:)


"Bagaimana cara mencintai yang benar?" Kamu membuka percakapan di antara kita. Saat ini kita sedang duduk berdua di restoran cepat saji kesukaan kita. Restoran yang katamu menjadi tempat kau menemukan cinta.

Aku lantas menoleh kepadamu lalu mengerenyitkan dahi. "Dalam hal apa?" Aku bertanya.

Kamu menghisap mocca float dari ujung sedotan dan langsung menyentuh bibirmu. Aku hanya bisa menelan ludah ketika kamu melakukan itu.

"Semuanya," katamu dengan tatapan serius. "Aku hanya ingin tahu cara mencintai yang benar."

"Selama ini, apakah cara mencintaimu salah?" Aku kembali bertanya. Ada sedikit emosi dalam perkataanku. Untunglah, tampaknya kamu tidak tahu.

Kamu mengangkat bahu. "Entahlah. Aku hanya merasa ada yang salah."

"Tidak ada yang salah dalam cinta."

"Ada." Kamu memotong ucapanku cepat. "Hidup itu relatif. Benar dan salah. Termasuk cinta. Bukankah begitu logikanya?"

"Cinta tidak butuh logika." Aku meralat perkataan darinya. "Dan aku rasa, caramu mencintainya itu sudah benar. Cinta itu perkara memberi dan menerima. Kamu dan dia sudah melakukan hal itu, bukan?"

"Ya, tapi -"

"Jika ada yang perlu dipersalahkan, aku rasa hanya keadaan." Aku meneguk kopi pahit di hadapanku yang mulai mendingin.

Aku melirik dari sudut mataku. Kamu menatapku seolah menantikan kata-kata apa yang akan keluar dari mulutku.

"Keadaan yang salah." Aku mengulangnya. "Keadaan bahwa kau akhirnya menikah dengan orang yang lebih tua darimu. Dan keadaan bahwa jauh sebelum itu aku mencintaimu. Keadaan yang salah, bukan caramu mencintainya," jelasku panjang lebar.

Kamu menghela napas panjang lalu menghembuskannya cepat. "Maafkan aku," ujarmu penuh sesal.

Aku sudah tidak tahan. Pertahananku roboh. Air mata turun membanjiri pelupuk mataku.

Untuk beberapa menit setelahnya, hanya isakan tangisku yang terdengar. Dan kamu hanya bisa menatapku sendu.

Jam berdenting lima kali. Aku pun menyeka air mata yang turun sedari tadi. Aku langsung bangkit berdiri. Tanpa melihatmu lagi, aku berujar...

"Ayo, Pa. Mama sudah menunggu."

Memang harus diakhiri, aku meyakini di dalam hati.

FF IBU

"Lo harusnya layanin gue! Lo gue bayar, bajingan!"
Wanita di hadapannya menarik ujung selimutnya kencang. 
"LO GATAU SIAPA GUE? GUE ANAK DRAJAT SUBAKTI! ORANG PALING KAYA DI KOTA INI. HARUSNYA LO BERUNTUNG BISA TIDUR BARENG GUE!" 
Puhh. Laki-laki itu meludah.
"GUE PERGI. DASAR PEREK JUAL MAHAL!"
Wanita itu hanya menangis sesenggukkan. Kenangan masa lalunya membuncah keluar. 
Pembantu. Drajat. Malam hari. Tanggal Lima belas. Bayi.
Nak, ini ibu..

[cerita] Rumah Impian Ibu


Ini adalah cerpen pertama yang saya buat untuk antologi sebuah buku. Gak menang sih tapi yaa dipublish aja. :p Maaf kalo masih aneh dan hancur. Baru pertama. :p

***


Aku melangkah pelan di trotoar jalan Jakarta. Berteman peluh, aku memaksakan tubuh gontaiku untuk terus berjalan. hingga suatu saat aku berhenti di depan sebuah hal yang selama setahun ini mengusik pikiranku. aku melihat sebuah rumah, tidak besar namun terlihat nyaman, dengan halaman yang dipenuhi bunga-bunga. walaupun keadaan gelap, cahaya lampu tetap menari-nari dan menambah keindahan rumah itu. ya, bukan rumahku, tapi rumah impianku. rumah yang aku ingin tempati bersama ibu. setelah berdiam sejenak dan bermain bersama pikiranku, aku melanjutkan perjalananku.

Akhir dari perjalananku, aku melangkah ke sebuah rumah beratapkan daun kering, berlantaikan tanah merah. huh. berbeda 180 derajat dengan rumah tadi, pikirku. rumah ini, sudah sekian tahun aku tempati berdua, ya hanya berdua bersama ibuku. semenjak bapak meninggalkan kami, atau lebih tepatnya meninggalkan ibuku saat aku masih bayi, hanya ibu yang jadi malaikatku. Ibu selalu merawatku dengan penuh kasih sayang. Ibu yang membanting tulang menghidupi kehidupan kami. Ibu yang dengan susah-payah menyekolahkanku hingga aku berhasil lulus SMP, dan mendapat beasiswa untuk tingkat SMA, dan berhasil masuk PTN. namun, keberuntungan itu tidak sampai menjadi jaminan hidupku. aku, dipermainkan oleh nasib hingga saat terakhir ini masih menjadi seorang buruh.

''assalamualaikum, bu'' ucapku di pintu rumah

''wa..lai..kumussalam... A..a..di, iii.. tu ka..mu na..k?'' ucap suara tertatih dari dalam.

''iya bu, ini Adi.'' kataku.

aku menyeret tubuhku masuk ke dalam rumah hingga ku dapati Ibuku sedang terlentang di dipan tua beralaskan tikar. kasihan, pikirku. Ibu memaksakan senyum kepadaku. dan aku membalas senyumnya.

''Ibu, Adi belikan makanan untuk Ibu. Ibu makan ya. Obatnya sudah dimakan kan, Bu?'' tanyaku.

Ibu diam dan mengangguk pelan.

''Ya sudah, Ibu makan dulu ya. Aku siapin makanannya dulu.''

Aku bergegas menuju dapur dan mengambil satu dari 3 piring yang tersisa. Kemudian aku ambil gelas dan berniat mengisi dengan air hangat yang telah aku buat sebelumnya. Namun, hendakku menuang air itu, aku melihat plastik obat ibuku. Dalam plastik itu, ku lihat potongan-potongan kecil obat ibuku. kenapa obat ini terbagi dua, pikirku. lalu, ku hampiri ibu, membawa sepiring nasi telur yang aku beli di pinggiran jalan, lalu segelas teh hangat. Bersamanya juga, ku genggam obat ibuku.

''Bu, ini makannya. Adi suapin ya.''

Ibuku mengangguk.

''Bu, kenapa obatnya dipotong dua begini? Ini ibu yang memotongnya, ya? Bu, ibu kan harus makan obatnya sesuai dosis yang dikasih dokter, Bu. Kalo begini, kapan Ibu sembuh?'' tanyaku.

Ibu diam dan menahan sedih. Selang beberapa menit.

''I..bu ti..dak ap.. apa nak.. Ib..bu cu..ma ti..dak mau o..bat..nya hab..bis''

''Tapi bu, ibu tidak boleh melakukan ini. Ibu sayang Adi kan?''

Ibu mengangguk.

''Kalo Ibu sayang Adi, Ibu makan obatnya. Adi pengen liat Ibu sembuh. Adi kangen ngeliat Ibu sehat.'' kataku sambil mendekap ibuku. tak terasa bulir-bulir air mataku jatuh.

''Ibu.. Saya..ng Adi''

Hanya itu yang ibu katakan, dan untuk selanjutnya aku menyuapi ibu dalam diam, hingga ku lelapkan ibuku dalam gelap malam.

Ibu, Adi juga sayang Ibu.

Aku kembali pada masa lalu. bulan November setahun yang lalu, ketika malam diselimuti hujan kala itu, aku membagi kisah dengan Ibu. Tentang rumah yang baru ku temui tadi sore. Tentang rumah yang berada di pinggir jalan Jakarta, dengan halaman penuh bunga. Kami bercerita tentang rumah impian kami. Ya rumah impian kami. Kami tidak peduli saat itu rumah kami mendapat tetesan air hujan yang membanjiri lantai tanah. Memainkan harmoni kala menyentuh ember, piring, gelas, apapun wadah yang ku pakai saat itu. Kami merajut mimpi kami, mimpi tentang rumah itu. Bercanda hingga aku terlarut sambil mendekap ibuku.

Huh. Masa-masa itu. Awalnya aku merasa bisa menempati rumah itu. namun, ibarat pasir, semakin kuat aku genggam, semakin banyak yang aku lepaskan. Semakin aku berusaha mendapatkannya, malah semakin sulit ku rasa.

aku kembali pada realitasku. sambil melihat ibuku dengan furatan wajah yang menggambarkan usianya.
aku mencium dahi ibuku lalu berbisik lirih.

''Ibu, maafkan aku. Aku belum bisa mengabulkan impian kita berdua. Ibu, maafkan aku''

aku terus berujar hingga saatnya aku juga tertidur lelap disamping ibuku.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

suara azan menggema menggetarkan jagat raya. aku bangun dari peraduanku dan mulai membangunkan ibu. Ibu pun mulai menghapus kantuknya. sesaat kemudian, aku mengambil air wudhu. Ku usapkan air suci itu ke seluruh tubuhku. Setelah itu, aku mengambil sebuah baskom kecil dan handuk putih kecil. setelah itu aku kembali ke tempat ibu berbaring. Aku mengusapkan handuk kecil itu ke sekujur tubuh Ibu. lalu aku memakaikan mukena kusam kepada Ibu. Aku tak mampu membeli mukena barU untuk Ibu. Mukena kusam itu sudah hampir 9 tahun menemani Ibu. Aku pun memakai sarungku dan memulai sholat bersama Ibu. Inilah wadah aku menuangkan semua keluh kesah kepada Maha Pencipta, Pemilik Kehidupan, Penguasa Alam, Pemegang Takdir. Aku menangis, memohon, meminta kepada-Nya. Selalu aku mohon satu hal. Aku ingin membahagiakannya. Ibuku, Malaikat kehidupanku.

Setelah aku dengan Ibu sholat, aku pun bergegas mandi dan membuatkan sarapan untuk Ibu. Aku melihat di dalam lemari persediaan. Hanya ada sebuah mie instan. Ku seduhkan mi itu untuk Ibu. Lalu, ku suapkan padanya. Ibu, ingin rasanya aku memberi Ibu makanan bergizi. Bukan makanan yang mengandung banyak pengawet seperti ini. hmm.

fajar menyingsing, matahari dengan lembut menyapa mataku. Aku pun berpamitan setelah menyelesaikan semua tugas rumahku. Aku bertekad hari ini untuk melamar pekerjaan. Dengan berbekal doa ibu, aku melangkah dengan membawa map coklat di tanganku. Aku melangkah menjauhi rumah dengan tekadku. Semangatku. Untuk Ibu.

Pagi ini aku membeli sebuah koran harian ibu kota. Berharap aku menemukan sebuah kolom lowongan pekerjaan. Mataku menari menyusuri kata tiap kata harian tersebut.

''dibutuhkan seorang karyawan bidang pemasaran yang siap ditempatkan di cabang seluruh Indonesia. pendidikan minimal S1.... ''

''dibutuhkan karyawan marketing perusahaan baru berkembang di luar pulau jawa...''

aku membaca harian itu. sebenarnya aku ingin melamar pekerjaan itu. Namun pikiranku sudah melayang jauh tentang Ibu. Bagaimana bisa aku meninggalkan Ibu dalam keadaan seperti ini? Atau lebih tepatnya bagaimana mungkin aku meninggalkan Ibu sendiri tanpa aku. Bagaimana dengan obatnya? Bagaimana makanannya? Bagaimana kehidupannya? pikiranku terus melayang membayangkan semua hal tentang Ibu bila aku mengambil pekerjaan ini. Aku melihat saku, 10.000 rupiah tinggal sisa uang aku dan Ibu. sementara honor bekerja sebagai buruh harus diterima satu minggu lagi. Aku mengeluh. Tapi buru-buru ku tepiskan keluhan itu. Mengapa aku harus mengeluh dengan keadaanku seperti ini? Bukankah ini adalah nikmat Sang Maha Kuasa? Bukankah seharusnya aku harus bersyukur karena aku masih memiliki uang untuk makan Ibu. Aku harus bersyukur karena masih kuat untuk tetap berjalan. Dan aku masih bersyukur karena aku masih mempunyai Ibu.

''maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?'' (Ar Rahman)

Selama ini mungkin aku kurang bersyukur, atau aku terlalu sering mengeluh. Maafkan aku ya Allah.

Aku pun melihat sebuah iklan lowongan pekerjaan untuk menjadi sebuah pelayan di sebuah restoran terkenal. Aku memutuskan langkah menuju sumber harapanku. Bersama iringan doa dan semangat, aku percaya Allah SWT selalu disampingku. Aku mantapkan hati. Dan mulai berjalan. Ibu, doakan anakmu, ucapku dalam hati. Ku lihat di seberang jalan aku menapak, rumah itu. Rumah impian Ibu. Ibu, aku akan persembahkan itu untuk ibu, bisikku berlalu.

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku diterima. Aku kerja. Aku bisa membahagiakan Ibu. Aku, aku bisa membeli rumah itu. aku terus berujar dalam hati untuk meluapkan kegembiraanku. Aku merasa kehidupanku akan membaik sesaat setelah aku diterima oleh restoran ternama itu. Aku bergegas menuju tempat kerjaku yang kedua, sebuah proyek bangunan. Pekerjaanku sebagai buruh belum selesai. Ingin rasanya aku bergegas pulang ke rumah. Namun, aku harus bekerja. Ibu, tunggu kabar baik dariku, ucapku dengan senyuman.

Hari ini aku bertugas untuk memikul bersak-sak semen lalu membuat olahannya menjadi siap pakai. Aku mengerjakannya sepenuh hati. Aku berharap pekerjaan ini cepat selesai. Dan aku mempercepat kerjaku. Namun, selagi aku mengerjakan tugasku, samar-samar aku mendengar teriakan.

''ADI !! AWAS !!''

dan aku mendengar bunyi bedebum keras. Dan semua menjadi gelap.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku mendengar sebuah ucapan lembut seseorang yang membangunkanku. Dimana aku? Ibu? Bagaimana dengan Ibu? Sinar mentari menusuk mataku. Aku mencoba bangun. Kepalaku sakit, sakit sekali. Aku melihat ke cermin ruangan itu. Kepalaku diperban, sementara aku masih memakai pakaianku sama seperti saat kejadian itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku hanya mendapati diriku terlentang dalam sebuah ruang putih bersih. Bau obat langsung menyambut diriku.

''Kamu sudah siuman?'' tanya pria dengan stetoskop di lehernya.

Aku mengangguk, kemudian bertanya. ''Apa yang terjadi? Dimana aku?''

''Kamu di puskesmas pelangi. 3 hari yang lalu, satu sak semen jatuh di kepalamu saat kamu sedang bekerja. Benturannya cukup keras sehingga kamu tidak sadarkan diri selama 2 hari. Namun secara keseluruhan kamu baik-baik saja.''

Aku diam sebentar, kemudian tersadar. Dua hari, selama itukah? Ibu ! Pekerjaanku ! Aku tersadar dan kemudian beranjak.

''terima kasih dok, saya harus pergi sekarang!''

aku pun bergegas pergi menuju rumah dan mendapati Ibuku masih terbaring lemah. Apakah ibu tahu, pikirku. Siapa yang merawat Ibu 2 hari ini?. Pertanyaan-pertanyaan itu yang semakin membuatku gelisah.

''Bu, Ibu sudah makan?''

Ibu menggeleng.

''Ya sudah, Ibu tunggu sebentar ya. Adi belikan makanan dulu untuk Ibu.''

Aku pun meninggalkan rumah dan membeli nasi tempe buat Ibu. Lalu aku kembali ke rumah.

''Ini, Bu. Adi sudah belikan makanan. Ibu makan ya. Adi suapin.''

Ibu diam.

''Bu, bangun bu. Makan dulu.'' kataku sambil menggetarkan tubuh Ibu.

Ibu tidak bereaksi. Hanya diam dan menutup mata. Nafasnya tersengal-sengal, beradu dengan waktu. Aku panik. Aku khawatir. Aku bingung. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku.. Bodoh, pikirku. Aku bergegas menaruh Ibu dalam pangkuanku. Lalu ku gotong Beliau menuju rumah sakit terdekat. Ibu harus selamat, pikirku. Harus! Ibu harus bertahan untuk Adi, Bu. Ucapku pedih.

Orang-orang hanya melihatku kasihan tanpa bisa berbuat apa-apa. Bahkan sebagian dari mereka merasa jijik dan aneh melihat seorang pria lusuh menggendong seorang wanita paruh baya yang sama lusuhnya. Aku kembali melewati rumah impian Ibu.

''Bu, lihat, ini rumah yang kita impikan bu. Lihat ! Adi sudah mendapat pekerjaan. Dan mungkin setahun lagi kita bisa menempati rumah ini, Bu. Untuk itu Ibu harus bertahan ya. Ibu mau kan tinggal disini nemenin Adi.''

Orang-orang mendapatiku menangis. Berlinangan air mata sebelum aku kembali berjalan. Rumah sakit seakan terus menjauh. Rasanya aku sudah tak sanggup. Namun, aku melihat Ibu. Dan aku seakan mendapat semangat dari ibu. Aku terus berjalan. Aku mulai berpikir, apakag tak seorang pun yang ingin menolongku? Apakah sebegitu egoiskah orang-orang di ibu kota? Apakah tidak ada seorang pun yang peduli? Pertanyaan-pertanyaan itu terus membayangiku hingga suatu saat aku merasakan hembusan nafas Ibu semakin pelan. Pelan dan nyaris tidak ada. Aku mempercepat langkahku. Namun aku berhenti. Aku berhenti di sebuah taman kota. Aku sebenarnya tidak ingin berhenti. Tapi ada yang menahanku. Aku merasakan hembusan nafas Ibu sudah tidak ada. Aku bingung. Aku merasakan ada yang hilang. Ibu. Entah aku refleks berteriak.

''IBU!! Jangan tinggalin Adi, Bu! Adi sayang dengan Ibu. Adi belum sempat ngebahagiain Ibu. Bagaimana dengan rumah kita, Bu? Ibu, bangun. Ibu, buka mata Ibu. IBU!!''

aku terus berteriak sambil menangis terisak. Tak ku pedulikan orang-orang yang melihat ke arahku. Lalu, aku kembali menggendong Ibu menuju rumah sakit. Aku kembali berharap pada Yang Maha Pemilik Nyawa Manusia. Hingga tiba aku di rumah sakit, aku menyuruh perawat untuk membawa Ibuku untuk diperiksa. Aku kalut. Aku khawatir. Namun, dunia seakan mengejekku. Perawat itu seolah memandangku dengan sinis. Dan dia mengatakan bahwa semua harus dilakukan sesuai prosedur. Aku marah! Tidak lihatkah dia, Ibuku yang kugendong ini membutuhkan pertolongan. Dan aku harus berurusan dengan sejuta isian formulir dan harus membayar sekarang! Persetan dengan biaya! Yang penting Ibuku harus selamat ! Aku pun menuliskan apa yang perawat itu minta. Ku lihat Ibuku dibawa ke ruang yang bertuliskan UGD. Setelah itu, perawat itu kembali dan menyodorkan sebuah kertas. Sepuluh Juta Rupiah. Aku tersentak, diam, terpaku melihat kertas kecil itu.

''Mb..mbak.. Ini bi..biayanya.. sebe..besar ini?'' tanyaku tergagap.

''iya, dan bila anda belum membayar sampai pukul 12 siang ini, maaf kami belum bisa mengambil tindakan.''

Bagai petir disiang bolong, hal itu menyambarku. Aku marah pada rumah sakit ini. Aku marah ! Aku kecewa. Aku pun berlari keluar dari rumah sakit itu. Darimana aku mendapat uang sebesar itu? Kami tidak punya sanak saudara disini. Aku galau, kalut. Lalu aku mengingat bahwa aku diterima kerja di restoran terkenal itu. Mungkin aku bisa pinjam uang, pikirku. Aku lalu bergegas. Waktuku tinggal 1 jam lagi. Aku belarian di trotoar jalan Jakarta. Aku terus berlari hingga saat aku tiba di restoran tersebut dan menemui pemiliknya.

''Mana mungkin saya bisa percaya dengan kamu ! Kamu juga tidak pernah bekerja disini ! Kemarin memang kamu saya terima ! Namun, kamu tidak datang dan itu saya anggap kamu mengundurkan diri !'' kata pemilik restoran tersebut.

''Tapi pak, saya mohon. Ibu saya berada di rumah sakit sekarang. Dia kritis, pak!'' aku memohon.

''Persetan dengan ibumu ! Siapa kamu? Sampah ! Pergi kamu !''

Aku kecewa. Harapanku musnah. Hancur. Aku kecewa dengan Tuhan. Kenapa dia memberiku semua cobaan ini. Aku marah dengan Tuhan ! Dia jahat kepadaku.

''Tuhan, kenapa kau begitu jahat kepadaku ! Kau membuatnya sangat sulit ! Kau mengambil semua hal milikku ! Kau tidak adil ! Kau tidak ada ! Aku benci ! Aku benci pada-Mu !''

Aku bergegas menuju rumah sakit. Aku mengatakan semuanya mengenai aku tidak bisa membayar biayanya. Namun, ku dapati ternyata mereka menyambutku dengan ramah.

''Anda tidak perlu membayar apa-apa. Ibu anda sudah meninggal bahkan sebelum anda membawanya ke rumah sakit. Maaf.''

Aku terduduk. Diam. Pasrah. Marah. Dendam. Benci. Kecewa. Awalnya aku berharap ini cuma mimpi, ternyata ini realita. Realita yang pahit. Aku pun tertunduk lesu. Seketika aku berteriak.

''IBU !! Jangan tinggalin adi, Bu!! Adi sayang sama Ibu!'' aku berteriak sambil terisak.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Gundukan tanah merah baru ku tinggalkan. Awan gelap menyelimuti rumahku kala ku duduk tersudut. Langit seakan mengerti dengan menumpahkan semua tangisku ke dalam tetes-tetes air hujan. Aku kemudian beranjak dan duduk di tempat tidur ibuku. Aku melihat secarik kertas. Aku penasaran dan memutuskan untuk membuka. Perlahan-lahan aku buka lipatan kusam kertas itu. Aku melihat sebuah gambar rumah. Mirip seperti rumah ini, pikirku. Lalu kulihat ada dua orang yang sedang tersenyum, laki-laki dan perempuan. Di atas laki-laki tersebut ada tulisan namaku, Adi. Dan di atas gambar perempuan itu, aku melihat tulisan, Ibu. Terlihat senyum mengembang keduanya. tak terasa, aku menangis, tersimpuh. Aku menyadari kesalahanku. Ibu, maafkan aku.

------------------------------------------------------------------------

November setahun yang lalu.

''Ibu, bagus kan rumahnya?''

''Iya, Nak. Bagus sekali. Ada taman bunga di halamannya.''

''Ibu, pengen tinggal disini?''

''Iyalah, nak. Ibu pengen tinggal disitu. Rumahnya kelihatan nyaman.''

''Nanti, Adi belikan untuk Ibu. Mulai sekarang itu menjadi rumah impian ibu. Ya kan bu?''

''Iya, nak

Adi terlelap. Tidak mendengarkan ucapan ibu. Lalu, Ibu melanjutkan pembicaraannya.

''Memang Ibu pengen tinggal disitu. Tapi sebenarnya, nak. Rumah impian ibu adalah rumah ini yang telah membesarkan kita berdua. Dan rumah impian ibu adalah rumah yang diselimuti oleh kasih sayang kamu, nak. Ibu pengen disisa akhir hidup Ibu, kamu bisa nemenin Ibu setiap saat, setiap waktu. Itu rumah impian ibu.''

32 KM

Orang bilang jarak 32 KM tidak berarti apa-apa. Kita bisa pulang pergi menuju kampus dalam waktu kurang dari lima jam.

Aku tahu, dan aku paham.
Yang aku khawatirkan bukan tentang jarak di antara kita. Sama sekali bukan. Tapi tentang waktu yang selama ini terbuang untuk jarak sejauh itu. Waktu yang seharusnya bisa aku isi.. denganmu.

***

Namanya Putri. Seorang mahasiswi sistem informasi yang berhasil menarik hati Rido. Rido tidak tahu kapan dia suka dengan Putri. Yang jelas sudah sebulan ini Putri selalu ada di tempat Rido ada. Di kampusnya, di rumahnya, di langit-langit kamarnya, bahkan di tempat pribadinya sekalipun, sebuah ruang imaji warna putih, mimpinya.

Rido juga tidak tahu mengapa dia menyukai Putri. Yang jelas, dulu, Putri dan dia bergabung di satu komunitas, hingga jadi koordinator satu event yang sama. Kata pertama Putri ketika memanggil namanya jelas masih terngiang di telinganya.

Rido. Rido. Rido.

Dia mengulangnya tiga kali namun terasa puluhan ribu kali.

Rido juga tidak mengerti, bagaimana dia bisa menyukai Putri. Tidak ada yang spesial, bahkan jika kau mengharapkan adegan romantis mereka berdua, Rido akan terang-terangan menjawab bahwa membahas proposal event menjadi andalannya.

Rido merenggangkan tubuhnya yang keram akibat duduk terlalu lama.

Putri. Putri. Putri.
Tampaknya aku benar-benar sudah jatuh cinta.

***

"Put, aku mau ngomong sesuatu." Rido membiarkan Putri menyesap coklat panasnya sambil berusaha menyusun kalimat di otaknya.

Hari ini hari ke 32 Rido dan Putri saling kenal. Setelah dua hari lalu Rido meyakinkan bahwa dirinya jatuh cinta, maka ia tidak ingin galau terlalu lama. Dia memutuskan untuk menyatakan cinta pada Putri, cewek berjilbab yang sudah membuatnya bertekuk lutut.

Putri meletakkan cangkir di tangannya lalu menatap Rido sambil mengangkat satu alisnya. "Kamu mau nembak aku?"

Deg. Suasana hening sekaligus dingin menyelimuti mereka. Padahal ini jam 2 sore dan suasana kafe sangat ramai.

"Eng.. Anu.." jawab Rido gugup. Bisa-bisanya dia tahu. Apa dia bisa baca pikiran?

"Kalo kamu ngajakin aku keluar kosan sampe rela dateng 32 KM ke kampus padahal gak ada kuliah aku rasa kamu bakal nembak aku. Lagipula cuma aku yang deket dengan kamu satu bulan ini -"

"32 Hari," potong Rido cepat. Putri langsung menatap Rido dengan tatapan jangan-ngomong-lagi.

"Iya, 32 hari. Cuma aku yang ada di deket kamu TIGA PULUH DUA HARI ini," ujar Putri. Ia lalu menarik nafas sejenak lalu melanjutkan, "Jadi aku pikir gak mungkin ada cowok yang rela begitu kalo gak mau bahas urusan penting. Urusan kamu dan aku kan event yang udah selesai sepuluh hari lalu, jadi ya aku pikir urusan penting kamu ya mau nembak aku."

Rido diam membisu. Semua yang dikatakan malaikatnya itu benar. SEMUANYA.

"Dan kalo kamu diam seperti ini, aku rasa semua ucapanku tadi benar. Dan kalo ngeliat kamu gugup kayak gini, kita bakal sampe sore dan kamu gak ada bis buat pulang. Jadi -" Putri sengaja membuatnya menggantung. Dia melirik Rido di hadapannya tanpa ada tanda-tanda untuk menjawab.

"Jadi, ya. Aku mau jadi pacarmu." Putri lantas tersenyum. Senyuman yang paling indah yang pernah dilihat Rido seumur hidupnya. Senyuman yang sekarang jadi miliknya..

Rido akhirnya ikut tersenyum. Ini adalah hari paling membahagiakan di hidupnya.

***

"Hei, Put. Aku mau tanya," Rido membuka percakapan mereka di telepon malam itu. Rido dan Putri memang masih memanggil nama masing-masing. Walaupun sudah dua tahun ini mereka bersama, mereka masih nyaman dengan panggilan masing-masing.

"Nanya apa, Do?"

"Kamu pernah bosan?"

"Bosan apa?' tanya Putri heran.

Rido menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Ya bosan kayak gini."

"Hmm."

"Put.."

"Iya."

"Aku cuma mau tau aja, kok. Apa pernah kamu bosan? Kan kita gak kayak pasangan lain."

"Sama kok. Satu perempuan satu laki-laki. Sama saling mencintai."

"Bukan. Bukan itu maksudku. Apa kamu pernah bosan, kan aku gak bisa terus ketemu kamu. Paling juga di kampus. Trus kita jarang menghabiskan waktu sama-sama. Mungkin bisa dihitung pake jari selama dua tahun ini. Jadi, apa kamu pernah bosan?"

"Iya."

"Iya?"

"Iya aku kadang bosan. Tapi aku tahu keadaannya. Kita cuma berjarak 32 KM kok. Gak jauh. Dan aku udah bisa terima itu. Yang penting kamu sayang aku. Cukup."

"Kalo aku lebih jauh?"

"Aku gak yakin bisa sanggup. Melihatmu itu candu. Aku gak bisa seminggu gak liat kamu."

"Gombal." Rido terkekeh geli.

"Ye, serius. Kan kamu yang hobi gombal. Kamu kan rajanya." Putri ikut tertawa.

"Put," panggil Rido setelah tawanya berhenti.

"Ya?"

"Aku sayang kamu."

"Aku tahu."

***

"Aku ke sana ya. Kamu tunggu." Rido memacu cepat motornya di jalanan. Tidak ada yang ia pikirkan. Yang ia tahu, Putri sakit dan butuh pertolongan. Meski Putri bilang baik-baik saja, Rido tidak mendengarkan. Dia tidak ingin gadisnya itu kesusahan.

Rido menerobos tirai hujan yang membasahi jalanan Palembang-Inderalaya dengan cepat.

80 KM/h

85 KM/h

100 KM/h

120 KM/h

Brak! Terdengar suara dentumam keras.

***

Putri bangkit dari tempat tidurnya. Dia melirik jam di meja belajarnya. 19.00.

Sudah tiga jam, Putri mendesah. Sudah tiga jam seharusnya Rido sampe ke sini. Sudah tiga jam.

***

Hei, apa kabar, sayang. Wah sejak kapan aku memanggil kamu sayang ya Put. Tapi gak apa-apalah. Sekali-kali. Hehehe.

Kalo kamu baca surat ini, berarti kita udah berpisah jarak lebih dari 32 KM ya. Sekarang berapa jaraknya? Kamu bisa bantu hitung? :p

Aku bercanda. Aku tahu kamu pasti bingung, kok aku buat surat ini. Hehehe. Sejak percakapan kemarin aku pikir, gimana kalo kamu dan aku jaraknya jauh. Kamu kerja di mana. Aku di mana. Jadi aku mau buat surat ini sebagai pengganti kalo kamu kangen aku. :p

Aku sayang kamu, Put. Jarak berapapun di antara kita, aku yakin kita bisa sama-sama. Ya kecuali kalo aku mati ya. Hahaha.

Ya, kalaupun aku mati, aku ada di samping kamu kok. Tapi kamunya yang harus jaga jarak sama aku. Kamu mau pacaran sama hantu? :p

Haduh. Aku mulai ngelantur. Yaudah daripada kesana kesini mending aku sudahi saja ya.

Put,
Aku sayang kamu.

***

Putri menggenggam surat itu keras. Air matanya jatuh menetes di gundukan tanah merah di hadapannya. 

Aku juga sayang kamu. Aku tahu kamu sekarang ada di dekatku.

Kapan Putus?

"Gue gak bisa, Ya. Gue ada acara penting jadi gue gak bisa nemenin lo ke tempat Adrian. Lagipula kita kan cewek. Masa mau ke kosan dia tengah malem?"

"Tapi, Ty. Dia ulang tahun besok. Aku mau ngasih kejutan ke dia. Ayolah, kamu kan sahabat aku."

"Gak bisa. Beneran. Gue ada urusan penting. Besok pagi aja gimana? Gue temenin. Suer."

"Okay. Thanks, Ty. Kamu memang sahabat aku."

Klik. Sambungan telepon terputus.

"Siapa?"

"Biasa. Gak penting. Sekarang.. Selamat ulang tahun ya, Adrian sayang," kataku sambil memeluk tubuh laki-laki di balik selimut tempat tidurku.

"Dan, kapan putus?" tanyaku pada detik selanjutnya.

Benda Masa Lalu

"Jangan sampai masa lalumu merusah masa depanmu. Selagi sempat, buanglah kenanganmu itu."

Aku tidak mempercayai kata-kata ibu. Setidaknya sebelum lima menit dari sebelum ini.

"Kita cerai!"

Dua kata itu masih terngiang di benakku. Dua kata yang keluar dari bibir manis yang kukecup satu jaw ini.

Aku masih terpaku ketika lelakiku berangsur memasukkan barang-barangnya ke dalam koper. Tersadar sebentar, aku lalu berlari menghambur ke hadapannya.

"Kenapa, Di?" Aku meraung-raung. Aku merasa tidak ada yang salah dari tadi.

"PERGI! AKU JIJIK. MULAI SEKARANG KAMU, YANI, JANGAN PERNAH KETEMU AKU LAGI."

Lelakiku itu kemudian pergi ke luar rumah. Sedang aku menangis, tak tahu apa yang terjadi. Padahal kami baru menikah hari ini. Seharusnya...

Di depan pintu rumah, dia berhenti lalu melempar sesuatu ke arahku. Dua kartu persegi yang aku tahu jadi alasan semua ini.

KTP :

NAMA : MULYONO
JENIS KELAMIN : PRIA

KTP :

NAMA : MULYANI
JENIS KELAMIN : WANITA

Benda masa lalu, aku tahu ibu.

(Cerita) Resep Rahasia

"Dunia itu seperti papan tulis putih, Bim. Jika ada satu titik hitam di permukaannya, orang akan cenderung melihat itu."

Kamu membuka percakapan itu pada satu senja. Hujan dan sepiring nasi goreng yang membuat kita terdampar di sudut warung tenda petang ini. Tidak ada warna jingga, hal romantis juga tiada, tapi perbincangan kita lebih seru dari hal picisan semacam itu.

Kita bercerita tentang diri kita masing-masing. Tentang obsesimu untuk jadi sepertiku, dan tentang cerita sunyi obsesiku untuk memilikimu.

"Aku ingin jadi penulis."

Ya aku tahu. Aku tahu kegemaranmu menulis catatan-catatan kecil di note ponselmu. Bahkan tadi aku curi-curi lihat isinya yang masih sama. Setahun ini setidaknya.

"Kenapa?"

Sungguh, aku bertanya. Buat apa menjadi seorang penulis yang hanya bisa memainkan kata namun tidak pandai bersuara. 

"Jadi sepertimu. Aku ingin jadi sepertimu. Tulisanmu begitu hidup. Aku suka."

Hidup? Tidakkah kamu tahu, menulis ini seperti membohongi diri sendiri. Memainkan dua tokoh klasik dan membuatnya jatuh cinta dan hidup bahagia. Sementara aku, tidak mendapat itu.

"Oh ya? Jangan memuji."

Aku tidak suka pujian itu. Pujian yang ditujukan hanya pada tulisanku. Bukannya.. aku. 

"Aku tidak bercanda. Aku ingin bisa menulis sepertimu. Ajari aku."

Ini sudah ketujuh kalinya kamu minta seperti itu. Selama ini aku bergeming, tidak memberikan resep rahasia kepadamu. Tapi apakah kali ini aku menyerah pada senyuman yang membuatku sulit menolak?

"Benar-benar ingin belajar?"

"Ya. Aku ingin tahu resepnya."

"Serius?"

"Ya."

"Kalau begitu patah hatilah. Seperti aku yang patah hati melihatmu dengannya. Seperti aku yang terus jadi tempatmu berbagi sebatas teman saja. Patah hatilah. Lalu menulislah."

Aku berlalu. Ya, patah hatilah. Tulisanku selama ini tentangmu. Patah hati karenamu.


Dia, gadis penyuka langit merah.

1.

Dia,
gadis penyuka langit merah.
Duduk di taman dengan buku yang terbuka.

Halaman pertama,
dia menulis tentang kata yang mencipta,
erat dua manusia.

Halaman kedua,
jari-jari lentiknya menarikan kata-kata,
merajut pelan-pelan dengan rasa.

Halaman ketiga,
penanya berhenti berdansa di sebuah nama,
bibirnya tersenyum ceria.
Di bagian akhirnya,
sebuah hati sudah tergambar penuh makna,
cinta?


2.

Dia,
yang duduk menunggu senja,
tenggelam di taman dengan buku yang terbuka.

Kehabisan kata-kata pada halaman-halaman selanjutnya.
Mantera-mantera cinta sudah dia torehkan,
pada lembar-lembar putih yang tak berdosa.

Dia,
benar-benar, 
jatuh cinta.


3.

Dia, 
yang tak sempat mencumbu jingga.

Dengan langkah tegap seorang pria menggantikan sebuah pena,
masuk ke jari-jarimu yang lentik.
Buku terbuang dengan percuma,
tanpa pertanda, 
dia berubah.

4.

Dia,
yang membanjiri langit dengan air mata.

Tak ada lagi langitnya yang memerah.
Langit samar,
abu-abu kehitaman.
suram.

Tak ada lagi jari-jari yang saling menggenggam,
hanya pedih teriris sepi pada dahan-dahan yang mencumbu hujan.
Dia kehilangan,
dua hal paling berharga dalam hidupnya,
mahkota dan sebuah harga,
dirinya.

Penanya tertawa gembira,
dia menuliskan lagi coretan pada buku usang,
ke halaman berikutnya,
berikutnya,
berikutnya,
berikutnya,
berikutnya,
berikutnya,
berikutnya,
hingga halaman terakhir hanya satu kata,
nama kekasih yang mengkhianatinya.


5.

Hujan turun,
deras sekali.

Dia,
yang menginginkan langit merah.

Bukunya tergeletak sewarna hatinya yang membara,
dia tergeletak,
dengan pena yang menancap tepat di urat nadinya.

Dia,
menemukan sendiri merahnya.




gambar diambil dari sini



Prawedding

"Ah.." Kamu mendesah lalu berbaring di sofa di hadapanku.

Aku membetulkan posisi dudukku kemudian menatapmu. "Kenapa, Ra?"

"Ga ada yang beres, Bim."

"Ada masalah?"

Kamu lalu duduk menghadapku. Satu pasang mata kita bertemu. Mata yang teduh dan tidak berubah dari dulu. "Banyak, Bim. Katering katanya tidak bisa dipesan saat hari H. Mana Febri dinas ke luar kota mulu. Untung aja gedung udah fix."

Dering pesan singkat masuk ke ponselku. Aku mengetik balasan pesan yang masuk sambil tersenyum. Selanjutnya dering telepon masuk ke ponselmu. Kamu menjauh. Setelah 10 menit kamu kembali ke hadapanku dengan wajah sendu.

"AH. KENAPA SEKARANG TIBA-TIBA GEDUNG JUGA GAK BISA DIPAKAI? SEBENARNYA INI KENAPA?" isakmu.

Aku memegang dagumu lalu mengangkatnya hingga sekali lagi mata kita bertemu.

"Tiara.. Aku mencintaimu.."

***

Iya. Pokoknya batalkan semua acara di gedung itu tanggal 29 Oktober. Tenang saja, saya akan bayar lebih mahal.

CURHAT - Flash Fiction @NBCUNSRI



“Bu, bagaimana jika hubungan aku dan pasanganku macet? Gak jalan-jalan?”
“Ya, cari penyebabnya lalu bereskan.”
“Begitu?”
“Iya, masalah jangan dibiarkan berlarut-larut. Apalagi yang menghalangi kebahagiaanmu.”
“Jadi, aku harus bagaimana?”
“Benalu itu cepat dibuang, Sayang. Jangan dipelihara.”
“Oh.” Gadis itu lalu berjalan ke lemari di dekatnya. Setelah mendapat apa yang dia cari, dia lalu menatap ibunya.
DOR!
“Maaf, Bu. Aku jatuh cinta pada ayah tiriku.”

Bimo Rafandha (Rafandha)
T. Informatika
@bimorafandha

Perubahan


"Everything's change. So do I.." 

Kamu menatapku yakin, lalu menggenggam erat tanganku. Aku merasa ini seperti genggaman terakhir darimu.

"Mula-mula berat bagiku untuk berpisah denganmu. Harus jauh darimu. Menjalani hubungan lintas pulau seperti ini. Sangat berat, kau tahu..”

Aku diam. Bergeming.

"Tapi lama-kelamaan aku terbiasa. Aku biasa jika hidup tanpamu. Aku (masih) bisa tertawa bahagia. Aku membunuh semua tamu bernama rindu yang datang mengetuk pintu hatiku, yang membawa serta namamu. Aku bisa. Aku mampu melakukannya sendiri. Tanpamu.."

Aku tetap diam. Kurasakan genggaman di tanganku mengendur.

"Hanya satu yang aku tidak bisa..”

Aku (masih) diam. Walaupun di dalam hati, aku sudah ingin menangis. Aku, sekali lagi, ingin berharap kalau kamu.. tidak bisa berhenti mencintaiku. Aku harap itu.

"Hanya satu yang aku tidak bisa.. Aku tidak bisa menjaga hatimu yang telah kamu titipkan kepadaku." katamu melanjutkan.

Dadaku sesak. Aku tercekat, susah bernafas. Entah rasanya seperti tertimpa beban seberat ratusan ton yang langsung jatuh menimpa dada. Remuk.

"Aku menyesal. Tapi bukankah semua telah berubah? Semua tidak akan pernah sama. Aku, kamu, mereka, bahkan tempat ini. Semua berubah."

Aku menghela nafas. Gemuruh hati semakin menjadi. Aku melemparkan pandangan ke sekeliling tempat ini. Memang, semuanya telah berubah. Pohon-pohon yang ada di ujung jalan kini sudah berganti dengan gedung-gedung tinggi pencakar langit. Memang, semuanya tidak seperti dulu, tapi mengapa hatimu itu juga ikut berubah? Bukankah hati adalah subyek yang tidak bisa diukur, bahkan dengan satuan waktu? Pikiranku menari-nari.

"Ada satu yang tidak berubah." kataku sambil terpejam. Perlahan akhirnya air di sudut mataku mengalir. Aku berusaha melanjutkan.

"Ada satu yang tidak berubah. Perasaanku kepadamu. Tidak akan pernah berubah.."

"Tetap sama bahkan lebih, dari saat kamu memintaku untuk menanti.."

"Tetap sama bahkan lebih, dari saat aku dengan sabar memupuk asa hingga berbuah rindu.."

"Tetap sama bahkan lebih, dari setiap saat aku berharap kejamnya waktu cepat berlari agar kamu cepat kembali.."

"Tetap sama bahkan lebih. Tetap sama bahkan lebih dari dulu aku mencintaimu, kau tahu?"

Aku menarik nafas. Mengatur emosi. Namun badai di hati semakin keras mengoyak-ngoyak istana indah bernama mimpi. Aku tidak kuat, aku menyerah.

"Bukankah seharusnya rindu, yang bisa membawa kamu kembali seperti perasaan jatuh cinta (lagi)?" Tanyaku sambil menangis.

"Bukankah seharusnya rindu, yang membuatmu tidak sabar menanti waktu untuk kamu singgah (lagi) kesini?

"Bukankah seharusnya rindu, yang membuatmu meniti detik, memperhatikan jam, merajut hari hingga hari ini?

"Semua ini. Selama ini. Segalanya tentangmu. Semuanya untukmu. Kau tahu?"

Aku terisak. Tidak mampu lagi aku berkata. Kamu diam. Aku diam. Kita (berdua) bungkam. Aku mengusap air mata yang sedari tadi jatuh. 

"Maafkan aku, Kirana. Membuatmu menunggu selama ini. Aku tahu hari-harimu berat setelah kepergianku. Tapi aku, aku tidak bisa lagi bersamamu. Dulu kamu bilang bahwa kamu bisa hidup tanpa aku. Dan selama ini juga begitu. Sekarang lakukanlah lagi. Cari yang lebih baik. Maaf aku tidak bisa memaksa kehendakku sendiri. Aku sudah tidak cinta (lagi)." 

Kamu melepaskan genggaman di tanganku lalu bangkit berdiri. Perlahan kamu menjauh dan meninggalkanku. Sendiri.

***

Gaun Pengantin

"Bagaimana penampilanku?" Dinar memutar-mutar tubuhnya dengan anggun. Gaun putih yang dipakainya pun ikut mengembang cantik. 

"Cantik," komentarku pendek.

"Ah, Kirana. aku jelek, ya?" katanya sambil mengamati setiap detail gaun pengantinnya. 

Aku hanya bisa tersenyum melihat tawanya. "Nggak kok, kamu cantik. Serius."

"Aku gugup."

"Wajar, kan? Hari ini hari besarmu. Aku rasa bukan kamu saja yang gugup. Di.." kata-kataku tercekat pada sebuah nama. "Dimas juga pasti gugup," lanjutku sedikit dipaksakan.

"Ayo kita keluar. Semua tamu sudah menunggu," ajakku pada Dinar.

Kami berdua keluar dari ruang yang kelak menjadi kamar pengantin Dinar dan Dimas. Aku berhenti sejenak, mengamati ruangan itu. Dua bulan yang lalu, di ruangan ini, aku dan Dimas bersatu, tanpa sekat di tubuh. Benar-benar satu. Hingga saat aku tahu, Dimas adalah kekasih sahabatku. 

"Kirana, ayo!" Dinar memanggil namaku. Aku mengikutinya dari belakang. Dimas, aku tahu ini salah. Tapi aku akan tetap menunggumu. Ada hal yang harus kamu tahu, ada alasan bagimu tuk kembali, aku refleks memegang perutku yang mulai membuncit. 

Nak, lihatlah. Ayahmu menikah hari ini...

Bukan Milikmu Lagi

"AKU MASIH CINTA KAMU, DIANA." Kamu berteriak lantang tapi aku diam.

"AKU CINTA KAMU. TERUS. SELAMANYA," lanjutmu namun aku masih tetap diam.

Kamu berlutut di hadapanku, namun tetap tidak kugubris. Hah. Orang sepertimu yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang kamu mau, aku muak. Aku muak terus jadi milikmu.

Ku lihat orang-orang mulai ramai menghampiri kita. Orang berseragam coklat-coklat dan putih-putih. Aku ingin pergi. Aku tidak ingin jadi milikmu lagi.

"JANGAN BAWA DIANAKU! JANGAN BAWA!" Kamu memeluk tubuhku erat. Sangat erat. Orang-orang mulai terlihat panik, tak sedikit yang terlihat iba. Jangan lagi, aku tidak ingin melihat air matamu itu. Air mata buaya.

Orang-orang berseragam coklat memisahkan kamu dariku, lalu membawamu menjauh. Baguslah. Aku tidak ingin dekat-dekat denganmu.

"JANGAN! JANGAN PISAHKAN KAMI!! JANGAN! JANGAN SAKITI DIA!" katamu sambil berteriak. Aku tidak menghiraukannya. Orang-orang mulai membantuku keluar dari ruangan rumah tua ini. 

Selamat tinggal, Dit. 
Kau harus tahu, kau takkan selalu bisa punya apa yang kau inginkan..
Dadah.
Aku pergi~

***

WartaDunia, 5 September 2012

Seorang mahasiswi yang diduga hilang tiga tahun lalu ditemukan di sebuah rumah tua sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Dia dibunuh kekasihnya. Jasadnya kemudian diawetkan dengan formalin. Diduga, kekasihnya memiliki gangguan kejiwaan.