(Cerita) Resep Rahasia

"Dunia itu seperti papan tulis putih, Bim. Jika ada satu titik hitam di permukaannya, orang akan cenderung melihat itu."

Kamu membuka percakapan itu pada satu senja. Hujan dan sepiring nasi goreng yang membuat kita terdampar di sudut warung tenda petang ini. Tidak ada warna jingga, hal romantis juga tiada, tapi perbincangan kita lebih seru dari hal picisan semacam itu.

Kita bercerita tentang diri kita masing-masing. Tentang obsesimu untuk jadi sepertiku, dan tentang cerita sunyi obsesiku untuk memilikimu.

"Aku ingin jadi penulis."

Ya aku tahu. Aku tahu kegemaranmu menulis catatan-catatan kecil di note ponselmu. Bahkan tadi aku curi-curi lihat isinya yang masih sama. Setahun ini setidaknya.

"Kenapa?"

Sungguh, aku bertanya. Buat apa menjadi seorang penulis yang hanya bisa memainkan kata namun tidak pandai bersuara. 

"Jadi sepertimu. Aku ingin jadi sepertimu. Tulisanmu begitu hidup. Aku suka."

Hidup? Tidakkah kamu tahu, menulis ini seperti membohongi diri sendiri. Memainkan dua tokoh klasik dan membuatnya jatuh cinta dan hidup bahagia. Sementara aku, tidak mendapat itu.

"Oh ya? Jangan memuji."

Aku tidak suka pujian itu. Pujian yang ditujukan hanya pada tulisanku. Bukannya.. aku. 

"Aku tidak bercanda. Aku ingin bisa menulis sepertimu. Ajari aku."

Ini sudah ketujuh kalinya kamu minta seperti itu. Selama ini aku bergeming, tidak memberikan resep rahasia kepadamu. Tapi apakah kali ini aku menyerah pada senyuman yang membuatku sulit menolak?

"Benar-benar ingin belajar?"

"Ya. Aku ingin tahu resepnya."

"Serius?"

"Ya."

"Kalau begitu patah hatilah. Seperti aku yang patah hati melihatmu dengannya. Seperti aku yang terus jadi tempatmu berbagi sebatas teman saja. Patah hatilah. Lalu menulislah."

Aku berlalu. Ya, patah hatilah. Tulisanku selama ini tentangmu. Patah hati karenamu.


Tidak ada komentar

Posting Komentar