[cerita] Rumah Impian Ibu


Ini adalah cerpen pertama yang saya buat untuk antologi sebuah buku. Gak menang sih tapi yaa dipublish aja. :p Maaf kalo masih aneh dan hancur. Baru pertama. :p

***


Aku melangkah pelan di trotoar jalan Jakarta. Berteman peluh, aku memaksakan tubuh gontaiku untuk terus berjalan. hingga suatu saat aku berhenti di depan sebuah hal yang selama setahun ini mengusik pikiranku. aku melihat sebuah rumah, tidak besar namun terlihat nyaman, dengan halaman yang dipenuhi bunga-bunga. walaupun keadaan gelap, cahaya lampu tetap menari-nari dan menambah keindahan rumah itu. ya, bukan rumahku, tapi rumah impianku. rumah yang aku ingin tempati bersama ibu. setelah berdiam sejenak dan bermain bersama pikiranku, aku melanjutkan perjalananku.

Akhir dari perjalananku, aku melangkah ke sebuah rumah beratapkan daun kering, berlantaikan tanah merah. huh. berbeda 180 derajat dengan rumah tadi, pikirku. rumah ini, sudah sekian tahun aku tempati berdua, ya hanya berdua bersama ibuku. semenjak bapak meninggalkan kami, atau lebih tepatnya meninggalkan ibuku saat aku masih bayi, hanya ibu yang jadi malaikatku. Ibu selalu merawatku dengan penuh kasih sayang. Ibu yang membanting tulang menghidupi kehidupan kami. Ibu yang dengan susah-payah menyekolahkanku hingga aku berhasil lulus SMP, dan mendapat beasiswa untuk tingkat SMA, dan berhasil masuk PTN. namun, keberuntungan itu tidak sampai menjadi jaminan hidupku. aku, dipermainkan oleh nasib hingga saat terakhir ini masih menjadi seorang buruh.

''assalamualaikum, bu'' ucapku di pintu rumah

''wa..lai..kumussalam... A..a..di, iii.. tu ka..mu na..k?'' ucap suara tertatih dari dalam.

''iya bu, ini Adi.'' kataku.

aku menyeret tubuhku masuk ke dalam rumah hingga ku dapati Ibuku sedang terlentang di dipan tua beralaskan tikar. kasihan, pikirku. Ibu memaksakan senyum kepadaku. dan aku membalas senyumnya.

''Ibu, Adi belikan makanan untuk Ibu. Ibu makan ya. Obatnya sudah dimakan kan, Bu?'' tanyaku.

Ibu diam dan mengangguk pelan.

''Ya sudah, Ibu makan dulu ya. Aku siapin makanannya dulu.''

Aku bergegas menuju dapur dan mengambil satu dari 3 piring yang tersisa. Kemudian aku ambil gelas dan berniat mengisi dengan air hangat yang telah aku buat sebelumnya. Namun, hendakku menuang air itu, aku melihat plastik obat ibuku. Dalam plastik itu, ku lihat potongan-potongan kecil obat ibuku. kenapa obat ini terbagi dua, pikirku. lalu, ku hampiri ibu, membawa sepiring nasi telur yang aku beli di pinggiran jalan, lalu segelas teh hangat. Bersamanya juga, ku genggam obat ibuku.

''Bu, ini makannya. Adi suapin ya.''

Ibuku mengangguk.

''Bu, kenapa obatnya dipotong dua begini? Ini ibu yang memotongnya, ya? Bu, ibu kan harus makan obatnya sesuai dosis yang dikasih dokter, Bu. Kalo begini, kapan Ibu sembuh?'' tanyaku.

Ibu diam dan menahan sedih. Selang beberapa menit.

''I..bu ti..dak ap.. apa nak.. Ib..bu cu..ma ti..dak mau o..bat..nya hab..bis''

''Tapi bu, ibu tidak boleh melakukan ini. Ibu sayang Adi kan?''

Ibu mengangguk.

''Kalo Ibu sayang Adi, Ibu makan obatnya. Adi pengen liat Ibu sembuh. Adi kangen ngeliat Ibu sehat.'' kataku sambil mendekap ibuku. tak terasa bulir-bulir air mataku jatuh.

''Ibu.. Saya..ng Adi''

Hanya itu yang ibu katakan, dan untuk selanjutnya aku menyuapi ibu dalam diam, hingga ku lelapkan ibuku dalam gelap malam.

Ibu, Adi juga sayang Ibu.

Aku kembali pada masa lalu. bulan November setahun yang lalu, ketika malam diselimuti hujan kala itu, aku membagi kisah dengan Ibu. Tentang rumah yang baru ku temui tadi sore. Tentang rumah yang berada di pinggir jalan Jakarta, dengan halaman penuh bunga. Kami bercerita tentang rumah impian kami. Ya rumah impian kami. Kami tidak peduli saat itu rumah kami mendapat tetesan air hujan yang membanjiri lantai tanah. Memainkan harmoni kala menyentuh ember, piring, gelas, apapun wadah yang ku pakai saat itu. Kami merajut mimpi kami, mimpi tentang rumah itu. Bercanda hingga aku terlarut sambil mendekap ibuku.

Huh. Masa-masa itu. Awalnya aku merasa bisa menempati rumah itu. namun, ibarat pasir, semakin kuat aku genggam, semakin banyak yang aku lepaskan. Semakin aku berusaha mendapatkannya, malah semakin sulit ku rasa.

aku kembali pada realitasku. sambil melihat ibuku dengan furatan wajah yang menggambarkan usianya.
aku mencium dahi ibuku lalu berbisik lirih.

''Ibu, maafkan aku. Aku belum bisa mengabulkan impian kita berdua. Ibu, maafkan aku''

aku terus berujar hingga saatnya aku juga tertidur lelap disamping ibuku.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

suara azan menggema menggetarkan jagat raya. aku bangun dari peraduanku dan mulai membangunkan ibu. Ibu pun mulai menghapus kantuknya. sesaat kemudian, aku mengambil air wudhu. Ku usapkan air suci itu ke seluruh tubuhku. Setelah itu, aku mengambil sebuah baskom kecil dan handuk putih kecil. setelah itu aku kembali ke tempat ibu berbaring. Aku mengusapkan handuk kecil itu ke sekujur tubuh Ibu. lalu aku memakaikan mukena kusam kepada Ibu. Aku tak mampu membeli mukena barU untuk Ibu. Mukena kusam itu sudah hampir 9 tahun menemani Ibu. Aku pun memakai sarungku dan memulai sholat bersama Ibu. Inilah wadah aku menuangkan semua keluh kesah kepada Maha Pencipta, Pemilik Kehidupan, Penguasa Alam, Pemegang Takdir. Aku menangis, memohon, meminta kepada-Nya. Selalu aku mohon satu hal. Aku ingin membahagiakannya. Ibuku, Malaikat kehidupanku.

Setelah aku dengan Ibu sholat, aku pun bergegas mandi dan membuatkan sarapan untuk Ibu. Aku melihat di dalam lemari persediaan. Hanya ada sebuah mie instan. Ku seduhkan mi itu untuk Ibu. Lalu, ku suapkan padanya. Ibu, ingin rasanya aku memberi Ibu makanan bergizi. Bukan makanan yang mengandung banyak pengawet seperti ini. hmm.

fajar menyingsing, matahari dengan lembut menyapa mataku. Aku pun berpamitan setelah menyelesaikan semua tugas rumahku. Aku bertekad hari ini untuk melamar pekerjaan. Dengan berbekal doa ibu, aku melangkah dengan membawa map coklat di tanganku. Aku melangkah menjauhi rumah dengan tekadku. Semangatku. Untuk Ibu.

Pagi ini aku membeli sebuah koran harian ibu kota. Berharap aku menemukan sebuah kolom lowongan pekerjaan. Mataku menari menyusuri kata tiap kata harian tersebut.

''dibutuhkan seorang karyawan bidang pemasaran yang siap ditempatkan di cabang seluruh Indonesia. pendidikan minimal S1.... ''

''dibutuhkan karyawan marketing perusahaan baru berkembang di luar pulau jawa...''

aku membaca harian itu. sebenarnya aku ingin melamar pekerjaan itu. Namun pikiranku sudah melayang jauh tentang Ibu. Bagaimana bisa aku meninggalkan Ibu dalam keadaan seperti ini? Atau lebih tepatnya bagaimana mungkin aku meninggalkan Ibu sendiri tanpa aku. Bagaimana dengan obatnya? Bagaimana makanannya? Bagaimana kehidupannya? pikiranku terus melayang membayangkan semua hal tentang Ibu bila aku mengambil pekerjaan ini. Aku melihat saku, 10.000 rupiah tinggal sisa uang aku dan Ibu. sementara honor bekerja sebagai buruh harus diterima satu minggu lagi. Aku mengeluh. Tapi buru-buru ku tepiskan keluhan itu. Mengapa aku harus mengeluh dengan keadaanku seperti ini? Bukankah ini adalah nikmat Sang Maha Kuasa? Bukankah seharusnya aku harus bersyukur karena aku masih memiliki uang untuk makan Ibu. Aku harus bersyukur karena masih kuat untuk tetap berjalan. Dan aku masih bersyukur karena aku masih mempunyai Ibu.

''maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?'' (Ar Rahman)

Selama ini mungkin aku kurang bersyukur, atau aku terlalu sering mengeluh. Maafkan aku ya Allah.

Aku pun melihat sebuah iklan lowongan pekerjaan untuk menjadi sebuah pelayan di sebuah restoran terkenal. Aku memutuskan langkah menuju sumber harapanku. Bersama iringan doa dan semangat, aku percaya Allah SWT selalu disampingku. Aku mantapkan hati. Dan mulai berjalan. Ibu, doakan anakmu, ucapku dalam hati. Ku lihat di seberang jalan aku menapak, rumah itu. Rumah impian Ibu. Ibu, aku akan persembahkan itu untuk ibu, bisikku berlalu.

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku diterima. Aku kerja. Aku bisa membahagiakan Ibu. Aku, aku bisa membeli rumah itu. aku terus berujar dalam hati untuk meluapkan kegembiraanku. Aku merasa kehidupanku akan membaik sesaat setelah aku diterima oleh restoran ternama itu. Aku bergegas menuju tempat kerjaku yang kedua, sebuah proyek bangunan. Pekerjaanku sebagai buruh belum selesai. Ingin rasanya aku bergegas pulang ke rumah. Namun, aku harus bekerja. Ibu, tunggu kabar baik dariku, ucapku dengan senyuman.

Hari ini aku bertugas untuk memikul bersak-sak semen lalu membuat olahannya menjadi siap pakai. Aku mengerjakannya sepenuh hati. Aku berharap pekerjaan ini cepat selesai. Dan aku mempercepat kerjaku. Namun, selagi aku mengerjakan tugasku, samar-samar aku mendengar teriakan.

''ADI !! AWAS !!''

dan aku mendengar bunyi bedebum keras. Dan semua menjadi gelap.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku mendengar sebuah ucapan lembut seseorang yang membangunkanku. Dimana aku? Ibu? Bagaimana dengan Ibu? Sinar mentari menusuk mataku. Aku mencoba bangun. Kepalaku sakit, sakit sekali. Aku melihat ke cermin ruangan itu. Kepalaku diperban, sementara aku masih memakai pakaianku sama seperti saat kejadian itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku hanya mendapati diriku terlentang dalam sebuah ruang putih bersih. Bau obat langsung menyambut diriku.

''Kamu sudah siuman?'' tanya pria dengan stetoskop di lehernya.

Aku mengangguk, kemudian bertanya. ''Apa yang terjadi? Dimana aku?''

''Kamu di puskesmas pelangi. 3 hari yang lalu, satu sak semen jatuh di kepalamu saat kamu sedang bekerja. Benturannya cukup keras sehingga kamu tidak sadarkan diri selama 2 hari. Namun secara keseluruhan kamu baik-baik saja.''

Aku diam sebentar, kemudian tersadar. Dua hari, selama itukah? Ibu ! Pekerjaanku ! Aku tersadar dan kemudian beranjak.

''terima kasih dok, saya harus pergi sekarang!''

aku pun bergegas pergi menuju rumah dan mendapati Ibuku masih terbaring lemah. Apakah ibu tahu, pikirku. Siapa yang merawat Ibu 2 hari ini?. Pertanyaan-pertanyaan itu yang semakin membuatku gelisah.

''Bu, Ibu sudah makan?''

Ibu menggeleng.

''Ya sudah, Ibu tunggu sebentar ya. Adi belikan makanan dulu untuk Ibu.''

Aku pun meninggalkan rumah dan membeli nasi tempe buat Ibu. Lalu aku kembali ke rumah.

''Ini, Bu. Adi sudah belikan makanan. Ibu makan ya. Adi suapin.''

Ibu diam.

''Bu, bangun bu. Makan dulu.'' kataku sambil menggetarkan tubuh Ibu.

Ibu tidak bereaksi. Hanya diam dan menutup mata. Nafasnya tersengal-sengal, beradu dengan waktu. Aku panik. Aku khawatir. Aku bingung. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku.. Bodoh, pikirku. Aku bergegas menaruh Ibu dalam pangkuanku. Lalu ku gotong Beliau menuju rumah sakit terdekat. Ibu harus selamat, pikirku. Harus! Ibu harus bertahan untuk Adi, Bu. Ucapku pedih.

Orang-orang hanya melihatku kasihan tanpa bisa berbuat apa-apa. Bahkan sebagian dari mereka merasa jijik dan aneh melihat seorang pria lusuh menggendong seorang wanita paruh baya yang sama lusuhnya. Aku kembali melewati rumah impian Ibu.

''Bu, lihat, ini rumah yang kita impikan bu. Lihat ! Adi sudah mendapat pekerjaan. Dan mungkin setahun lagi kita bisa menempati rumah ini, Bu. Untuk itu Ibu harus bertahan ya. Ibu mau kan tinggal disini nemenin Adi.''

Orang-orang mendapatiku menangis. Berlinangan air mata sebelum aku kembali berjalan. Rumah sakit seakan terus menjauh. Rasanya aku sudah tak sanggup. Namun, aku melihat Ibu. Dan aku seakan mendapat semangat dari ibu. Aku terus berjalan. Aku mulai berpikir, apakag tak seorang pun yang ingin menolongku? Apakah sebegitu egoiskah orang-orang di ibu kota? Apakah tidak ada seorang pun yang peduli? Pertanyaan-pertanyaan itu terus membayangiku hingga suatu saat aku merasakan hembusan nafas Ibu semakin pelan. Pelan dan nyaris tidak ada. Aku mempercepat langkahku. Namun aku berhenti. Aku berhenti di sebuah taman kota. Aku sebenarnya tidak ingin berhenti. Tapi ada yang menahanku. Aku merasakan hembusan nafas Ibu sudah tidak ada. Aku bingung. Aku merasakan ada yang hilang. Ibu. Entah aku refleks berteriak.

''IBU!! Jangan tinggalin Adi, Bu! Adi sayang dengan Ibu. Adi belum sempat ngebahagiain Ibu. Bagaimana dengan rumah kita, Bu? Ibu, bangun. Ibu, buka mata Ibu. IBU!!''

aku terus berteriak sambil menangis terisak. Tak ku pedulikan orang-orang yang melihat ke arahku. Lalu, aku kembali menggendong Ibu menuju rumah sakit. Aku kembali berharap pada Yang Maha Pemilik Nyawa Manusia. Hingga tiba aku di rumah sakit, aku menyuruh perawat untuk membawa Ibuku untuk diperiksa. Aku kalut. Aku khawatir. Namun, dunia seakan mengejekku. Perawat itu seolah memandangku dengan sinis. Dan dia mengatakan bahwa semua harus dilakukan sesuai prosedur. Aku marah! Tidak lihatkah dia, Ibuku yang kugendong ini membutuhkan pertolongan. Dan aku harus berurusan dengan sejuta isian formulir dan harus membayar sekarang! Persetan dengan biaya! Yang penting Ibuku harus selamat ! Aku pun menuliskan apa yang perawat itu minta. Ku lihat Ibuku dibawa ke ruang yang bertuliskan UGD. Setelah itu, perawat itu kembali dan menyodorkan sebuah kertas. Sepuluh Juta Rupiah. Aku tersentak, diam, terpaku melihat kertas kecil itu.

''Mb..mbak.. Ini bi..biayanya.. sebe..besar ini?'' tanyaku tergagap.

''iya, dan bila anda belum membayar sampai pukul 12 siang ini, maaf kami belum bisa mengambil tindakan.''

Bagai petir disiang bolong, hal itu menyambarku. Aku marah pada rumah sakit ini. Aku marah ! Aku kecewa. Aku pun berlari keluar dari rumah sakit itu. Darimana aku mendapat uang sebesar itu? Kami tidak punya sanak saudara disini. Aku galau, kalut. Lalu aku mengingat bahwa aku diterima kerja di restoran terkenal itu. Mungkin aku bisa pinjam uang, pikirku. Aku lalu bergegas. Waktuku tinggal 1 jam lagi. Aku belarian di trotoar jalan Jakarta. Aku terus berlari hingga saat aku tiba di restoran tersebut dan menemui pemiliknya.

''Mana mungkin saya bisa percaya dengan kamu ! Kamu juga tidak pernah bekerja disini ! Kemarin memang kamu saya terima ! Namun, kamu tidak datang dan itu saya anggap kamu mengundurkan diri !'' kata pemilik restoran tersebut.

''Tapi pak, saya mohon. Ibu saya berada di rumah sakit sekarang. Dia kritis, pak!'' aku memohon.

''Persetan dengan ibumu ! Siapa kamu? Sampah ! Pergi kamu !''

Aku kecewa. Harapanku musnah. Hancur. Aku kecewa dengan Tuhan. Kenapa dia memberiku semua cobaan ini. Aku marah dengan Tuhan ! Dia jahat kepadaku.

''Tuhan, kenapa kau begitu jahat kepadaku ! Kau membuatnya sangat sulit ! Kau mengambil semua hal milikku ! Kau tidak adil ! Kau tidak ada ! Aku benci ! Aku benci pada-Mu !''

Aku bergegas menuju rumah sakit. Aku mengatakan semuanya mengenai aku tidak bisa membayar biayanya. Namun, ku dapati ternyata mereka menyambutku dengan ramah.

''Anda tidak perlu membayar apa-apa. Ibu anda sudah meninggal bahkan sebelum anda membawanya ke rumah sakit. Maaf.''

Aku terduduk. Diam. Pasrah. Marah. Dendam. Benci. Kecewa. Awalnya aku berharap ini cuma mimpi, ternyata ini realita. Realita yang pahit. Aku pun tertunduk lesu. Seketika aku berteriak.

''IBU !! Jangan tinggalin adi, Bu!! Adi sayang sama Ibu!'' aku berteriak sambil terisak.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Gundukan tanah merah baru ku tinggalkan. Awan gelap menyelimuti rumahku kala ku duduk tersudut. Langit seakan mengerti dengan menumpahkan semua tangisku ke dalam tetes-tetes air hujan. Aku kemudian beranjak dan duduk di tempat tidur ibuku. Aku melihat secarik kertas. Aku penasaran dan memutuskan untuk membuka. Perlahan-lahan aku buka lipatan kusam kertas itu. Aku melihat sebuah gambar rumah. Mirip seperti rumah ini, pikirku. Lalu kulihat ada dua orang yang sedang tersenyum, laki-laki dan perempuan. Di atas laki-laki tersebut ada tulisan namaku, Adi. Dan di atas gambar perempuan itu, aku melihat tulisan, Ibu. Terlihat senyum mengembang keduanya. tak terasa, aku menangis, tersimpuh. Aku menyadari kesalahanku. Ibu, maafkan aku.

------------------------------------------------------------------------

November setahun yang lalu.

''Ibu, bagus kan rumahnya?''

''Iya, Nak. Bagus sekali. Ada taman bunga di halamannya.''

''Ibu, pengen tinggal disini?''

''Iyalah, nak. Ibu pengen tinggal disitu. Rumahnya kelihatan nyaman.''

''Nanti, Adi belikan untuk Ibu. Mulai sekarang itu menjadi rumah impian ibu. Ya kan bu?''

''Iya, nak

Adi terlelap. Tidak mendengarkan ucapan ibu. Lalu, Ibu melanjutkan pembicaraannya.

''Memang Ibu pengen tinggal disitu. Tapi sebenarnya, nak. Rumah impian ibu adalah rumah ini yang telah membesarkan kita berdua. Dan rumah impian ibu adalah rumah yang diselimuti oleh kasih sayang kamu, nak. Ibu pengen disisa akhir hidup Ibu, kamu bisa nemenin Ibu setiap saat, setiap waktu. Itu rumah impian ibu.''

Tidak ada komentar

Posting Komentar