[Cerpen] A Stranger and Two Broken Heart Stories



A Stranger and Two Broken Heart Stories
3000 words 

 ||---------------------------------------------------------------------------||


“. . .sometimes one feels freer speaking to a stranger than to people one knows. Why is that?"
“Probably because a stranger sees us the way we are, not as he wishes to think we are.”

***

Apa yang kau lakukan ketika sedang patah hati?

Jika kau tanya aku, aku akan dengan lugas mengatakan; menonton film. Aku bukan tipe laki-laki yang mudah menangis. Aku hanya menangis untuk dua hal; ketika aku benar-benar merasa kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupku, dan kedua, jika aku mengantuk, otomatis mataku berair. Tapi, untuk patah hati, itu masih belum masuk kriteria pertama. Pacar –atau apapun namanya, masih belum cukup berharga untuk aku tangisi.

Munafik jika kubilang patah hati tidak berpengaruh dalam hidupku. Bagaimana mungkin, orang yang sudah terbiasa bersamamu itu tiba-tiba pergi, dan kau masih merasa baik-baik saja? Sama sepertiku, ada sesuatu di tubuhmu yang tiba-tiba nyeri,terlepas, atau kau merasa sulit bernapas. Aku sukar menjelaskannya. Tapi, ada rutinitas yang kembali hilang. Seolah semua hidupmu yang teratur tiba-tiba mengalami getaran yang membuat sebagian hal tidak bisa kau lakukan lagi. Dengannya. Ya, cinta adalah kebiasaan, mungkin itu tepatnya.

Dan aku baru saja patah hati. Patah hati pertamaku.

Dua hari lalu, aku baru berpisah dengan orang yang sudah terbiasa bersamaku selama satu tahun terakhir. Perpisahan klise, yang aku tahu persis selalu diucapkan oleh orang-orang yang sudah bosan dengan pasangannya. Jujur, aku memang orang yang membosankan. Aku tidak bersikap layaknya seorang laki-laki yang dimabuk cinta. Tunggu, maksudku, apa yang kau harapkan dari seseorang yang baru pertama kali mengenal cinta?

Bahkan, untuk satu tahun ini saja, aku tidak bisa berbuat banyak. Dan itu yang menjadi masalah utama bagi kami –baginya.

Lalu, kau bisa tebak kejadian selanjutnya, dia pergi, dengan alasan yang sangat masuk logika; ingin fokus belajar.

Aku percaya, saat dia mengatakan itu. Tapi, kepercayaanku goyah ketika kulihat ia bersama laki-laki lain. Mesra. Lengannya bergelayut manja di lengan laki-laki itu; hal yang baru berani aku lakukan setelah hubungan kami menginjak bulan ke tujuh.

Dan akhirnya aku patah hati, seperti yang kujelaskan tadi.

Jadi satu-satunya hal yang akan aku lakukan adalah menonton film. Di bioskop. Dan sendiri.

Ide ini terlintas saja di benakku. Aku hanya berpikir, menonton film, apalagi komedi, dapat menyembuhkan luka patah hati. Teoriku. Dan aku harap berhasil. Bukankah kesedihan harus dibalas dengan kebahagiaan dan tertawa salah satunya?

Kini, di sinilah aku. Tepat di malam tahun baru. Di saat banyak orang berlomba-lomba untuk pergi ke beberapa tempat perayaan, aku lebih memilih ke sini. Di sebuah bioskop yang tampak asing bagiku. Sengaja aku pilih tempat yang tidak mengingatkanku padanya. Yah, sama seperti luka, semakin sering kau siram di tempat yang sama, akan semakin lama keringnya.

Di tanganku, satu lembar tiket sudah anteng kugenggam. Pengeras suara sudah berulang kali memanggil penonton untuk masuk ke teater tiga, tapi aku masih bergeming. Aku akan pergi ketika lampu dimatikan, begitu niatku. Tujuannya sudah jelas; aku tidak ingin diserang dengan tatapan aneh orang satu ruangan karena pergi sendiri. Rasanya seperti mereka menelanjangimu bulat-bulat dengan mata mereka. Kau merasa dipermalukan.

Sudah lima belas menit pintu teater dibuka, barulah aku memantapkan langkah. Aku masuk ke dalam ruangan itu. Baru saja masuk, aku sudah disambut gelak tawa. Untunglah, mereka bukan menertawakanku, tapi menertawakan film di belakangku.

Dengan cepat aku menuju bangku yang sudah tertera di tiket. Bangku paling atas. Setelah mendapati barisan yang akan kutempati, aku segera duduk. Seperti dugaanku sebelumnya, biasanya orang menonton film pasti berpasangan. Dan aku memilih bangku yang tepat di tengah-tengah mereka. Ada dua pasangan di sebelah kiriku yang menempati bangku satu sampai empat. Sedangkan di sebelah kiriku, ada tiga orang. Dua perempuan dan satu laki-laki. Tapi, tampaknya, perempuan dan laki-laki di dua bangku paling ujung adalah pasangan kekasih. Terlihat dari gerak-gerik mereka yang “mesra” bukan main. Jadi, di sebelahku ini, perempuan ini, juga sendiri?

Aku menggelengkan kepala secepat kilat. Sejak kapan aku jadi kepo begini?


Kuarahkan mata menuju bayar bioskop. Aku berkonsentrasi. Ya, ternyata anggapanku salah. Film komedi tidak sama sekali membuatku tertawa. Tersenyum pun tidak. Merasa bosan, aku memutuskan untuk beranjak, tapi tiba-tiba, sebuah tablet tersodor ke arahku. Dari perempuan di sebelah kananku.

Kau sedang patah hati?

Aku mengerenyitkan dahi lalu refleks melirik ke arahnya. Sayangnya, tidak jelas aku melihat. Ruangan gelap bioskop membuat pandanganku kabur. Aku hanya bisa melihat rambutnya yang tergerai ke samping kiri.

Aku memilih tidak membalas kata-kata itu. Hingga saat ini, aku masih memegang teguh kata-kata ibuku. Jangan pernah berbicara dengan orang asing, nasihat beliau. Jadi, niatku saat ini semakin bulat. Aku harus pergi dari tempat ini.

Perempuan di sebelahku seperti mengetik sesuatu. Lalu dengan cepat, dia kembali menyodorkan tabletnya ke arahku.

Kau pasti sedang patah hati. Ketahuan dari sikapmu.

Keningku semakin berkerut. Apa sebegitu kelihatannya sikapku yang patah hati ini? Aku bertanya dalam hati. Baru tiga puluh detik aku berpikir, kembali tablet itu tersodor ke arahku.

Aku sama sepertimu. Aku juga sedang patah hati.

Aku melirik lagi dari ujung mataku. Perempuan itu tetap menatap layar bioskop, seolah-olah tidak ada yang terjadi di antara kami.

Kali ini, aku meladeni permainan darinya. Aku mengambil tablet itu lalu mulai mengetik, Ya, aku sedang patah hati. Jadi, kenapa?

Segera kukembalikan tablet itu. Dia membaca lalu mengetik dengan cepat.

Mungkin kita bisa saling berbagi?

Aku membaca itu lamat-lamat. Berbagi? Aku tertawa pahit. Mana mungkin aku berbagi ceritaku dengan orang yang baru saja aku temui di bioskop? Yang mukanya sendiri pun aku tidak tahu? Jangan-jangan ini adalah gaya penipuan model baru. Bila aku cerita, maka ceritaku akan ia rekam dengan satu alat khusus. Lalu, ia akan minta tebusan. Jika aku tidak melakukannya, ia akan menyebarkan ceritaku di televisi. Lalu, aku malu. Lalu....

Dia menarik lagi tabletnya, mungkin karena tidak ada tanda-tanda dariku untuk mengetik balasannya.

Kita sama-sama sedang patah hati. Berbagi mungkin bisa membuat kita lebih baik. Mungkin. :)

Aku kehilangan kata-kata. Perempuan ini tampaknya benar-benar serius untuk melakukannya. Aku lalu mulai berpikir.

Bagaimana kalau dimulai denganku?

Tulisan itu terlihat lagi di hadapanku. Entah mengapa, aku merasa mulai tertarik dengan permainan ini. Pikiran-pikiran sebelum ini langsung berkurang drastis. Mungkin ini hiburan di tengah patah hatiku, batinku. Kuambil alat itu lalu mulai mengetik singkat; ya.

Dia tampak mengetik dengan panjang. Terlihat dari kepalanya yang beralih menunduk memandangi tabletnya. Aku mulai kembali ke layar bioskop. Entah mengapa, ceritanya tidak menarik lagi bagiku. Aku menunggu cerita perempuan di sampingku. Tentang patah hatinya.

Perempuan itu menyodorkan kembali tabletnya lalu dengan cepat kuambil dan kubaca.

Aku sedang patah hati. Pada seseorang yang bahkan baru satu kali kutemui.

Aku menatap heran tulisan itu. Ada dua hal yang mengusikku. Pertama adalah kenyataan bahwa apa yang diketiknya tidak sepanjang pikiranku. Kedua adalah pertanyaan:  bagaimana mungkin ia patah hati dengan orang yang sama sekali belum ia temui? Aku berpikir dengan logika-logika yang aku tahu tentang cinta. Meskipun aku baru pertama kali pacaran, tapi aku banyak membeli buku-buku tentang cinta. Novel-novel roman juga setia bertengger di lemariku. Tapi, ibarat mencari jarum di tumpukan jerami, aku tidak mendapatkan jawabannya. Tidak ada cerita yang seperti itu.

Kuketik balasanku seadanya; bagaimana mungkin?

Dia mengetik lagi, dan rasa penasaranku membawaku mencuri pandang ke arah tabletnya.

Aku jatuh cinta pada seseorang yang tidak bisa kumiliki. Orang yang hanya bisa aku curi pandang dari kamarku. Dan aku patah hati, bahkan sebelum aku tahu jika aku mencintai.

Kulirik perempuan di sebelahku. Dia mengambil kembali tabletnya lalu mengetik panjang.

Orang itu hanya bisa kulihat lewat foto. Dulu, aku pernah bertemu dengannya. Di sebuah acara. Dia menolongku. Dan hanya itu. Tapi kejadian itu membuatku selalu ingat. Dan tanpa sadar aku jatuh cinta.

Aku jadi semakin penasaran. Ceritakan.

Ia mengetik lama. Selama ia melakukan itu, mataku mencoba fokus menatap layar bioskop. Tapi, sayang, aku tak bisa. Penasaran adalah perasaan yang sangat amat berbahaya. Ujung mataku tak berhenti melirik ke arah tablet yang diketiknya. Setelah beberapa menit, ia menyodorkan itu kepadaku.

Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri dari ketertarikanku terhadap hal ini. Setelah sedikit tenang, aku mulai membaca.

Hari itu, tepat saat malam tahun baru, aku bertemu dengannya. Pertemuan yang lucu sebenarnya.  Aku menghadiri perayaan tahun baru di Benteng Kuto Besak.

Aku membaca dua baris pertama lalu mulai menyadari. Aku juga mengikuti perayaan itu tahun kemarin. Perayaan yang besar. Di pinggiran sungai Musi, lampu-lampu berkilauan dengan megahnya. Setiap tahun memang begini. Semua kegiatan perayaan berpusat di pelataran Benteng Kuto Besak, dengan latar Jembatan Ampera, perayaan itu semakin meriah.

Aku berpikir sejenak. Sebuah kebetulan yang menarik. Tapi, bukankah hampir setiap orang di kota Palembang merayakan pergantian tahun di sana?, tanyaku dalam hati. Aku menepis pikiran itu lalu melanjutkan membaca.

Semua orang penuh sesak. Tapi, jujur, aku tidak begitu menyukai keramaian. Bahkan jika dalam keramaian itu adalah orang-orang yang aku kenal, aku tetap tidak menyukainya.

Ceritanya berhenti di sana. Kebetulan kedua, batinku. Aku juga tidak menyukai keramaian. Rasanya seperti berada pada pusaran lubang hitam, tapi hanya kau yang tertarik masuk ke dalam, sementara semesta masih tampak sama.

Sebentar, ada yang salah. Kok selama ini dia hanya menulis itu? Tangannya lalu terjulur kepadaku seolah meminta kembali tabletnya. Aku tahu, ia ingin kembali bercerita. Ia tampak mengetik lagi lalu menyodorkannya kepadaku.

Aku agarophobia. Phobia keramaian. Jika berada di sana, kepalaku mendadak pening. Panik. Dan begitu juga yang terjadi tahun lalu.

Kenapa kau ke sana? Aku bertanya. Jika dia memang mengidap phobia itu, apa yang di lakukannya saat perayaan pergantian tahun lalu?

Kudengar sebuah helaan napas berat keluar dari bibirnya. Aku ingin sekali menoleh tapi tidak bisa. Tubuhku terpaku menatap layar yang sudah entah menayangkan apa.

Dipaksa teman. Apalagi.                                                                                    

Kau bodoh, aku mengeluarkan pikiranku lewat tulisan. Kau adalah gadis paling bodoh. Jika merasa tidak bisa, jangan lakukan.

Iya, aku bodoh. Tapi, aku juga beruntung.

Aku bergeming. Keberuntungan. Bisa-bisanya dia berpikir begitu. Semu orang di bioskop kini tertawa, seolah mengamini pikiranku.

Aku semakin tidak mengerti. Ya, aku semakin tidak mengerti. Bagaimana bisa hal tersebut jadi satu keberuntungan? Aku membenarkan posisi dudukku yang tidak enak.

Aku kambuh. Kepalaku pusing. Ketika aku sudah hampir jatuh, laki-laki itu menolongku. Ia membawaku ke tempat yang lebih sepi. Di sisi lain keramaian yang riuh menantikan pergantian tahun. Di bawah Monpera. Pohon-pohon di sekitarnya setidaknya membuatku bisa bernapas.

Ah, Monpera. Monumen Perjuangan Rakyat. Berbeda dengan jembatan Ampera, Monpera tidak terlalu terkenal. Letaknya walau ada di sisi jalan utama, kebanyakan terlupakan. Hanya sebagai pemanis. Aku sendiri sebagai kaum pendatang lebih kagum dengan kebesaran Ampera. Pernah sekali aku ke Monpera, lumayan bagus juga.

Kami lama berada di sana. Bahkan ketika deru kembang api memecah angkasa, ia tetap duduk di sampingku. Aku pernah ingat kata-katanya. Ia berujar bahwa ia senang dengan kembang api. Karena dengan begitu, langit tidak lagi sendiri. Aku suka filosofinya.

Aku, dengan kepala yang masih pening, berinisiatif mengucapkan terima kasih. Ia, dengan kepala yang masih mendongak ke atas, lantas tersenyum lalu mengucapkan terima kasih kembali. Aku tidak mengerti maksudnya namun ikut tersenyum juga.

Keadaan itu berlangsung hingga seorang temanku datang. Lalu, dia pergi. Menghilang.

Aku berdeham. Cinta pada pandangan pertama ternyata. Tu... tunggu, rasanya aku ingat sesuatu, pikirku. Aku menggeleng menepiskan pikiran di kepalaku lalu membalas cepat.

Jadi kau patah hati karena ia pergi?

Ia menggeleng sebagai pernyataan tidak. Hmm. Aku mencoba menaruh simulasi kejadian itu di otakku. Tapi, tetap tidak kutemukan. Menyerah, aku pun mengetik lagi.

Jadi bagian mana yang membuatmu patah hati?

Ia segera menarik tabletnya. Untuk mengisi kekosongan, aku menarik ujung jaketku. Ruangan ini sangat dingin. Ditambah satu orang aneh di sampingku. Pas.

Tak lama, ia memberikannya kembali.

Dua bulan sejak kejadian itu, aku pergi ke kamar kakakku. Dan aku melihatnya. Berpose canggung dengan kakak perempuanku.

Aku ber-ooh ria di dalam hati sambil mengangguk mengerti. Melihat masih ada tulisan di bawahnya, aku melanjutkan membaca.

Ternyata dia pacar kakakku. Dan itu yang membuat aku patah hati.

Ingin rasanya aku menulis kata sabar dengan berbagai emotikon sedih. Tapi niat itu aku urungkan. Sebelum sempat aku membalas, ia menyodorkan tabletnya lagi.

Tapi, patah hatiku yang paling parah bukan itu.

Kalimat terakhir sengaja dibuatnya menggantung. Picik, pikirku. Ia sengaja berbuat itu agar tahu responku. Dan dia berhasil. Aku penasaran setengah mati.

Kakakku memutuskan pacarnya itu, laki-laki yang aku cintai satu tahun ini.

Aku menatap heran. Bukankah seharusnya ia senang kakaknya putus dengan laki-laki yang ia cintai? Kok malah dia patah hati?

Aku mengetik apa yang ada di pikiranku itu. Kukira ia tidak akan menjawab karena aku menunggu balasannya agak lama. Namun, setelah lima menit, ia menyodorkan tabletnya kembali.

Tidak bisa. Kami terlalu sama. Aku tidak bisa begitu saja masuk lalu mengajaknya berkenalan. Sudah kubilang, kan? Sejak aku melihat fotonya dengan kakakku, aku sudah patah hati. Ia tidak mungkin kumiliki.

Aku membalas lagi. Menyerah?

Kadang-kadang ada hal yang memang gak bisa dipaksain. Termasuk cinta. Ia membalasnya.

Tapi, baru satu kata itu kuketik ketika ia langsung menyerobotnya dan menulis; Ceritakan tentangmu.

Aku berdeham sebentar. Aku sama sekali tidak berniat menceritakannya, tapi apa boleh buat. Aku yang melanjutkan permainan ini, maka aku menceritakannya.

Aku patah hati. Pada satu orang yang baru pertama kali aku cintai.

Ia mengetik cepat di tablet yang kupegang. Keadaan itu membuatku canggung. Ia langsung saja menerobos di hadapanku. Tapi, Tuhan tidak adil. Aku masih tidak bisa melihat wajahnya. Tapi, satu hal yang kusadari. Ada lesung pipi di wajahnya.

Cinta pertama?

Aku berdeham lagi. Kali ini untuk meredakan kenangan yang bergemuruh di hatiku. Kata orang, ingatan seseorang itu tidak akan pernah hilang. Ia tersimpan erat di satu slot memori di otak. Untuk memanggilnya kita hanya membutuhkan satu kunci yang pas. Satu biang yang pas. Lalu, ingatan itu akan keluar. Lebur. Luber.

Kini, kenangan satu tahun lalu kembali menyeruak. Perempuan ini sudah memiliki kunci yang pas. Samar-samar aku mengingat.

Ya, dia cinta pertamaku. Aku bertemu dengannya ketika menghadiri acara tahun baru.

Aku dapat ingat kejadian itu. Hari itu tanggal tiga satu. Seharusnya aku hanya tidur-tiduran di dalam kos ketika Amar mengajakku untuk pergi ke Benteng Kuto Besak. Ini adalah tahun keduaku menghabiskan tahun baru di kota ini. Dan tak pernah terpikir sekalipun untuk menghabiskannya di Benteng Kuto Besak itu. Tapi, Amar memaksaku.

“Kau harus paling nggak sekali saja ngerasain tahun baru di sana, Gung!” Amar berseru pada hari itu.

Aku memasang tampang tidak setuju. “Di rumah aja. Belajar,” selorohku cepat. “Lagian, sama aja, kan. Di sana lihat apa? Kembang api? Dari kosan juga ada.”

“Tapi ini beda, boi. Kita seru-seruan. Rame-ramean. Kapan lagi coba? Pas udah tamat? Mau sama siapa? Ini udah ada temen-temen, kok masih nolak?”

Ia memberi alasan yang sangat masuk akal bahwa aku harus sekali saja merasakan tahun baruan di sana.  Menginjakkan kaki di ibukota Sumatera Selatan bagiku memang hal yang sangat jarang. Bisa dihitung dengan jari. Berasal dari kota kecil di bagian lain Sumatera membuatku seperti itu. 

Dan setelah melalui pikiran yang alot, akhirnya aku setuju. Jadilah saat itu aku berada di sana. Di Benteng Kuto Besak. Hingga akhirnya aku temukan dia.

Pertama aku melihatnya di antara kerumunan orang-orang di bawah sorot lampu. Ia tampak kebingungan. Aku mendekatinya ketika ada orang yang menabrakku. Efeknya seperti domino. Aku pun tidak sengaja menabraknya. Lalu...

Dia mengambil cepat tablet di hadapanku. Kok sama? Aku melihat tulisan itu sudah nangkring dengan manis di bawah tulisanku.

Aku ingat. Ini yang membuatku kepikiran tadi. Kejadian yang hampir sama.

Aku juga tidak tahu. Kadang banyak kejadian aneh di sekitar kita. Termasuk kejadian kita sekarang ini. Aku tidak tahu pastinya, karena hari itu malam dan aku tidak terlalu suka keramaian.

Kudengar ia terkikik geli. Aku pun menarik ujung bibirku. Tampaknya ini mulai seru.

Setelah itu aku kembali bertemu dengannya di kampus. Dan, seperti yang kita duga sebelumnya, kami menjalin hubungan.

Aku sengaja tidak melanjutkan. Kulihat ia makin tidak sabar.

Jadi, dia memutuskanku dua hari lalu, aku bercerita. Katanya ingin fokus belajar. Klise. Apakah semua perempuan memang seperti itu?

Ia menjawab, tidak juga. Mungkin ia memang ingin fokus belajar.

Tanpa sadar kepalaku menggeleng, tidak terima. Tapi, ia mendapat laki-laki baru setelahnya.

Ia tampak terkejut. Terlihat dari ekspresinya yang terperanjat tidak percaya.

Aku mengetik lagi. Aku bukan pacar yang baik, kan?

Ia membalas cepat. Kau orang yang baik.

Aku mengerenyitkan dahi. Tahu darimana ia tentangku? Padahal kurang dari dua jam kami bersama, ia sudah berpikiran seperti itu.

Setidaknya kau adalah pendengar yang baik, ia menulis lagi setelah tahu aku tidak merespon. Aku membaca tulisan itu lalu tersenyum. Perasaan kemarin mendadak menguap. Sepertinya kupu-kupu dalam perutku siap untuk terbang ke luar.

Tapi, masih ada satu ja; yang mengganjal di hatiku. Segera aku menulis di tablet itu. Kalau memang seperti itu, mengapa ia memutuskanku? Aku bertanya lagi.

Ia bergeming. Dibiarkannya kami berdua terdiam tanpa suara.

Mungkin kalian memang bukan jodoh. Seperti kataku tadi, cinta tidak bisa dipaksain. Balasan darinya.

Aku bertanya retoris dalam tulisanku. Jadi, aku harus gimana?

Gak gimana-gimana juga. ^^ Move on, lah.

Caranya?

Bukankah sekarang kau sedang melakukannya?

Balasan demi balasan kami lakukan hingga mendadak aku tergagu. Ia benar. Menonton film ini adalah salah satu upayaku menyembuhkan patah hati. Move on.

Aku juga sedang melakukannya. Kita nggak tahu apa yang terjadi nanti. Jadi, ya jalani saja. :)

Ia mengambil tabletnya lalu memasukkannya ke dalam tas. Kali ini aku sadar, tidak akan ada lagi tulisan-tulisan selanjutnya. Kami sama-sama sudah mendapat jawaban dari apa yang kami tanyakan. Tentang patah hati. Dan tanpa sadar kami mengerti, patah hati bukan untuk didiami. Patah hati, seperti kisahnya yang tidak mendapatkan orang yang ia cintai, dan kisahku yang setidaknya lebih baik, pernah mencintai orang yang mencintaiku, pada akhirnya harus berlabuh pada satu tahap; bangkit.

Tanpa terasa, film di hadapan kami sudah habis. Lampu perlahan-lahan sudah mulai bersinar terang. Dan beberapa orang sudah mulai beranjak. Aku dan perempuan di sebelahku tetap bergeming. Dengan satu detik, kami saling memandangi, berhadapan, dan saling mengamati wajah kami masing-masing.

“Inga...” bibirku bergetar mendapati sosok di hadapanku. Aku sangat hapal wajahnya. Mata yang bulat hitam, dengan hidung yang mancung, serta bibir yang mungil. Yang berbeda hanya rambutnya. Tidak salah lagi.

Ia juga tampak terkejut. Dengan bibir sama bergetarnya ia berkata pelan, “Aku... Unge.”

Unge? Aku menggaruk kepalaku bingung. Jelas-jelas orang di hadapanku ini adalah Inga, orang yang memutuskanku dua hari lalu. “Ka-kalian?”

“Kembar.”

Kita nggak tahu apa yang terjadi nanti. Jadi, ya jalani saja, kata-kata itu berputar di otakku.

***

Selamat tahun baru!

Selamat tahun baru!

Selamat tahun menempuh hidup baru!

***

Surprise is the greatest gift which life can grant us.

Boris Pasternak


Tidak ada komentar

Posting Komentar