Surat Cinta untuk Indonesia

Halo, Indonesia.

Bagaimana kabarmu? Sedang sibuk-sibuknya? Sedang kalut-kalutnya? Aku menulis ini ketika tiba-tiba saja mengingatmu. Saat mataku memandang ke arah jalan, senja yang datang merapat, diiringi suara samar televisi yang memutar berita, aku mengingatmu.



Indonesia,

Tepat sehari setelah hari ulang tahunmu nanti, kau akan merayakan perhelatan besar. Di saat itulah, mata seluruh penjuru Asia menatapmu dengan harap. Di tengah huru-hara saat ini, mungkin kau akan sedikit gugup, mungkin akan takut. Mungkin kau malah akan bertanya-tanya dalam hati: bagaimana jika semua tidak berjalan lancar? Bagaimana jika ada yang kurang? Bagaimana jika kau malah menghancurkan semua?

Untuk itu, aku mengirimimu surat. Sepucuk surat agar kau melihat.


Indonesia,

Sebelumnya, izinkan aku bercerita. Tentang dua orang pejalan yang sedang mencari jati diri. Dua orang asing yang berteman karena satu keadaan. Saat matahari baru sepenggalan naik, mereka bertemu di tepi sungai Musi. Keduanya duduk, membicarakan mereka, mimpi-mimpi mereka, arah kehidupan mereka. Mereka menceritakan semuanya. Lalu, ketika matahari tepat berada di tengah, mereka menaiki ketek menyusuri sungai.

Kala itu, tak ada pikiran apa-apa yang ada di benak mereka. Tujuannya hanya satu, sebuah destinasi wisata baru kota Palembang yang buka pada hari itu. Hanya iseng, pikir mereka. Kapan lagi mengunjungi tempat wisata yang ada di kota Palembang?

Tapi, kau tahu? Kadang kita mendapat lebih dari apa yang kita harapkan, jika kita mau sejenak berpikir.

Hari itu, panas yang menyengat kulit, semua berjalan sesuai rencana. Riuh. Semarak. Pelbagai jajanan hadir di halaman rumah Baba Ong Boen Tjit, saudagar kaya dari Tionghoa yang menetap di Palembang ratusan tahun lalu. Dan di tengah suara-suara itu, dua pejalan ini termenung. Ada satu hal yang mengusik mereka. Tepat di sudut halaman rumah itu, mereka lihat anak-anak bermain ayunan. Ikut riuh dalam suasana yang ramai. Senyum tak henti terlihat dari wajah mereka. Sesekali, mereka saling dorong. Ada yang terjatuh, namun dengan cepat mereka bangkit kemudian kembali tertawa. Beberapa saling berangkulan, saling melempar guyonan hingga tertawa. Tak ada raut kesedihan. Semuanya tampak sama di mata mereka: anak-anak. Tak ada pembeda. Baju bagus, baju usang. Laki-laki, perempuan. Semua membaur. Bermain Bersama.

Anak-anak di Pasar Baba Boentjit tersenyum di depan kamera. (Dok. Pribadi)

Senyum selalu merekah. (Dok. Pribadi)

Pemandangan itu membuat dua orang pejalan ini membeku. Entah dari mana mulanya, mereka mendengar anak-anak itu meneriakkan kata “Indonesia!” dengan lantang. Rasa aneh menjulur di sela-sela bulu kuduk mereka. Mata mereka mencari titik-titik kesedihan. Namun nihil. Yang ada hanya senyuman.



Dua pejalan kaki ini ikut tertawa, tidak menyangka. Di halaman rumah seorang peranakan, semua sama. Di zaman sekarang, bahagia memang begitu sederhana.


Indonesia,

Aku tahu beban ini berat bagimu untuk ditanggung sendirian. Di tengah perbedaan-perbedaan yang menjadi signifikan, kau terus berjuang. Padahal, dahulu kau merdeka atas rasa persamaan ingin kebebasan, tak peduli perbedaan-perbedaan. Namun sekarang, semua dipermasalahkan. Perbedaan dianggap sebagai sebuah hinaan. Kata pemersatu hanya jadi bahan bualan.

Aku ingin skeptis, sungguh. Namun, kisah dua pejalan tadi menggugahku.

Kau tahu, kadang kita belajar dari hal-hal kecil di sekitar kita. 

Lewat anak-anak itu, aku jadi berpikir. Mereka adalah tonggakmu beberapa tahun ke depan. Mereka adalah dirimu beberapa tahun yang akan datang. Mereka adalah kau. Bila sekarang kau sedang berada pada masa-masa sulit karena perbedaan, bukankah semuanya akan jadi lebih baik beberapa tahun ke depan?


Indonesia,

Aku tahu ini takkan mudah. Dan pasti membutuhkan waktu yang lama. Namun, aku ingin kau tahu, aku membawa pesan perdamaian.

Tahun depan, kau memulai babak baru. Setelah lima puluh enam tahun lalu, kau kembali menjamu. Tidak mudah bukan, di tengah hiruk-pikuk segelintir orang yang meneriakkan perpecahan? Padahal ajang itu untuk mempersatukan segala perbedaan. Aku hanya ingin kau tahu, kau selalu punya rakyatmu. Kami selalu memegang punggungmu. Jangan takut, jangan ragu. 

Yakinlah, perbedaan-perbedaan itu akan semakin samar, hilang seperti buih di lautan.

Untuk itu, Indonesia, tak perlu khawatir. Jamulah tamu kita sebaik-baiknya. Bermainlah sebagus-bagusnya. Jadilah bagian dari sejarah panjang kesuksesan ajang olahraga se-Asia. Percayalah ini hanya kerikil kecil bagi bangsa yang besar. Aku yakin kita akan melaluinya dengan mudah. Yakinlah, saat perhelatan itu dilaksanakan, semua akan baik-baik saja. Dan aku percaya demikian.

Kau telah berbenah. Wajahmu telah kau poles cantik sedemikian rupa. Lakukan sekuat yang kau bisa. Sisanya, biarkan kami yang berjaga. Dua ribu delapan belas, kami akan bela. 

Tak ada pertumpahan atas nama perbedaan. Yang ada pesta merayakan persatuan.

Hingga beberapa tahun ke depan, kau akan melihat anak-anak yang dipandangi dua pejalan itu tumbuh besar. Tak ada yang berubah. Mereka akan tetap tertawa. Yang berbeda hanya satu: taman bermain mereka bukan hanya ayunan di sudut halaman. Ekonomi, olahraga, sosial, budaya, dan banyak bidang lainnya. Mereka akan berjuang bersamamu, mengesampingkan perbedaan-perbedaan itu, menjadikanmu bangsa yang lebih besar dan maju. Menuju zaman baru.


Indonesia,

Aku optimis. Tahun depan kita juara.


Palembang, 30 November 2017
Satu dari dua pejalan asing.


1 komentar

  1. Terharu bacanya. Semoga generasi penerus Indonesai tetap tersenyum dan Acara Asian Games di Jakarta & Palembang lancar.

    BalasHapus