(Un)Finished
Rafandha
Forest Gump mengatakan,
'Life was like a box of chocolate. You
never know what you’re gonna get.' Mungkin itu adalah kata-kata yang tepat
bagi kehidupan Rizki. Ia sama sekali tidak menyangka akan jadi seperti ini,
hidup di ibukota bahkan menjadi pegawai kementrian. Dulu, baginya, bersekolah
hanya menjadi angan-angan. Ia terlalu takut bermimpi untuk itu. Hingga
akhirnya, dua tahun kemudian, keajaiban itu datang menghampirinya. Tiga tahun
setelahnya, ia diterima di salah satu sekolah kementrian di Jakarta.
Rizki mendesah lalu
melihat kotak berwarna biru tua yang terletak di hadapannya. Kotak itu datang
kemarin, mengarah langsung ke alamat tempatnya tinggal. Ia sama sekali tidak mengetahui
apa itu hingga ia membukanya dan melihat tulisan ‘Christine & Derry’ di
dalamnya.
Perlahan namun pasti,
pintu itu membuka lebar. Beribu kenangan menyeruak masuk tanpa henti dan
membuat perutnya mual. Ini sudah enam tahun sejak ia meninggalkan Surabaya,
beradu nasib di Jakarta. Sejauh mungkin ia berusaha melupakan semua hal yang
berada di sana. Bukan karena ia tidak suka, namun, lebih kepada karena ada satu-satunya
hal yang belum selesai di sana. Perasaannya.
Juno.
“Apa yang kau pikirkan?”
Rizki sontak menoleh ke
arah sumber suara. Ia melihat seorang wanita menghampirinya.
“Tidak ada,” jawabnya
sambil berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum. Ia lalu mengambil cangkir kopi
lalu menyesapnya, merasakan rasa pahit yang perlahan mampir di lidahnya.
Wanita itu mengambil
tempat duduk di hadapannya lalu menyunggingkan senyum. “Perasaanku mengatakan
bahwa kau berbohong. Dan orang-orang bilang bahwa perasaan—apalagi perasaan
seorang wanita—tidak pernah bohong.”
Rizki menelan ludah. Dia bisa merasakannya.
Entah sudah berapa kali
wanita itu bisa merasakannya. Dan Rizki selalu merasa bahwa ia tampak begitu
transparan jika berada di hadapannya. Wanita itu, Dessy, satu-satunya orang
yang membuat pria itu kembali berani membuka hati.
“Jadi, apa?” tanya
Dessy lagi.
Pria itu menyodorkan
sebuah kotak berwarna biru gelap. Dessy mengambilnya lalu membuka.
“Undangan pernikahan
Christine dan Derry,” wanita itu membacanya pelan-pelan lalu menatap mata Rizki
dengan dahi berkerut. “Aku tak pernah tahu ada temanmu yang bernama Christine
dan Derry.”
“Teman SMA-ku,” jawab
Rizki singkat lalu melemparkan pandangannya ke arah jalan.
“Di Surabaya?”
Rizki mengangguk.
“Mau datang?”
Deg.
Sejujurnya hal inilah yang mengganjal pikirannya. Jika Rizki datang maka ia
pasti akan bertemu dengannya. Juno.
“Kau mau ikut?” Rizki
balik bertanya lalu melihat Dessy menyesap tehnya yang entah kapan ia pesan.
Dessy mengerlingkan matanya.
“Memangnya aku boleh ikut?”
Pria itu mendadak
terdiam. Lidahnya kelu. Ia sama sekali tidak bisa membayangkan jika nantinya
Dessy akan bertemu dengan Juno.
Membaca situasi, Dessy
kembali berujar, “Tampaknya aku tetap tidak bisa ikut. Tanggal segitu aku lagi
dinas ke luar kota. Nggak apa-apa kan kalau kamu sendiri? Atau aku batalin aja
dinasku?”
Pria itu mendadak
merasa tidak enak. “Nggak apa-apa.”
“Aku yakin, ini bukan
tentang undangan ini,” kata Dessy lalu menghela napas panjang.
“Eh?”
“Ini lebih dari sekadar
undangan. Ya, kan?” tebaknya.
Rizki ikut-ikutan
menghela napas panjang. Ia memang tak bisa berbohong di hadapan Dessy. “Aku
belum menceritakan semuanya tentangku padamu.”
Selama ini, Rizki
menutup semua masa lalunya dan tidak menceritakan apapun kepada siapapun.
Bahkan Dessy. Dan ia merasa, sudah waktunya ia membukanya.
Dessy mengambil tangan
Rizki, menggenggamnya erat. Sangat erat. “Sesungguhnya, aku ingin mendengarnya.
Namun, aku rasa bila kau tidak merasa nyaman, maka aku tidak akan
menanyakannya. Bagiku, kau ada di sini saja sudah cukup.”
“Tidak apa-apa,” ujar
Rizki sambil tersenyum. “Aku akan menceritakannya padamu.”
Setelah ia berkata
seperti itu, bergulirlah kisah tentang masa lalunya. Masa sekolahnya. Agus,
Christine, Derry, Arma, dan terakhir Juno. Dessy memerankan perannya dengan
baik. Ia hanya diam saja, berusaha menjadi pendengar yang baik.
“Kau masih
mencintainya?” tanya Dessy setelah kisah Rizki berakhir.
“A—aku tidak tahu.
Hanya saja, ada yang mengganjal. Kau tidak marah?”
Dessy tersenyum. “Nggak.
Sama sekali nggak. Kalau kecewa, pasti.”
Rizki menunduk, merasa
bersalah. “Maafkan aku.”
“Kau tidak perlu
meminta maaf. Bagiku, kau melakukan hal yang benar,” ucap Dessy menenangkan.
“Aku tidak akan pergi
ke sana,” tiba-tiba pria itu memutuskan.
“Menurutku kau harus
pergi. Kau harus menyelesaikan apa yang sudah ada sejak dulu. Karena dengan
begitu, kau akan memandang masa lalu dengan senyuman. Bukan ketakutan.”
“Tapi, kau—”
“Aku tidak apa-apa. Aku
percaya padamu,” tutup Dessy sambil tersenyum
Rizki dapat melihat
keseriusan di wajah Dessy. Dan inilah yang ia suka dari wanita itu. Perlahan
namun pasti, Rizki menarik ujung-ujung bibirnya, tersenyum. Dan tulus.
“Terima kasih,” ucapnya
dengan nada bergetar.
Sebagai balasan dari
kata-kata itu, Dessy semakin melebarkan senyum.
*
Seperti
yang dapat ia duga, pertemuan dengan Juno sama sekali tidak mudah. Ia akhirnya
menemukan jawabannya, lewat sebuah surel yang ia terima. Arma pun ikut
memberikan nasihat.
Handphone
Rizki tiba-tiba berbunyi. Rizki berusaha mengendalikan dirinya sebelum
mengangkatnya. Dia membaca nama yang tertera di layarnya. Dessy.
“Halo?”
jawab Rizki.
“Halo?
Rizki, kamu kenapa?”
“Eh...
nggak apa-apa, cuma sedikit flu,” Rizki berbohong.
“Eh?
Flu? Nggak apa-apa? Sudah ke dokter?”
“Nggak
apa-apa, kok,” kata Rizki. “Cuma flu ringan. Ngomong-ngomng ada apa?”
“Nggak
ada apa-apa,” jawab Dessy. “Hanya saja tiba-tiba perasaanku nggak enak jadi aku
meneleponmu. Aku khawatir terjadi sesuatu.”
Rizki
tertunduk. Dia bisa merasakannya.
“Mmm.
Kalau ternyata tidak terjadi sesuatu, aku tutup ya teleponnya.”
“Des!”
cegah Rizki.
“Umh?”
“Aku...”
“Ya?”
Dessy masih sabar menunggu kelanjutan kalimatnya.
“Aku
mencintaimu,” kata Rizki akhirnya.
“Aku
juga.”
KLIK.
Tepat
saat telepon ditutup, playlist sampai pada lagu One
Day in Your Life.
Rizki
tertunduk di kursi. Dan mulai menangis. [1]
*
[1] Scene terakhir diambil langsung dari novel Seandainya.
[2] Cerita ini diikutkan dalam giveaway Heart and Soul dari Windhy Puspitadewi dan @fiksimetropop
Tidak ada komentar
Posting Komentar