Prawedding

"Ah.." Kamu mendesah lalu berbaring di sofa di hadapanku.

Aku membetulkan posisi dudukku kemudian menatapmu. "Kenapa, Ra?"

"Ga ada yang beres, Bim."

"Ada masalah?"

Kamu lalu duduk menghadapku. Satu pasang mata kita bertemu. Mata yang teduh dan tidak berubah dari dulu. "Banyak, Bim. Katering katanya tidak bisa dipesan saat hari H. Mana Febri dinas ke luar kota mulu. Untung aja gedung udah fix."

Dering pesan singkat masuk ke ponselku. Aku mengetik balasan pesan yang masuk sambil tersenyum. Selanjutnya dering telepon masuk ke ponselmu. Kamu menjauh. Setelah 10 menit kamu kembali ke hadapanku dengan wajah sendu.

"AH. KENAPA SEKARANG TIBA-TIBA GEDUNG JUGA GAK BISA DIPAKAI? SEBENARNYA INI KENAPA?" isakmu.

Aku memegang dagumu lalu mengangkatnya hingga sekali lagi mata kita bertemu.

"Tiara.. Aku mencintaimu.."

***

Iya. Pokoknya batalkan semua acara di gedung itu tanggal 29 Oktober. Tenang saja, saya akan bayar lebih mahal.

CURHAT - Flash Fiction @NBCUNSRI



“Bu, bagaimana jika hubungan aku dan pasanganku macet? Gak jalan-jalan?”
“Ya, cari penyebabnya lalu bereskan.”
“Begitu?”
“Iya, masalah jangan dibiarkan berlarut-larut. Apalagi yang menghalangi kebahagiaanmu.”
“Jadi, aku harus bagaimana?”
“Benalu itu cepat dibuang, Sayang. Jangan dipelihara.”
“Oh.” Gadis itu lalu berjalan ke lemari di dekatnya. Setelah mendapat apa yang dia cari, dia lalu menatap ibunya.
DOR!
“Maaf, Bu. Aku jatuh cinta pada ayah tiriku.”

Bimo Rafandha (Rafandha)
T. Informatika
@bimorafandha

Perubahan


"Everything's change. So do I.." 

Kamu menatapku yakin, lalu menggenggam erat tanganku. Aku merasa ini seperti genggaman terakhir darimu.

"Mula-mula berat bagiku untuk berpisah denganmu. Harus jauh darimu. Menjalani hubungan lintas pulau seperti ini. Sangat berat, kau tahu..”

Aku diam. Bergeming.

"Tapi lama-kelamaan aku terbiasa. Aku biasa jika hidup tanpamu. Aku (masih) bisa tertawa bahagia. Aku membunuh semua tamu bernama rindu yang datang mengetuk pintu hatiku, yang membawa serta namamu. Aku bisa. Aku mampu melakukannya sendiri. Tanpamu.."

Aku tetap diam. Kurasakan genggaman di tanganku mengendur.

"Hanya satu yang aku tidak bisa..”

Aku (masih) diam. Walaupun di dalam hati, aku sudah ingin menangis. Aku, sekali lagi, ingin berharap kalau kamu.. tidak bisa berhenti mencintaiku. Aku harap itu.

"Hanya satu yang aku tidak bisa.. Aku tidak bisa menjaga hatimu yang telah kamu titipkan kepadaku." katamu melanjutkan.

Dadaku sesak. Aku tercekat, susah bernafas. Entah rasanya seperti tertimpa beban seberat ratusan ton yang langsung jatuh menimpa dada. Remuk.

"Aku menyesal. Tapi bukankah semua telah berubah? Semua tidak akan pernah sama. Aku, kamu, mereka, bahkan tempat ini. Semua berubah."

Aku menghela nafas. Gemuruh hati semakin menjadi. Aku melemparkan pandangan ke sekeliling tempat ini. Memang, semuanya telah berubah. Pohon-pohon yang ada di ujung jalan kini sudah berganti dengan gedung-gedung tinggi pencakar langit. Memang, semuanya tidak seperti dulu, tapi mengapa hatimu itu juga ikut berubah? Bukankah hati adalah subyek yang tidak bisa diukur, bahkan dengan satuan waktu? Pikiranku menari-nari.

"Ada satu yang tidak berubah." kataku sambil terpejam. Perlahan akhirnya air di sudut mataku mengalir. Aku berusaha melanjutkan.

"Ada satu yang tidak berubah. Perasaanku kepadamu. Tidak akan pernah berubah.."

"Tetap sama bahkan lebih, dari saat kamu memintaku untuk menanti.."

"Tetap sama bahkan lebih, dari saat aku dengan sabar memupuk asa hingga berbuah rindu.."

"Tetap sama bahkan lebih, dari setiap saat aku berharap kejamnya waktu cepat berlari agar kamu cepat kembali.."

"Tetap sama bahkan lebih. Tetap sama bahkan lebih dari dulu aku mencintaimu, kau tahu?"

Aku menarik nafas. Mengatur emosi. Namun badai di hati semakin keras mengoyak-ngoyak istana indah bernama mimpi. Aku tidak kuat, aku menyerah.

"Bukankah seharusnya rindu, yang bisa membawa kamu kembali seperti perasaan jatuh cinta (lagi)?" Tanyaku sambil menangis.

"Bukankah seharusnya rindu, yang membuatmu tidak sabar menanti waktu untuk kamu singgah (lagi) kesini?

"Bukankah seharusnya rindu, yang membuatmu meniti detik, memperhatikan jam, merajut hari hingga hari ini?

"Semua ini. Selama ini. Segalanya tentangmu. Semuanya untukmu. Kau tahu?"

Aku terisak. Tidak mampu lagi aku berkata. Kamu diam. Aku diam. Kita (berdua) bungkam. Aku mengusap air mata yang sedari tadi jatuh. 

"Maafkan aku, Kirana. Membuatmu menunggu selama ini. Aku tahu hari-harimu berat setelah kepergianku. Tapi aku, aku tidak bisa lagi bersamamu. Dulu kamu bilang bahwa kamu bisa hidup tanpa aku. Dan selama ini juga begitu. Sekarang lakukanlah lagi. Cari yang lebih baik. Maaf aku tidak bisa memaksa kehendakku sendiri. Aku sudah tidak cinta (lagi)." 

Kamu melepaskan genggaman di tanganku lalu bangkit berdiri. Perlahan kamu menjauh dan meninggalkanku. Sendiri.

***