[Cerpen] A Stranger and Two Broken Heart Stories



A Stranger and Two Broken Heart Stories
3000 words 

 ||---------------------------------------------------------------------------||


“. . .sometimes one feels freer speaking to a stranger than to people one knows. Why is that?"
“Probably because a stranger sees us the way we are, not as he wishes to think we are.”

***

Apa yang kau lakukan ketika sedang patah hati?

Jika kau tanya aku, aku akan dengan lugas mengatakan; menonton film. Aku bukan tipe laki-laki yang mudah menangis. Aku hanya menangis untuk dua hal; ketika aku benar-benar merasa kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupku, dan kedua, jika aku mengantuk, otomatis mataku berair. Tapi, untuk patah hati, itu masih belum masuk kriteria pertama. Pacar –atau apapun namanya, masih belum cukup berharga untuk aku tangisi.

Munafik jika kubilang patah hati tidak berpengaruh dalam hidupku. Bagaimana mungkin, orang yang sudah terbiasa bersamamu itu tiba-tiba pergi, dan kau masih merasa baik-baik saja? Sama sepertiku, ada sesuatu di tubuhmu yang tiba-tiba nyeri,terlepas, atau kau merasa sulit bernapas. Aku sukar menjelaskannya. Tapi, ada rutinitas yang kembali hilang. Seolah semua hidupmu yang teratur tiba-tiba mengalami getaran yang membuat sebagian hal tidak bisa kau lakukan lagi. Dengannya. Ya, cinta adalah kebiasaan, mungkin itu tepatnya.

Dan aku baru saja patah hati. Patah hati pertamaku.

Dua hari lalu, aku baru berpisah dengan orang yang sudah terbiasa bersamaku selama satu tahun terakhir. Perpisahan klise, yang aku tahu persis selalu diucapkan oleh orang-orang yang sudah bosan dengan pasangannya. Jujur, aku memang orang yang membosankan. Aku tidak bersikap layaknya seorang laki-laki yang dimabuk cinta. Tunggu, maksudku, apa yang kau harapkan dari seseorang yang baru pertama kali mengenal cinta?

Bahkan, untuk satu tahun ini saja, aku tidak bisa berbuat banyak. Dan itu yang menjadi masalah utama bagi kami –baginya.

Lalu, kau bisa tebak kejadian selanjutnya, dia pergi, dengan alasan yang sangat masuk logika; ingin fokus belajar.

Aku percaya, saat dia mengatakan itu. Tapi, kepercayaanku goyah ketika kulihat ia bersama laki-laki lain. Mesra. Lengannya bergelayut manja di lengan laki-laki itu; hal yang baru berani aku lakukan setelah hubungan kami menginjak bulan ke tujuh.

Dan akhirnya aku patah hati, seperti yang kujelaskan tadi.

Jadi satu-satunya hal yang akan aku lakukan adalah menonton film. Di bioskop. Dan sendiri.

Ide ini terlintas saja di benakku. Aku hanya berpikir, menonton film, apalagi komedi, dapat menyembuhkan luka patah hati. Teoriku. Dan aku harap berhasil. Bukankah kesedihan harus dibalas dengan kebahagiaan dan tertawa salah satunya?

Kini, di sinilah aku. Tepat di malam tahun baru. Di saat banyak orang berlomba-lomba untuk pergi ke beberapa tempat perayaan, aku lebih memilih ke sini. Di sebuah bioskop yang tampak asing bagiku. Sengaja aku pilih tempat yang tidak mengingatkanku padanya. Yah, sama seperti luka, semakin sering kau siram di tempat yang sama, akan semakin lama keringnya.

Di tanganku, satu lembar tiket sudah anteng kugenggam. Pengeras suara sudah berulang kali memanggil penonton untuk masuk ke teater tiga, tapi aku masih bergeming. Aku akan pergi ketika lampu dimatikan, begitu niatku. Tujuannya sudah jelas; aku tidak ingin diserang dengan tatapan aneh orang satu ruangan karena pergi sendiri. Rasanya seperti mereka menelanjangimu bulat-bulat dengan mata mereka. Kau merasa dipermalukan.

Sudah lima belas menit pintu teater dibuka, barulah aku memantapkan langkah. Aku masuk ke dalam ruangan itu. Baru saja masuk, aku sudah disambut gelak tawa. Untunglah, mereka bukan menertawakanku, tapi menertawakan film di belakangku.

Dengan cepat aku menuju bangku yang sudah tertera di tiket. Bangku paling atas. Setelah mendapati barisan yang akan kutempati, aku segera duduk. Seperti dugaanku sebelumnya, biasanya orang menonton film pasti berpasangan. Dan aku memilih bangku yang tepat di tengah-tengah mereka. Ada dua pasangan di sebelah kiriku yang menempati bangku satu sampai empat. Sedangkan di sebelah kiriku, ada tiga orang. Dua perempuan dan satu laki-laki. Tapi, tampaknya, perempuan dan laki-laki di dua bangku paling ujung adalah pasangan kekasih. Terlihat dari gerak-gerik mereka yang “mesra” bukan main. Jadi, di sebelahku ini, perempuan ini, juga sendiri?

Aku menggelengkan kepala secepat kilat. Sejak kapan aku jadi kepo begini?

[Review] Hibiscus - Agnes Arina

Judul Buku       : Hibiscus; samaran, misteri, dan balas dendam
Penulis            : Agnes Arina
Penerbit          : Bentang Pustaka
Cetakan          : Pertama
Tebal Buku      : 252 hlm
Tanggal Terbit  : Oktober 2013
ISBN               : 978-602-7888-87-6

Blurb :
Bali gempar. Pierre Villeneuve, wisatawan asal Perancis, ditemukan tewas terbunuh di sebuah kamar hotel mewah. Tangannya menggenggam bunga sepatu dan tak ada yang bisa memecahkan arti dari bunga itu.

Bagaskara, seorang detektif yang menyamar menjadi pemandu wisata, adalah pemandu yang mengantar Pierre dan keluarganya keliling Bali pada hari naas itu. Bagas gusar. Rasa keadilannya terpancing.

Kini yang bergerak bukan Bagas si pemandu wisata, tapi Detektif Bagaskara. Meski dengan mempertaruhkan misi dan samarannya, dia bertekad mengungkap kasus pembunuhan ini sampai tuntas. Semakin dia menyelidik, semakin dia menemukan banyak korban lain.

Dia kini harus mengerahkan semua kemampuannya untuk mencari si pembunuh sebelum jatuh korban berikutnya. Bagas sadar kini dia dikejar oleh waktu, tanggung jawab dan kematian.

[Review] Penjaja Cerita Cinta - @edi_akhiles



Judul Buku    : Penjaja Cerita Cinta
Penulis         : @edi_akhiles
Penerbit       : Divapress
Cetakan       : Pertama
Tebal Buku   : 192 hlm
Tanggal Terbit : Desember, 2013
ISBN            : 978-602-255-397-7

Blurb:
"Aku bisa memberikanmu cinta yang berpijar dari hati...," ucapnya suatu sore menjelang senja di sebuah kafe murahan. Kami hanya memesan es teh manis, plus dua potong pisang goreng. "Kuharap kamu mau mengerti betapa ketulusan hati jauh lebih berharga dari kemilau berlian...."
***
Rumah yang kucari ini lebih tepat disebut kastil. Tak ada rumah lain di sekitarnya. Ya, hanya sendiri berdiri dalam sepi. Debu-debu kering bisa beterbangan demikian berantakkannya meski hanya secuil angin yang melenguihnya. Pagarnya berdiri begitu congkak seolah berkata pada dunia, "Ada kehidupan paling rahasia di dalamnya, jangan ganggu ia atau kematian akan menyambarmu segera!"
***
Kadang yang lain, ia menggumam, "Aku percaya waktu adalah kesemuan. Tak patut bagi kita untuk menjadikan waktu sebagai ukuran sesungguhnya..."
***
 Jika ada cerita yang mewartakan rindu yang sangat menyayat hati pemiliknya, pastilah rindu yang dirasakan itu belumlah sepekat rindu yang bersemayam di hati Senja.