Seperti dugaanmu, aku memilih pilihan itu. Pilihan yang sudah susah payah kamu jelaskan resikonya kepadaku. Pilihan yang mungkin manusia berhati emas pun tidak berani mengambilnya. Dan aku nyatanya memilih pilihan itu, dulu.
Aku memilih pilihan pertama. Aku memilih untuk bertahan.
Dan kamu tertawa. Tawa kemenangan.
***
Saat itu aku berpikir, aku sudah sekian lama bertahan menahan semua rasa yang ada, bahagia maupun sedih, terlalu sayang bukan untuk melepaskan? Menyerah? Bukan pribadiku. Aku yang selama ini bertahan untuknya, menjadi tumpuan dikala dia terjatuh, atau hanya jadi sandaran hatinya ketika dia lelah, bukankah semua sudah aku lakukan? Harus menyerah? Tidak akan. Aku lebih memilih bertahan.
Kamu munafik. Ungkapkan semua!
Tidak. Aku tidak munafik. Semuanya sudah aku jabarkan. Tidakkah kamu mengerti? Sangat sulit mencapai posisi ini. Mencapai posisi dimana dia membutuhkanku. Mencapai posisi dimana hari-hariku dihiasi oleh dirinya. Dan kamu tidak tahu apa-apa! Jangan berkomentar!
Masih ingin berbohong?!
Maksud kamu?
Bagaimana rasanya?
Apa?
Bagaimana rasanya tidak dianggap?
Pertanyaan ini langsung menembakku tepat di dalam dada lalu mematikan syaraf-syaraf otakku. Aku tidak bisa menyangkal. Perihnya. Sakitnya. Masih. Membekas. Hingga. Kini. Dan aku pun memilih jawaban yang diplomatis.
Aku tidak ingin semuanya sia-sia. Semua yang kulakukan itu.
Lanjutkan!
Rasa perih itu, aku sudah terbiasa. Mendarah-daging. Mati rasa. Aku percaya, apapun yang akan ada di depan jalan ini nantinya, aku akan tetap bergeming. Nyerinya, atau perasaan pengabaian sebesar apapun akan aku taklukkan!
Kamu egois. Kasihani hatimu. Dia sudah lelah menunggu. Dan kamu masih ingin?
Ya. Masih. Bukankah ego yang selalu menang?
Aku berusaha menyangkal semua situasi saat itu. Kata-katanya benar. Aku saja yang masih tidak terima. Aku buta, melihat sikap tidak acuhnya. Aku tuli terhadap semua kisah-kisahnya tentang orang lain, orang yang dia cintai. Ahh seperti yang sudah aku bilang. Aku mati rasa ketika dia dengan lembut mengiris-iris kamu -hatiku-.
Kamu seperti anak kecil. Berusaha merebut mainan orang lain hanya karena ingin diakui? Sudahlah, aku tidak ingin melihatmu "sok" seperti itu. Ceritakan semuanya. Ceritakan perjalanan hidupmu dengannya. Perjalanan cinta yang bertepuk sebelah tangan!
Apa yang harus aku ceritakan, hah? Bukankah kamu tahu segalanya. Bukankah kamu juga merasakan? Untuk apa semua percakapan ini jika kamu tidak tahu rasanya seperti apa? Dan yang paling penting, bukankah kamu yang paling merasa tersiksa?
Aku hanya ingin mendengarkan. Kamu butuh didengarkan. Aku tahu.
Baik, baik. Kamu selalu menang. Seperti yang sudah kamu tahu, aku sudah sekuat tenaga untuk bertahan. bertahan. dan bertahan. Tetapi dia semakin jauh. jauh. jauh. Dan kamu tahu? Aku jatuh. jatuh. dan jatuh.
Rasanya?
Kamu masih ingin tanya bagaimana rasanya?!
Baiklah. Lanjutkan.
Semakin sering aku terjatuh, aku akan semakin gagah berdiri. Sebetulnya tidak. Aku hanya berpura-pura tegar. Setiap dia semakin jauh, keping hatiku tercecer di jalan saat menujunya. Tetapi keyakinan itu, untuknya, selalu jadi kekuatan untukku. Aku bangkit. Namun apa yang aku dapat? Setiap aku tegak, dia semakin jauh. Semakin jauh. Dan semakin jauh. Sedang aku? Semakin jatuh. Dalam. Semakin dalam. Semakin dalam. Semula, dia berjalan di sampingku. Meniti jalan yang terikat bersama, berdua. Namun, setiap kali aku terjatuh, dia selangkah lebi maju dari hadapanku. Setapak, dua tapak, tiga tapak, hingga dia berjalan di samping orang lain. Meninggalkanku? Ah tidak mungkin.
Kamu selalu begitu. Tidak yakin terhadap apa yang jelas-jelas nyata di hadapanmu.
Diam! Bukan begitu. Aku... Aku berusaha mengejar bayangannya. Berlari menembus mega. Bertahan, kau tahu. Dan aku tiba di persimpangan.
Masih ingin mengejar?
Untuknya? Tidak perlu kamu tanyakan. Iya. Selalu.
Masih sanggupkah kamu berlari?
Berlari? Iya. Aku sanggup. Aku akan mengejar ketertinggalanku.
Tidakkah kamu lelah mengejar?
Lelah? Sedikit. Aku akan tetap menyusulnya. Itu bukan rintangan, kau tahu?
Hmm.. Sebegitu berartikah dia?
Sangat berarti bagiku. Dia adalah mataku ketika kegelapan menggerogoti. Dialah yang terpenting. Tidak ada yang lain.
Jika memang begitu, pertanyaannya adalah..
Sebegitu tidak berartikah kamu untuknya sehingga dia lari darimu?
Sebegitu tidak diabaikannya kamu sehingga dia tidak rela menunggu?
Sebegitu tidak berhargakah kamu sehingga dia enggan mengambil kepingan hatimu yang pecah berserakan?
Dan sebegitu tidak lelahkah dia untuk pergi jauh darimu, hingga enggan bersamamu?
Jawab pertanyaan itu!
Aku tidak bisa menjawab. Bukan urusanmu!
Selalu. Kamu selalu begitu. Kamu harus tahu. Kadang banyak hal yang memang semestinya direlakan. Kamu terlalu berharga untuk mengejar. Lepaskan! Relakan! Jika kamu tidak ingin melakukannya untuk dirimu, setidaknya untukku?
Aku tidak mau. Aku akan bertahan. Kamu siapa berani memerintahku?
Sudahlah. Kamu akan tahu.
***
Semenjak saat itu aku terus berlari, bertahan mengejar bayangnya. Hingga aku lihat tembok besar dengan semen keabuan yang masih basah. Aku tahu, dia yang membangunnya. Dan di tembok itu, tertulis tiga kata bercat merah muda :
"MASIHKAH KAMU MAMPU?"