SALJU PERTAMA


Naomi
Jakarta, 13 Januari 2011

“Ma. Jangan nangis, dong. Naomi cuma pergi satu tahun, kok. Gak lama.” Naomi mengusap air mata di sudut mata mamanya.
“Janji ya? Kamu baik-baik di Seoul. Kalo ada apa-apa, telpon mama.”
Naomi tersenyum. Tidak berubah, pikirnya. Mama Naomi selalu merasa cemas yang berlebihan ketika dia atau Ayumi, adiknya, pergi. Kemanapun itu. Pernah suatu hari, Naomi pergi ke acara berkemah yang diselenggarakan oleh sekolahnya saat umurnya 14 tahun, hanya satu hari satu malam, Mama Naomi sudah khawatir. Menelepon lima belas menit sekali yang dulu membuat dia ditertawakan teman-temannya.
Namun kali ini, mamanya pantas khawatir.
Setelah lulus dari sebuah sekolah design di Jakarta, Naomi bertekad untuk mengambil pengalaman kerja yang ditawarkan oleh salah satu temannya di Korea. Korea tidak asing baginya sebab dia pernah ke sana beberapa kali sewaktu kecil. Dia ingat pernah pergi ayahnya untuk menikmati musim gugur dengan naik gunung tiga belas tahun lalu. Daun-daun dengan warna merah-kecoklatan berjatuhan menambah indah perjalanan saat itu.
Ahh, musim gugur waktu itu, Naomi menggumam dalam hati.
“Jadi, inget pesan mama. Jaga kesehatan.” Mama Naomi kembali mengingatkan.
Naomi tersadar dari lamunannya. “Apa, Ma?”.
Raut muka Mama Naomi berubah. Mukanya mulai ditekuk.
“Kamu daritadi gak dengerin mama, ya?” tanya Mama Naomi dengan nada kecewa.
“Eh, dengerin kok ma. Suer.” Jawab Naomi cepat. Naomi tersenyum lebar. Tangannya membentuk angka dua, tanda, yang anak muda sekarang bilang, sumpah.
Mama Naomi masih cemberut.
“Haduh, mama sayang.” Naomi memeluk mamanya dengan erat. “Naomi gak bakal kenapa-kenapa, kok. Tenang aja.”
Mereka berdua diam. Hanya suara bising dari orang yang berlalu-lalang di bandara disertai dengan suara pengumuman penerbangan yang terdengar.
“Ciye, peluk-pelukan nih ceritanya.” Ayumi datang dengan membawa tas Naomi. “Uhh gak ngajak. Mau dong dipeluk.”
“Yee. Anak kecil.” Naomi melepaskan pelukannya dari mamanya lalu mengacak-ngacak rambut Naomi dengan gemas.
“Stop, kak. Stop. Rambutku rusak, nih.” Ayumi berontak sambil berlari menjauh menghindari tangan kakaknya.
Naomi tertawa melihat tertawa melihat tingkah adiknya itu.
Suara pengumuman kode pesawat Naomi terdengar dari speaker yang dipasang di setiap sudut bandara Soekarno-Hatta.
“Udah jam segini ternyata.” Naomi melihat jam yang berada di tangannya. Jam dua belas tepat.
“Aku berangkat dulu ya, Ma.” Naomi mencium punggung tangan mamanya. Lalu berbalik mencium rambut adiknya.
“Jaga diri, ya. Sampai sana jangan lupa nelpon.”
Naomi mengepalkan tangan sambil membentuk tanda oke dengan jempolnya. Naomi pun berjalan menjauh.
Seoul, Naomi berkata perlahan. I’m coming..
***

Akhirnya sampai juga.
Naomi membenarkan sebentar baju yang dipakainya sebelum melangkahkan kaki keluar dari pesawat. Satu tangannya menenteng sebuah tas berwarna biru muda, pemberian dari mamanya, sementara tangan yang lain menggandeng mantel coklat berbulu tebal.
Salju pertama di Korea, gumamnya dalam hati.
Naomi mengedarkan pandangannya ke sekeliling bandara Incheon, bandara internasional di Korea. Dari balik kaca besar bandara itu, Naomi melihat landasan pesawat yang memutih diterpa sinar lampu dari dalam bandara tempatnya berdiri. Ditambah beberapa orang yang sibuk membersihkan ceceran salju itu.
Naomi diam sejenak memandangi orang-orang itu. Dia lalu memakai jaket yang daritadi digandengnya.
Gadis itu menggigil. Dinginnya Seoul lama-lama bisa membunuhku.
Terdengar pengumuman dari speaker di sudut ruangan. Naomi lalu bergegas mengambil tas dan berangkat ke ruangan bagasi. Koper-koper memutar namun masi tersusun rapi. Naomi lalu mengambil koper miliknya, lalu ditatapnya jam yang ada di ponselnya. Jam 10 malam.
Naomi melangkahkan kaki ke luar ruangan itu, mencari Yuuri, temannya yang berjanji datang  menjemputnya. Setelah melihat sosok temannya di ujung bandara, Naomi berlari cepat. Tidak sengaja dia menyenggol sebuah kotak sehingga terjatuh. Naomi berbalik dan melihat seorang laki-laki yang tidur dengan topi coklat yang menutupi wajahnya. Perlahan laki-laki itu bangun.
Joesonghabnida,” ujar Naomi dengan fasih melafalkan bahasa korea. Naomi membungkukkan badannya ke depan tanda meminta maaf. Dia kemudian mencuri pandang ke temannya yang menunggu tadi. Dilihatnya temannya melirik jam berulang kali, tanda dia tidak suka menunggu, sambil memasang tampang galak.
 Belum sempat laki-laki itu melihat, Naomi sudah berlari ke tempat temannya berdiri.
“Maaf, tadi aku ada urusan,” kata Naomi dengan nafas terngah-engah habis berlari. Dia lalu memasukkan barang-barangnya ke dalam bagasi mobil.
“Emang ada apa, sih? Seharusnya kamu udah sampai satu jam yang lalu,” protes Yuuri masih dengan tampang ingin-makan-orang.
Naomi tertawa kecil melihat wajah lucu temannya itu. “Tadi lama di bagasi. Trus gak sengaja nabrak barang orang. Tuh, disana.” Naomi menunjuk tempat laki-laki yang tadi tertidur.
Namun, tidak ada siapapun.
“Ya sudahlah. Ayo masuk mobil. Kamu tahu suhu Seoul malam ini? Nol derajat celcius. Aku bisa mati kedinginan kalau di luar terus.” Yuuri menggandeng tangan Naomi masuk ke dalam mobil yang daritadi terparkir rapi. Naomi hanya bisa mengikuti Yuuri.
“Jalan, Pak.” Yuuri memerintah sosok di depan mereka dalam bahasa Korea.
Mobil pun melaju. Dari balik kaca mobil, mata Naomi masih sibuk mencari-cari sosok laki-laki itu.
Seharusnya aku minta maaf lagi tadi, sesal Naomi dalam hati.
***

Lee Yun Ho

BRAAK!!!            
Lee Yunho sedang tertidur pulas ketika suara keras itu membangunkannya. Belum sempat seluruh nyawanya kembali mengumpul di dalam dirinya, dia terkejut melihat sebuah kotak coklat jatuh dekat kakinya.
“Hei, barang-barangku!” Lee Yunho menggerutu. Dicarinya orang yang menjatuhkan barang-barangnya. Yang dia lihat hanya sosok gadis dengan rambut hitam dan jaket merah muda berlari menghampiri temannya di luar bandara.
Sial, gadis itu yang merusak barang-barangku? Lee Yunho membatin sambil membereskan barang-barangnya yang berserakan. Tidak ada sopan santunnya.
Apa ini keputusan yang tepat? Laki-laki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Lee Yunho memang sudah lama meninggalkan Korea. Alasan klise sebenarnya, ingin menuntut ilmu ke negeri orang. Jawaban itu yang selalu dia lontarkan bila ada orang , Korea maupun Amerika Serikat, bertanya alasannya untuk hijrah ke Amerika Serikat.
Padahal tidak sepenuhnya begitu.
 “Bagaimana bahan presentasi besok?” Lee Yunho mendesah.
Besok, hari pertamanya masuk ke sebuah perusahaan design di Korea, alasan utamanya kembali ke negeri yang sangat ingin ditinggalkannya. Mengapa diterima? Entahlah, ada hubungan khusus yang membawanya kembali yang membuatnya tidak ragu mengatakan “ya” saat ditawari pekerjaan ini. Ada yang ingin diperbaikinya, setidaknya.
Sesuatu yang bahkan dia sendiri tidak yakin untuk memperbaiki.
Sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan pandangannya. Bergegas ditaruhnya kotak coklat itu di trolly lalu mendorongnya. Di samping sedan itu, Lee Yunho berhenti sebentar lalu menengadahkan kedua tangannya.
Salju pertama di korea.
Is it a good of beginning? Me, in Korea?
***


          LEE JENGSU
"Cut! Ya, cukup sampai di sini. Kita lanjutkan syutingnya besok lagi, ya. Terima Kasih." kata seorang laki-laki paruh baya  yang duduk sambil bertepuk tangan. Mendengar itu, Lee Jengsu menundukkan kepalanya sebagai ucapan terima kasih kembali.

Jengsu berbalik menuju mobil sedan berwarna putih. Di dalamnya, seseorang lain sudah menunggunya. 

"Besok, kamu ada meeting untuk syuting video klip single terbaru. Pukul 12 Tepat. Jangan lupa." Kata seseorang tadi sambil membolak-balik catatan kecilnya. DIa, Kim Su Han, managernya. Orang yang selama ini mengatur semua kegiatan Jengsu selama dia berada di dunia keartisannya juga. Bahkan untuk zaman semodern ini dia masih memakai buku catatan, pikir Jengsu heran setelah masuk ke dalam mobilnya.

Jengsu mengangguk pasrah. Menjadi artis di Korea memang sulit. Semua kegiatan sudah dijadwalkan bahkan untuk makan harus memiliki waktu yang orang biasa rasa tidaklah cukup. Sejak terjun sebagai penyanyi pada umur 17 Tahun, Jengsu memang dipuja-puja. Tampang yang memang di atas rata-rata serta karisma sebagai seorang bintang yang semua orang belum tentu punya, adalah modal utama untuk menjadi public figure di Korea. Belum lagi suara yang membuat semua wanita meleleh. Jengsu memiliki kesemuaan itu.

Jengsu mengemudikan mobilnya cepat ke kantor managemen SH, tempat dia bernaung. Mengantar Kim Su Han lalu pulang ke apartemennya.
Huh.
How about this day? Bad or good day? 


***

Tidak ada komentar

Posting Komentar