[Review] Heart and Soul - Windhy Puspitadewi

Heart and Soul
Penulis : Windhy Puspitadewi (@Windhy_Khaze)
Ukuran : 13 x 19 cm
Tebal     : viii + 336 hlm
Penerbit: GagasMedia
ISBN      : 979-780-750-9

Blurb:
Bagi Erika, harapan telah lama menjelma luka. Saat Ayah pergi, meninggalkan ia dan Ibu, Erika tahu, tak boleh lagi menggantung harap—bahkan untuk sekadar menunggu. Ayah tak pernah kembali. Ia buang jauh-jauh cinta dari semua sisi hati.

Cinta datang dengan luka. Itu yang ia pelajari. Namun, ketika seseorang dengan lagu kenangan itu datang, ada resah yang Erika rasakan. Membuat ia mulai bertanya-tanya, benarkah hidup tak melulu tentang luka dan kesedihan?

Benarkah cinta bukan hanya tentang akhir bahagia, melainkan juga bagaimana kita menemukannya?

Erika tak ingin mencari jawabnya, tetapi laki-laki itu datang dan memberikan bukti nyata. Namun, Erika tahu ia harus bisa memastikan, benarkah dirinya tak akan lagi terluka.
***

[Cerpen] (Un)Finished



(Un)Finished
Rafandha

Forest Gump mengatakan, 'Life was like a box of chocolate. You never know what you’re gonna get.' Mungkin itu adalah kata-kata yang tepat bagi kehidupan Rizki. Ia sama sekali tidak menyangka akan jadi seperti ini, hidup di ibukota bahkan menjadi pegawai kementrian. Dulu, baginya, bersekolah hanya menjadi angan-angan. Ia terlalu takut bermimpi untuk itu. Hingga akhirnya, dua tahun kemudian, keajaiban itu datang menghampirinya. Tiga tahun setelahnya, ia diterima di salah satu sekolah kementrian di Jakarta.
Rizki mendesah lalu melihat kotak berwarna biru tua yang terletak di hadapannya. Kotak itu datang kemarin, mengarah langsung ke alamat tempatnya tinggal. Ia sama sekali tidak mengetahui apa itu hingga ia membukanya dan melihat tulisan ‘Christine & Derry’ di dalamnya.
Perlahan namun pasti, pintu itu membuka lebar. Beribu kenangan menyeruak masuk tanpa henti dan membuat perutnya mual. Ini sudah enam tahun sejak ia meninggalkan Surabaya, beradu nasib di Jakarta. Sejauh mungkin ia berusaha melupakan semua hal yang berada di sana. Bukan karena ia tidak suka, namun, lebih kepada karena ada satu-satunya hal yang belum selesai di sana. Perasaannya. Juno.
“Apa yang kau pikirkan?”
Rizki sontak menoleh ke arah sumber suara. Ia melihat seorang wanita menghampirinya.
“Tidak ada,” jawabnya sambil berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum. Ia lalu mengambil cangkir kopi lalu menyesapnya, merasakan rasa pahit yang perlahan mampir di lidahnya.
Wanita itu mengambil tempat duduk di hadapannya lalu menyunggingkan senyum. “Perasaanku mengatakan bahwa kau berbohong. Dan orang-orang bilang bahwa perasaan—apalagi perasaan seorang wanita—tidak pernah bohong.”
Rizki menelan ludah. Dia bisa merasakannya.
Entah sudah berapa kali wanita itu bisa merasakannya. Dan Rizki selalu merasa bahwa ia tampak begitu transparan jika berada di hadapannya. Wanita itu, Dessy, satu-satunya orang yang membuat pria itu kembali berani membuka hati.
“Jadi, apa?” tanya Dessy lagi.
Pria itu menyodorkan sebuah kotak berwarna biru gelap. Dessy mengambilnya lalu membuka.
“Undangan pernikahan Christine dan Derry,” wanita itu membacanya pelan-pelan lalu menatap mata Rizki dengan dahi berkerut. “Aku tak pernah tahu ada temanmu yang bernama Christine dan Derry.”
“Teman SMA-ku,” jawab Rizki singkat lalu melemparkan pandangannya ke arah jalan.
“Di Surabaya?”
Rizki mengangguk.
“Mau datang?”
Deg. Sejujurnya hal inilah yang mengganjal pikirannya. Jika Rizki datang maka ia pasti akan bertemu dengannya. Juno.
“Kau mau ikut?” Rizki balik bertanya lalu melihat Dessy menyesap tehnya yang entah kapan ia pesan.
Dessy mengerlingkan matanya. “Memangnya aku boleh ikut?”
Pria itu mendadak terdiam. Lidahnya kelu. Ia sama sekali tidak bisa membayangkan jika nantinya Dessy akan bertemu dengan Juno.
Membaca situasi, Dessy kembali berujar, “Tampaknya aku tetap tidak bisa ikut. Tanggal segitu aku lagi dinas ke luar kota. Nggak apa-apa kan kalau kamu sendiri? Atau aku batalin aja dinasku?”
Pria itu mendadak merasa tidak enak. “Nggak apa-apa.”
“Aku yakin, ini bukan tentang undangan ini,” kata Dessy lalu menghela napas panjang.
“Eh?”
“Ini lebih dari sekadar undangan. Ya, kan?” tebaknya.
Rizki ikut-ikutan menghela napas panjang. Ia memang tak bisa berbohong di hadapan Dessy. “Aku belum menceritakan semuanya tentangku padamu.”
Selama ini, Rizki menutup semua masa lalunya dan tidak menceritakan apapun kepada siapapun. Bahkan Dessy. Dan ia merasa, sudah waktunya ia membukanya.
Dessy mengambil tangan Rizki, menggenggamnya erat. Sangat erat. “Sesungguhnya, aku ingin mendengarnya. Namun, aku rasa bila kau tidak merasa nyaman, maka aku tidak akan menanyakannya. Bagiku, kau ada di sini saja sudah cukup.”
“Tidak apa-apa,” ujar Rizki sambil tersenyum. “Aku akan menceritakannya padamu.”
Setelah ia berkata seperti itu, bergulirlah kisah tentang masa lalunya. Masa sekolahnya. Agus, Christine, Derry, Arma, dan terakhir Juno. Dessy memerankan perannya dengan baik. Ia hanya diam saja, berusaha menjadi pendengar yang baik.
“Kau masih mencintainya?” tanya Dessy setelah kisah Rizki berakhir.
“A—aku tidak tahu. Hanya saja, ada yang mengganjal. Kau tidak marah?”
Dessy tersenyum. “Nggak. Sama sekali nggak. Kalau kecewa, pasti.”
Rizki menunduk, merasa bersalah. “Maafkan aku.”
“Kau tidak perlu meminta maaf. Bagiku, kau melakukan hal yang benar,” ucap Dessy menenangkan.
“Aku tidak akan pergi ke sana,” tiba-tiba pria itu memutuskan.
“Menurutku kau harus pergi. Kau harus menyelesaikan apa yang sudah ada sejak dulu. Karena dengan begitu, kau akan memandang masa lalu dengan senyuman. Bukan ketakutan.”
“Tapi, kau—”
“Aku tidak apa-apa. Aku percaya padamu,” tutup Dessy sambil tersenyum
Rizki dapat melihat keseriusan di wajah Dessy. Dan inilah yang ia suka dari wanita itu. Perlahan namun pasti, Rizki menarik ujung-ujung bibirnya, tersenyum. Dan tulus.
“Terima kasih,” ucapnya dengan nada bergetar.
Sebagai balasan dari kata-kata itu, Dessy semakin melebarkan senyum.
*
Seperti yang dapat ia duga, pertemuan dengan Juno sama sekali tidak mudah. Ia akhirnya menemukan jawabannya, lewat sebuah surel yang ia terima. Arma pun ikut memberikan nasihat.
Handphone Rizki tiba-tiba berbunyi. Rizki berusaha mengendalikan dirinya sebelum mengangkatnya. Dia membaca nama yang tertera di layarnya. Dessy.
“Halo?” jawab Rizki.
“Halo? Rizki, kamu kenapa?”
“Eh... nggak apa-apa, cuma sedikit flu,” Rizki berbohong.
“Eh? Flu? Nggak apa-apa? Sudah ke dokter?”
“Nggak apa-apa, kok,” kata Rizki. “Cuma flu ringan. Ngomong-ngomng ada apa?”
“Nggak ada apa-apa,” jawab Dessy. “Hanya saja tiba-tiba perasaanku nggak enak jadi aku meneleponmu. Aku khawatir terjadi sesuatu.”
Rizki tertunduk. Dia bisa merasakannya.
“Mmm. Kalau ternyata tidak terjadi sesuatu, aku tutup ya teleponnya.”
“Des!” cegah Rizki.
“Umh?”
“Aku...”
“Ya?” Dessy masih sabar menunggu kelanjutan kalimatnya.
“Aku mencintaimu,” kata Rizki akhirnya.
“Aku juga.”
KLIK.
Tepat saat telepon ditutup, playlist sampai pada lagu One Day in Your Life.
Rizki tertunduk di kursi. Dan mulai menangis. [1]
*

 [1] Scene terakhir diambil langsung dari novel Seandainya. 
 [2] Cerita ini diikutkan dalam giveaway Heart and Soul dari Windhy Puspitadewi dan @fiksimetropop