Daylight

"Aku takut matahari akan datang cepat esok hari. Aku takut, setelah malam ini, kita akan menjadi diri kita masing-masing. Strangers."

Ada yang berbeda malam ini dan Rian sudah tahu pasti apa itu. Hanya untuk malam ini, ia sudah mengambil cuti kerja satu hari penuh hanya untuk berbelanja baju-baju terbaru sesuai usianya yang baru menginjak dua puluh tiga. Selama ini, ia selalu tampil necis dengan tuksedo suits rapi dengan tas laptop yang menunjang pekerjaannya sebagai manager di sebuah perusahaan yang baru saja berkembang.

Hanya untuk malam ini juga, ia rela mengesampingkan alerginya terhadap parfum. Ia berkunjung ke semua sudut toko wewangian tersebut, mencari aroma yang pas, maskulin namun segar, juga tidak terkesan kekanak-kanakkan.

Setelah memastikan mendapatkan semua yang ia butuhkan, Rian tahu, ia sudah siap. Ia sudah sangat siap malam ini. Pertemuan penting. Setelah hampir dua bulan ia mengamati, staker sana-sini, ia sudah siap menemui seseorang yang sangat penting. Cinta pertamanya sendiri.

Sebuah kebetulan membawanya jadi seperti ini. Hari itu malam sudah semakin larut. Dengan perasaan kantuk, Rian mengendarai mobilnya menuju apartemennya. Dan saat itu, di pinggir jalan, dilihatnya seorang wanita cantik sedang duduk di trotoar. Mungkin ini adalah cinta pada pandangan pertama. Rian tidak yakin. Selama ini ia belum pernah merasakan hal seperti ini. Tapi, bagaimanapun juga, matanya tidak bisa berhenti memandang wanita itu. Dengan gaun malam yang tampak perfect dengan badannya yang bak gitar Spanyol ditambah dengan wajahnya yang membuat Rian tertarik. Kejadian itu hanya satu menit, tapi Rian sudah yakin. Ia jatuh cinta.

Kini sudah waktunya. Dengan mantap ia menjalankan mobilnya ke jalan itu. Ia tahu persis, wanita itu pasti ada jam sepuluh malam ini di tempat yang sama. Rian mencari-cari sosok itu. Ketika ia menemukan sosok itu, tanpa tedeng aling-aling ia langsung menghampiri wanita itu.

Dengan cepat ia menyerahkan segepok uang yang sudah ia persiapkan sebelumnya.

Biarkan aku merasakan cintaku malam ini, pikir Rian. Karena esok pagi, aku dan wanita ini takkan pernah sama lagi.

***

Request dari lagu Daylight - Maroon5 - Fahrenheit

 
 

Ajaib

Aku pernah mendengar sebuah pepatah; ada dua cara menjalani kehidupan, berpikir bahwa semua yang kau alami adalah keajaiban, atau berpikir bahwa tidak ada keajaiban sama sekali di dunia ini.

Bertemu denganmu membuatku percaya anggapan yang pertama. Kamu adalah keajaiban yang paling nyata. Keajaiban yang tercipta buatku untuk menjalani kehidupan. 

Kamu datang tiba-tiba di suatu ketika hari sedang hujan. Berteduh di bawah atap kafe Perancis yang belum menunjukkan tanda-tanda akan buka. Dan saat itulah keajaiban bekerja dengan caranya. Takdir Tuhan, mungkin. Entahlah. Satu-satunya yang teori yang aku percayai adalah bahwa kita ditakdirkan. Payungku tiba-tiba terlepas dari genggaman, lalu melayang indah jatuh di hadapanmu. Pertama dalam hidupku aku merasa matahari bukan jadi benda yang paling bersinar di dunia ini. Tapi, senyumanmu yang seolah menjadi terang di hari yang hujan ini.

Kejadian itu membuat kita berlabuh pada satu percakapan. Tentang payung. Tentang hujan.

"Banyak orang yang bilang menyukai hujan namun tidak benar-benar menyukainya?" gerutuku.

Kamu mendelik. "Maksudmu?"

"Banyak orang yang menyukai hujan tapi malah berpayung ketika ia datang. Tidak seperti aku, aku tidak menyukai hujan dan aku berpayung," lanjutku.

"Cara orang menikmati hujan itu berbeda-beda. Aku suka hujan turun. Aku menikmatinya hanya dengan melihatnya. Aku tidak suka bersentuhan dengan titik airnya, Itu membuatku flu," selorohnya. 

Kami tertawa.

"Hujan adalah salah satu hal yang paling aneh. Dia harus berkorban untuk menjadi dirinya sendiri. Ia harus rela melepaskan titik-titik airnya sendiri ke lahan, lalu kembali ke langit,terus jadi dirinya sendiri. Begitu seterusnya," kamu berkata sambil menatap titik-titik hujan yang menirai. "Buat apa berkorban sebegitu banyaknya? Melepaskan titik-titik air itu pastilah sulit."

 Aku ikut-ikutan melakukan hal yang sama denganmu. "Tapi, bukankah ia melakukan itu karena ia suka?" aku berkomentar. "Hujan adalah hujan ketika ia turun, bukan? Daripada ditahan dan semakin banyak, bukankah itu malah membuat semakin sulit?"

Kamu diam sambil mengulum senyum. 

"Justru itulah aku menyukai hujan. Ia rela melepaskan. Sesuatu yang sangat sulit untuk kulakukan."

"Apa yang sedang kau lepaskan?" tanyaku penasaran.

Dia menatapku tajam. Bola matamu yang hitam itu langsung membuatku terdiam.

"Aku sedang berusaha melepaskan kehidupan. Kehidupan terlalu sulit untuk dijalani bagi diriku sendiri."

Aku bergeming, mencoba menelaah setiap kata yang keluar dari bibirmu yang memerah. "Sendiri?"

"Seperti yang kaulihat," katamu sambil menarik sudut bibirmu sendiri.

Aku semakin heran. Melepas kehidupan? Maksudnya?

"Kadang aku berpikir, mengapa orang-orang takut mati. Padahal menurutku, kehidupan jauh lebih menakutkan. Jika kau mati, tidak ada rasa sakit. Semua lepas, hilang begitu saja. Sementara jika kau hidup, kau masih bisa merasakannya. Bahkan, sangat nyata," jelasmu panjang lebar sambil memainkan rambutmu yang basah. "Sekarang, mengapa orang-orang takut mati?"

Aku berdeham sebentar. Pembicaraan yang berat.

"Mungkin orang-orang bukan takut pada kematian itu sendiri. Mereka takut apa yang mereka lakukan selama hidup tidak cukup baik untuk ditinggalkan. Dikenang?" kataku asal. Pembicaraan ini sungguh di luar nalar.

Aku memutuskan untuk menoleh kepadamu. Tidak ada lagi matahari. Yang aku lihat, wajahmu seumpama mendung hari ini. Gelap. Kelam. Misterius.

Kamu lalu tertawa terbahak. Seolah apa yang aku katakan tadi adalah lelucon terlucu di dunia.

"Jadi ini semua tentang kenangan?" kamu bertanya retoris. "Aku, selama aku hidup tidak pernah membuat kenangan yang baik. Aku baru saja membunuh seseorang. Tunanganku yang selingkuh. Sedari dulu, aku tidak pernah bahagia. Mungkin itu yang membuatku tidak takut mati, ya?"

Aku mengangkat kedua bahu. Tidak tahu.

Kamu lalu tertawa lagi. "Oke. I got it. Semoga pembicaraan kita ini termasuk dalam kenangan, ya," ujarmu lalu berlari menerobos hujan. Mencumbu kesukaanmu itu.

Aku hanya tersenyum. Lalu sedetik setelahnya, yang kudengar hanya suara decitan mobil. Yang kulihat, tubuhmu terbang bebas ke udara.

Kamu mati. Kamu menemui akhirmu.

Dan sejak saat itu aku mulai mempercayai anggapan kedua. Tidak ada keajaiban di dunia ini. Kamu membuktikannya. 

"Jika hidup adalah keajaiban itu sendiri, maka hidup tidak akan pernah menjadi sesulit ini. Baginya, wanita yang kutemui di pinggir jalan."