler! Tapi bagaimana bisa?

Suara ketukan pintu kamar menyadarkanku dari argumen-argumen yang berkelebat di otakku. Pintu terbuka dan kulihat dosen dari Belanda itu masuk ke kamarku. 

"Bagaimana perjalanan waktumu tadi, Bim?" katanya sambil berjalan mendekat.

Aku hanya bisa diam. Banyak yang ingin aku sampaikan namun tertahan di langit-langit mulutku.

"Aku sengaja memberimu perjalan waktu. Lewat jam perak yang kuberikan 3 hari lalu," dia menatapku tajam. "Aku dari masa depan dan sudah tahu mengenai mesin waktu."

Aku masih bungkam. Sebelum sempat aku bertanya tentang perjalanan waktu yang aku alami, dia menodongkan senapan ke arahku. Senapan yang sama persis dengan milik tentara Belanda tadi!

"Ternyata kamu.." kataku gemetar.

"Dan kini aku menunjukkannya kepadamu. Tapi yang harus kamu tahu, rahasia memang harus tetap jadi rahasia kan, Bim?" katanya sambil tersenyum licik.

Dan dari jauh terdengar dua kali suara tembakan..

***

(fin)

Isi.

Isi.
Kita (pernah) berisi.
Aku, kamu, dan satu hal abstrak tak terdefinisi.

Jika kau sebutkan koyakkan lara,
atau setidaknya menghindari jalan berlubang,
kosongkan, jangan berisi.

Isi.
Kita berisi.
Memori-memori sederhana yang kau ingkari.
Warna-warna merah muda yang tak kau akui.

Salah siapa?
Siapa salah?

Kau jelas lebih tahu,
tentang kosong dan berisi,
tentang semua yang kau sebut sari,
tentang aku, di sampingmu tanpa henti.

Masihkah kau berteriak lantang
tentang kosong dan iri hati?
Bisakah kau sedikit menyadari,

Aku ada,
ada aku,
di sini.

Sedang melihat blog @gigikelincci
10:22 PM

Tentang Kembang Api~

"Hai, apa kabar?" kataku dengan senyum mengembang, "bagaimana harimu?"

Kamu diam. Semilir angin senja menerpa wajahmu yang pucat.
Aku mengambil tempat duduk di sebelahmu. Kali ini masih seperti kemarin, ya? Masih di taman ini.

"Aku datang lagi. Kamu bosan?"

Perempuan itu masih saja diam. Aku kesal, mengapa kamu masih saja memasang ekspresi kosong seperti itu. 


"Aku ingin jadi kembang api." Akhirnya bibir kecilmu itu mengeluarkan suara juga.


Aku mendesah. Kembang api? Lagi-lagi kembang api! "Jadilah bulan saja, dia terang. Mirip denganmu. Sangat mirip," kataku akhirnya.


"Aku ingin jadi kembang api," katamu lagi.


"Jadilah bintang saja, selalu ada saat malam," sanggahku.


"Aku ingin jadi kembang api."


"Cukup jadi matahari, dia bersinar, penting bagi semua orang."


"Aku ingin jadi kembang api."


"Lihatlah awan," aku menunjuk gumpalan awan berwarna kemerahan, "bukankah menyenangkan jadi dia? riakannya, kelembutannya, kehalusannya."


Kamu lalu diam. Dan dengan nafas tertahan kamu berujar, "Aku. Hanya. Ingin. Jadi. Kembang. Api."


Aku bangkit, rahangku mengeras. "Mengapa?" tanyaku sambil berteriak murka, "Mengapa kau masih saja ingin jadi sepertinya? Kau tahu, dia yang membuatmu begini! Duduk depresi di kursi tua rumah sakit!"


"Aku ingin jadi kembang api."


"BERHENTI! Banyak yang lebih indah dari kembang api! Bisakah kau berhenti memujanya?" Aku menarik nafas panjang. Darahku dengan cepat berdesir ke otak, membawa serta emosi yang sudah tertumpuk lama. 


"Aku bisa menunjukkan semuanya. Apapun yang kau inginkan. Tapi jangan kembang api! Aku muak!" 


Aku duduk di hadapanmu. Pelan-pelan aku meraih tanganmu, tapi tidak tergapai. Tembus. Tak tersentuh.


Aku tersenyum pahit. "Tahukah kamu, kembang api yang membuat kita begini. Aku dan kamu. Terpisah dua dunia.." Kata-kataku tercekat. Hilang tak mampu ku lanjutkan.


Kamu bungkam. Untuk lima menit tanpa percakapan, kita saling memutuskan. 


Aku berdiri lalu mulai berbalik. "Selamat tinggal, Tania," kataku seraya berlalu.


Samar-samar aku dengar kamu mengucapkannya lagi, "Aku ingin jadi kembang api. Aku ingin jadi kembang api. Aku ingin jadi kembang api."


"Aku ingin jadi kembang api karena hanya kembang api yang membuatku cemburu. Dia mengambil tempat paling erat di hatimu. Lekat di memorimu." 


Ku dengar suara kursi roda berdecit, aku menoleh ke arahmu sekilas. Mendapatimu tertawa menyeringai dan dengan lantang kamu sumbang bernyanyi, "Aku ingin jadi kembang api. Aku ingin jadi kembang api. Lalala~"


Aku berbalik dan bersama senja aku pergi. Tidak kembali.

***

Kembang api meledak di bukit Bintang. Satu tewas, dan satu lainnya gegar otak.

***
Kamis, 02 Agustus 2012
21:29
Di balik jendela sambil menyeruput coklat panas, menantikan kembang api




Wayang Era Globalisasi

Wayang adalah salah satu kesenian yang asing bagi telinga saya. Walaupun yang saya tahu bahwa nama saya adalah salah satu karakter pewayangan, wayang tetap asing. Jelas, saya yang tinggal di Sumatera Selatan tentu tidak begitu mengenal kesenian yang sudah diakui UNESCO sejak 7 November 2003 sebagai warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur. Waw! (Saya baru tahu) Walaupun orang tua saya asli Magelang, Jawa Tengah, Beliau juga jarang bercerita tentang wayang. Beda jika Beliau ditanya tentang resep masakan Palembang, Beliau akan senang hati menjelaskannya panjang lebar.

Tapi bukan itu yang saya ingin bahas. Beberapa waktu ini, saya 'dipaksa' untuk mengenal wayang. Apapun tentangnya. Bermula dari lomba yang diadakan oleh Festival Dalang Bocah, saya jadi mencari info tentang dalang kemanapun. Termasuk menanyai kakek saya yang ada di Magelang. Semakin saya dapat satu info, saya mengubrak-abrik mesin pencari untuk mendapatkan kebenarannya. Lalu semakin lama, saya rasakan candu. Bagi saya pribadi, mempelajari semua hal itu mungkin membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun, di sinilah tantangannya. Saya tertarik untuk mencoba. Dan saya baru saja mengetahui kalau Palembang memiliki wayang!


wayang palembang
 sumber : palembangbari.blogdetik.com
Dan berdasarkan observasi saya, izinkan saya menyampaikan beberapa hal yang mengganjal pikiran saya. Semua ini murni opini dari bocah ingusan yang menginginkan wayang tetap ada. Setidaknya untuk masa-masa mendatang. Saya tidak ingin sok tahu, karena saya memang belum tahu dan saya berusaha untuk tahu.

Berbicara masalah wayang, seperti yang saya katakan sebelumnya, keberadaannya sangat "langka". Saya bahkan tidak pernah menyaksikan wayang baik di TV ataupun pertunjukkannya di Palembang. Saya sebagai generasi muda, tidak pernah menonton wayang? Sungguh miris, bukan?

Pertanyaannya adalah, keadaan seperti ini, siapa yang patut disalahkan?

Jawabannya, tidak ada. Kita semua salah oleh keadaan. Ada beberapa poin pokok yang saya lihat berpengaruh dari langkanya pertunjukkan wayang kita yaitu, kemasan pewayangan, regenerasi, dan kurangnya tingkat apresiasi. 

Kemasan pewayangan Indonesia menurut saya terlalu terkesan monoton. Walaupun kata pepatah, don't judge a book by its cover. Tapi, untuk membeli sebuah pertunjukkan, kita juga harus melihat tampilannya agar jadi tertarik, bukan? Ntahlah, dari beberapa video yang saya lihat, terlepas dari saya yang ingin mempelajarinya, (pengakuan) saya sedikit agak bosan. Bukan, saya bosan. Tampilannya terkesan itu-itu saja. Bagi kaum awam, pertunjukan seperti itu terkesan tidak menarik. Lantas, bagaimana membuatnya jadi lebih menarik?


Sebenarnya perkembangan wayang sangat memungkinkan untuk menjadikannya lebih menarik. Kita hanya perlu memberi bumbu-bumbu modern namun tetap tidak keluar dari konteks pewayangan itu. Mungkin kita dapat menambahkan beberapa special effect seperti suara, tampilan latar, dan atau kemasan secara keseluruhan. Dengan hal-hal seperti ini, wayang akan terkesan lebih mewah dan berkelas. Selain itu juga, dalam pentas wayang mungkin bisa menyoroti isu-isu yang sedang hangat di masyarakat, sehingga mudah dimengerti bagi semua orang.


Poin kedua adalah regenerasi. Bisa dibilang, regenerasi dalang yang memegang peran penting dalam pewayangan itu masih kurang. Apalagi melihat perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat. Jangankan para ABG, anak-anak pun sudah dimanjakan dengan berbagai gadget serta mainan yang modern yang mengakibatkan mereka jauh dari seni tradisional. Seni ini dianggap kolot dan tidak up to date. Hal inilah yang membuat proses regenerasi jadi terhambat.


Namun, langkah besar diambil oleh sebagian penggagas event festival dayang bocah. Mereka adalah orang-orang yang tidak rela seni tradisi mereka ditelan oleh peradaban modern. Festival ini memunculkan dalang-dalang cilik untuk tetap melestarikan kebudayaan Indonesia yaitu wayang. Setidaknya masih ada anak-anak yang peka dan peduli. Regenerasi ini sangatlah penting mengingat situasi yang telah saya sebutkan tadi.


Event-event seperti inilah yang harus tetap dijaga agar ada generasi-generasi lainnya yang melestarikan. Selan itu juga, peran orang tua sangat penting. Jangan seperti orang tua saya tadi (Piss ^^v mama papa), setidaknya orang tua bisa memperkenalkan budaya Indonesia, apapun bentuknya, ke anak-anaknya agar anak-anak bisa mengetahui, mengenal, dan bisa ikut peduli serta mengambil bagian dalam pelestarian budaya Indonesia. Bukankah di budaya-budaya itu juga mengandung nilai-nilai yang baik bagi perkembangan anak-anak?


Dan terakhir, tingkat apresiasi. Apresiasi wayang di Indonesia itu sangatlah kecil. Misalnya untuk acara televisi saja, hampir tidak pernah menayangkan pertunjukan wayang. Bila pun ada pertunjukkan wayang, hanya untuk acara tertentu. Kebanyakan orang bila dihadapkan pada pilihan menonton dangdut atau wayang, maka akan banyak yang memilih dangdut. Mengapa? Karena tingkat apresiasi penonton wayang itu masih rendah. Ada yang menonton wayang karena terpaksa, ada juga yang mengantuk hingga ketiduran, tak jarang hanya diam dan menganggap murahan. Hal ini dikarenakan mereka masih belum menemukan sisi menarik dari wayang. Dan pemerintah dan orang-orang yang berkepentingan harus bisa mensosialisasikan dengan gencar tentang wayang agar penonton juga merasa tertarik mempelajari dan mengapresiasi wayang. 


Bila semua itu bisa dilakukan, saya rasa wayang akan kembali menjadi tontonan banyak orang. Dunia saja mengenal wayang, masa kita tidak wahai para generasi bangsa? :)