Choice..


"By Choice We Became Friends"

Ada lebih dari sekedar alasan sibuk ketika aku memutuskan untuk mematikan ponsel sejak malam mulai terkembang kemarin. Aku letih. Dengan semua. Letih membuka mulut dan berpura-pura semua baik-baik saja. Dengan senyum merekah di bibir tapi tidak di mataku. Aku hanya mau menghabiskan akhir pekan ini sendiri, untuk sendiri dan bukan hanya menjadi diri sendiri. Dan untuk itu semua, terputuslah kontakku dengan semua makhluk bernama manusia di pulau kerdil ini. Satu hal yang terpikir ketika tanganku menekan tombol merah kecil itu, bagaimana jika ada teman yang mencariku? Tak perlu bertanya tentang orangtua, mereka selalu tau bagaimana menemukanku walaupun ke lubang kurcaci. Keputusan bulat ketika aku menyadari bahwa teman yang ingin aku temui di hari tenang ini adalah teman yang tahu kemana dan bagaimana untuk menemukanku. That’s it. And say good bye to the world.

Walaupun terkadang terselip tanyaku, apa akan ada teman yang mencariku? Ah, naif. Bukan itu pertanyaannya, apa akan ada seseorang, siapapun yang menyadari ketiadaanku? Entah kenapa, aku merasa tidak akan ada. I don’t think so. "It is by chance we met. By choice we became friends." Seorang bijak, entah siapa, pernah berkata. Membacanya, aku terpusar ke masa lalu. Apa aku melewatkan semua kesempatan yang ada untukku? Apa aku tak pernah memilih untuk memilih menjadi teman?

Tentu tidak, aku tahu pasti itu. Seorang laki-laki kecil dengan kacamata dan rambut plontosnya membuktikan itu 8 tahun yang lalu. Dan beberapa orang lagi di tahun-tahun setelahnya.

It takes two to tango. Dalam apapun. Itu mengapa seorang bijak tadi berkata by choice we became friends, bukan by choice you became friend. Juga saat-saat itu. Kami memilih untuk itu. Kami membawa lilin- lilin persahabatan untuk bersama menerangi jalan di depan kami. Kami memilih untuk menjadi teman. Sampai saat aku menyadari nothing last forever. Secara fisik setidaknya. Ketika satu persatu semua orang yang naik bis yang sama denganku mulai berganti bis sesuai dengan tujuan masing-masing meninggalkanku, atau ketika aku yang harus berganti bis meninggalkan orang- orang lain yang masih di sana. Aku muak dengan rutinitas itu. Kekanakan? Terlalu melankolis? Memang. Di satu sisi. Di sisi lain, aku selalu tahu, tak ada yang sama setelah hari dimana kita mengucap selamat jalan, sampai jumpa dan selamat tinggal. Tidak akan ada yang sama. Sebuah trauma bawah sadar laki-laki 6 tahun yang ditinggalkan oleh orang yang disayanginya. Yang meskipun orang itu akhirnya kembali, semua sudah berubah. Orang itu tak hanya miliknya seorang. Merasa terlupakan dan menjadi bukan siapa-siapa lagi tanpa kusadari begitu membekas jauh di dalam diriku. Luka yang akhirnya mewujud menjadi ketakutan-ketakutan absurd akan sebuah kata bernama perpisahan. Sebuah trauma yang, harusnya aku tahu, tidak bisa aku kambinghitamkan. Yang akhirnya membawaku di titik nadir di mana akhirnya aku tak lagi ingin memilih, ketika aku menolak untuk memilih. Tidak memilih menidakkan, tapi tidak pula mengiyakan untuk sebuah kata pertemanan dan lebih jauh persahabatan. Aku mengulurkan lilin penerang tapi tidak untuk berjalan bersama. Aku menawarkan tawa tapi dengan tetap di luar lingkaran. Aku membagi senyum dan semangat tapi menyembunyikan lamunan dan airmata. Aku menolak bahu-bahu yang ditawarkan untuk isakan karena aku tahu itu tak akan untuk selamanya. Aku memilih untuk tidak memilih. Aku abstain. Aku mensterilkan diriku dari sebuah rasa bernama kehilangan dengan berusaha untuk tidak pernah merasa memilikinya.

-queenerva-

Tidak ada komentar

Posting Komentar