CECAP
Rafandha
Ibu selalu bilang bahwa hidup tak
ubahnya seperti sebungkus rujak yang biasa ia jual. Kadang, kita akan mengambil
buah yang sangat asam. Tapi, setelahnya, kita akan mendapatkan buah yang manis
dicecap. Begitu seterusnya sampai semuanya habis dimakan. Ibu percaya, hidup
selalu akan ada dalam siklus yang seperti itu. Kadang sedih, kadang gembira. Akan
tetapi, tetap saja nikmat untuk dijalani.
Aku masih ingat saat ibu bilang hal
tersebut. Di suatu senja yang mendung, saat kami berdua duduk-duduk di teras
dan mengupas kulit embem untuk ibu
jualan esok paginya. Saat itu, aku—seorang gadis tujuh belas tahun—hanya bisa
mengangkat alis lalu bertanya, “Jika Ibu mengibaratkan hidup seperti itu,
kenapa nggak semuanya dibuat manis aja?”
Ibu berdeham. “Kadang, kita butuh rasa
asam untuk menetralkan rasa di lidah.”
“Tapi, kalo manis semua kan jadinya
enak? Gak perlu susah-susah mencecap suatu hal yang rasanya masam?”
Mendengarku berbicara seperti itu, ibu
malah menarik ujung-ujung bibirnya lebar, tersenyum sedangkan aku
menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal karena bingung.
“Nanti kamu akan tahu sendiri,” ujarnya
sambil tetap tersenyum.
Aku pun membalas dengan anggukan.
Sementara, tanda tanya itu tetap ada di
kepala.
*
Aku baru menyadari ucapan ibu saat
usiaku menginjak dua puluh tujuh—sepuluh tahun sejak kejadian di teras rumah
waktu itu. Saat ini, tempat dan suasananya masih sama. Hanya waktu yang telah
berjalan lebih lama. Keriput di wajah ibu sudah tampak banyak. Wajahnya sudah
sayu menginjak usia lima puluh.
Aku duduk di hadapannya sambil
membawakan dua cangkir teh hangat tawar untuk kami. Ketika aku datang, ia hanya
memandangiku sambil tersenyum. Tak ada suara di antara kami. Hanya suara angin
sambil sesekali diiringi suara deru kendaraan yang melintas di depan rumah
kami.
Aku menatapi lagi wajahnya lalu berujar
pelan sembari menunduk, “Aku ingin bercerai.”
Sama sekali aku tak berani menatap
wajahnya dan ia pun tidak bersuara.
“Aku ingin bercerai, Bu,” ucapku lagi,
kali ini dengan nada yang sedikit keras.
Kudengar ibuku hanya menggumam sebentar
lalu kembali diam. Suasana mendadak kikuk.
“Kenapa Ibu tidak bilang apa-apa?”
tanyaku frustrasi melihat sikap diam ibu.
Ibu kembali tersenyum lalu menyeruput
tehnya. Setelah itu, dengan pelan, ia meletakkan kembali ke atas meja.
“Kau ingin Ibu bilang apa?” ia balik
bertanya.
“Apapun,” jawabku cepat. “Tanyakan
kenapa, ada apa, bagaimana—”
Ibu menoleh menghadapku. Kedua mata
kami bertemu. “Lalu, kau akan jawab apa?” tanyanya lagi.
Aku mendesah. “Semuanya,” jawabku. “Semuanya.
Bahwa Mas Awan ternyata berselingkuh dengan perempuan lain dan aku memergokinya
sedang berduaan di hotel. Dan itu sudah berlangsung selama satu tahun ini.
Bahwa aku pura-pura bohong selama ini dengan mengatakan aku baik-baik saja padahal
tidak sama sekali. Aku tersiksa, Bu,” ucapku sambil terisak.
Lagi-lagi, aku tak mendengar suara.
“Kalau begitu, kau mau apa?” Ibu
bertanya lagi setelah lebih dari satu menit bungkam.
“Bukankah sudah jelas, Bu? Aku mau
bercerai.”
“Perceraian bukanlah jalan terbaik.”
“Tapi, bukankah itu yang Ibu lakukan
dulu?” kataku.
Ibu mengalihkan pandangannya dariku
lalu beralih menatap jalan. “Berbeda. Keadaannya sangat berbeda. Ini yang akan
terjadi jika kau selalu menghendaki rasa manis. Kau selalu berupaya sekuat
tenaga untuk menciptakan keluarga harmonis yang pada akhirnya akan melukai
kalian berdua,” ucapnya pelan.
“Apanya yang berbeda, Bu?” Aku menuntut
penjelasan. “Bukankah sama saja? Ibu bercerai dengan pria itu saat pria itu
lebih memilih wanita lain untuk menemaninya sepanjang hidupnya,” lanjutku.
“Ibu hanya merelakannya pergi, Kirana.
Ia tidak mencintai Ibu. Kami dijodohkan begitu saja. Saat Ibu mencintainya
ternyata ia tidak membalasnya. Ia pantas bahagia. Mungkin baginya Ibu hanya
rasa asam dalam hidangan rujaknya, yang bila ia makan berlebihan setiap hari
bisa membuat ia sakit. Tapi bagi Ibu, ia tak ubahnya rasa manis buah-buahan
itu. Akan tetapi, sayang, bila buah terasa terlalu manis, maka akan jadi
cenderung pahit.
Kau tahu, hari-hari setelah itu sangat
sulit bagi Ibu. Di satu sisi, Ibu patah hati. Namun, di sisi lain, ada satu
kehidupan lain yang harus Ibu penuhi. Kamu,” lanjutnya lalu menatapku sambil
tersenyum.
Matanya berkaca-kaca. Aku yakin Ibu
pasti sedang mengumpulkan memorinya yang telah berserakan.
Tak pernah kulihat Ibu seemosional ini.
Dan baru kali ini juga aku mendengar cerita itu. Selama ini, Ibu selalu menolak
bercerita tentang Ayah dan aku hanya tahu dari orang-orang samar-samar
kejadiannya. Selain itu juga, kulihat Ibu lebih banyak diam, menutup dirinya
semenjak bercerai dengan Ayah saat umurku menginjak tujuh tahun. Selama itu
pula ia mati-matian untuk menghidupiku, menyekolahkanku, hingga akhirnya aku
bisa bekerja dan mempunyai keluarga seperti sekarang.
“Ibu hanya tidak ingin kau menjadikan
Ibu inspirasimu untuk hal-hal yang tidak perlu. Bukankah kau mengambil
keputusan ini karena kau sudah melihat contoh nyatanya di dalam diri Ibu?”
Mau tidak mau aku mengangguk. Ibu di
mataku adalah sosok yang kuat, tak pernah menangis, selalu berusaha sekuat
apapun untukku. Dan itu yang membuatku yakin dan tanpa ragu-ragu mengambil
keputusan untuk bercerai. Karena aku melihat Ibu berhasil melakukannya.
“Kau tahu apa yang membuat ibu
bertahan?” tanyanya lagi.
Belum sempat aku menjawab, ia berkata
lagi, “Kau. Kau seperti rasa manis di dalam rasa asam hidup yang Ibu jalani.
Kau menetralkan segalanya, Kirana.”
Aku menelan ludah. Bulir air mata jatuh
kembali. Pandanganku terhadap Ibu berubah drastis. Kini, aku melihat kerapuhan
di matanya. Mungkin ini adalah sosok aslinya. Sosok yang selalu ia berusaha
mati-matian untuk tutupi di hadapanku. Sosok yang ia simpan untuk dirinya
sendiri. Di dalam kepalaku sudah terbayang bagaimana susahnya Ibu saat membesarkanku,
melihat orang yang dicintainya terpaksa harus ia relakan. Semakin kenangan itu
berputar, Ibu perlahan-lahan menjelma menjadi kekuatanku.
“Perceraian itu tidak mudah Kirana.
Perceraian itu tidak baik. Dan Ibu memang contoh nyata untuk itu. Jangan kau
lihat Ibu dengan mudah melewati itu. Tidak. Itu sulit. Sangat sulit. Dan Ibu
tidak ingin kau juga melewatinya,” tutupnya.
Aku menghela napas berat, menahan
isakan. Kini aku tahu, ia tidak ingin aku menjadikannya inspirasi. Karena ia
tidak ingin aku berada dalam posisi sepertinya. Ia ingin aku menjalani hidup
seperti rujaknya. Asam dan manis. Tak cukup asam untuk menderita dan tak cukup
manis untuk terlalu bahagia. Ia ingin aku hanya menikmati hidupku sendiri.
“Kau sudah tanya Awan mengenai masalah
ini?”
Aku menggeleng.
“Paling tidak kau harus bicarakan
masalah ini antara kalian berdua. Keluarkanlah rasa asam dan manis kalian
selama ini. Lalu nikmatilah bersama. Setelah selesai, kau akan yakin untuk
memilih keputusan apapun yang akan kau buat.”
Aku mengangguk lalu mengambil cangkir
tehku yang telah dingin. Lagi-lagi, suasana membeku di antara kami.
“Bu, apa Ibu masih mencintai A—ayah?”
tanyaku padanya kaku. Pandangannya masih menerawang jauh menelusuri kenangan.
Ibu mengambil tehnya lagi lalu menatap
mataku lembut. “Selalu. Dan tak akan pernah berubah sampai kapanpun.”
“Ibu menyesal telah bercerai?”
Ibu menggeleng. “Mungkin itu adalah
keputusan paling tepat yang pernah Ibu lakukan.”
*
Nama :
Bimo Rafandha
Akun
Twitter : @bimorafandha
#GASHariIbu
Tidak ada komentar
Posting Komentar