A Stranger and Two Broken Heart Stories
||---------------------------------------------------------------------------||
“. . .sometimes one feels freer speaking to a stranger than to people one
knows. Why is that?"
“Probably because a stranger sees us the way we are, not as he wishes to think we are.”
“Probably because a stranger sees us the way we are, not as he wishes to think we are.”
***
Apa yang kau
lakukan ketika sedang patah hati?
Jika kau tanya
aku, aku akan dengan lugas mengatakan; menonton film. Aku bukan tipe laki-laki
yang mudah menangis. Aku hanya menangis untuk dua hal; ketika aku benar-benar
merasa kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupku, dan kedua, jika aku
mengantuk, otomatis mataku berair. Tapi, untuk patah hati, itu masih belum
masuk kriteria pertama. Pacar –atau apapun namanya, masih belum cukup berharga
untuk aku tangisi.
Munafik jika
kubilang patah hati tidak berpengaruh dalam hidupku. Bagaimana mungkin, orang
yang sudah terbiasa bersamamu itu tiba-tiba pergi, dan kau masih merasa
baik-baik saja? Sama sepertiku, ada sesuatu di tubuhmu yang tiba-tiba
nyeri,terlepas, atau kau merasa sulit bernapas. Aku sukar menjelaskannya. Tapi,
ada rutinitas yang kembali hilang. Seolah semua hidupmu yang teratur tiba-tiba
mengalami getaran yang membuat sebagian hal tidak bisa kau lakukan lagi.
Dengannya. Ya, cinta adalah kebiasaan, mungkin itu tepatnya.
Dan aku baru
saja patah hati. Patah hati pertamaku.
Dua hari lalu,
aku baru berpisah dengan orang yang sudah terbiasa bersamaku selama satu tahun
terakhir. Perpisahan klise, yang aku tahu persis selalu diucapkan oleh
orang-orang yang sudah bosan dengan pasangannya. Jujur, aku memang orang yang
membosankan. Aku tidak bersikap layaknya seorang laki-laki yang dimabuk cinta.
Tunggu, maksudku, apa yang kau harapkan dari seseorang yang baru pertama kali
mengenal cinta?
Bahkan, untuk
satu tahun ini saja, aku tidak bisa berbuat banyak. Dan itu yang menjadi
masalah utama bagi kami –baginya.
Lalu, kau bisa
tebak kejadian selanjutnya, dia pergi, dengan alasan yang sangat masuk logika;
ingin fokus belajar.
Aku percaya,
saat dia mengatakan itu. Tapi, kepercayaanku goyah ketika kulihat ia bersama
laki-laki lain. Mesra. Lengannya bergelayut manja di lengan laki-laki itu; hal
yang baru berani aku lakukan setelah hubungan kami menginjak bulan ke tujuh.
Dan akhirnya
aku patah hati, seperti yang kujelaskan tadi.
Jadi
satu-satunya hal yang akan aku lakukan adalah menonton film. Di bioskop. Dan
sendiri.
Ide ini
terlintas saja di benakku. Aku hanya berpikir, menonton film, apalagi komedi,
dapat menyembuhkan luka patah hati. Teoriku. Dan aku harap berhasil. Bukankah
kesedihan harus dibalas dengan kebahagiaan dan tertawa salah satunya?
Kini, di
sinilah aku. Tepat di malam tahun baru. Di saat banyak orang berlomba-lomba
untuk pergi ke beberapa tempat perayaan, aku lebih memilih ke sini. Di sebuah
bioskop yang tampak asing bagiku. Sengaja aku pilih tempat yang tidak
mengingatkanku padanya. Yah, sama seperti luka, semakin sering kau siram di
tempat yang sama, akan semakin lama keringnya.
Di tanganku,
satu lembar tiket sudah anteng kugenggam. Pengeras suara sudah berulang kali
memanggil penonton untuk masuk ke teater tiga, tapi aku masih bergeming. Aku
akan pergi ketika lampu dimatikan, begitu niatku. Tujuannya sudah jelas; aku
tidak ingin diserang dengan tatapan aneh orang satu ruangan karena pergi
sendiri. Rasanya seperti mereka menelanjangimu bulat-bulat dengan mata mereka.
Kau merasa dipermalukan.
Sudah lima
belas menit pintu teater dibuka, barulah aku memantapkan langkah. Aku masuk ke
dalam ruangan itu. Baru saja masuk, aku sudah disambut gelak tawa. Untunglah,
mereka bukan menertawakanku, tapi menertawakan film di belakangku.
Dengan cepat
aku menuju bangku yang sudah tertera di tiket. Bangku paling atas. Setelah
mendapati barisan yang akan kutempati, aku segera duduk. Seperti dugaanku
sebelumnya, biasanya orang menonton film pasti berpasangan. Dan aku memilih
bangku yang tepat di tengah-tengah mereka. Ada dua pasangan di sebelah kiriku
yang menempati bangku satu sampai empat. Sedangkan di sebelah kiriku, ada tiga
orang. Dua perempuan dan satu laki-laki. Tapi, tampaknya, perempuan dan
laki-laki di dua bangku paling ujung adalah pasangan kekasih. Terlihat dari
gerak-gerik mereka yang “mesra” bukan main. Jadi, di sebelahku ini, perempuan
ini, juga sendiri?
Aku
menggelengkan kepala secepat kilat. Sejak kapan aku jadi kepo begini?