Cerita Ceria di Pasar Baba Boentjit

Semua ini bermula karena satu percakapan. Di dalam perpustakaan Bank Indonesia, di hadapan komputer portabel yang menyala garang.

“Za, tahu Baba Boentjit?”

Saat itu Za melirik saya dengan satu alis terangkat. Tampaknya dua kata itu asing di telinganya. “Abah buncit? Kakek buncit?”

Sejujurnya sama saja. Mendengar nama itu pertama kali, saya pasti berpikiran seperti itu. Saya baru mengenalnya setelah tidak sengaja melihat post Pesona Sriwijaya di salah satu media sosial. Dan ketika melihatnya, saya langsung tertarik.

“Jadi, ada sebuah acara namanya Pasar Baba Boentjit...” Saya mulai menjelaskan. “Kalau lihat di instagram sih kayaknya bagus, Za. Rumah saudagar kaya di tepi sungai Musi. Katanya ada jajanan, budaya, demo masak, dan.... artis.”

Telinganya langsung membesar selesai saya berbicara. Ada binar mata tertarik yang terpancar.
“Ayo!” Za berkata dengan semangat.

Dalam hati, saya tertawa. Benar saja ia pasti tertarik. Beberapa minggu ke belakang, kami memang sedang mencoba hobi baru. Menjadi pembuat konten. Dan mengetahui ada acara seperti ini, pasti tidak akan dilewatkan.



Begitulah. Dua mahasiswa tingkat akhir yang nunggu sidang skripsi yang berharap ketemu artis orang ini memutuskan untuk pergi ke Pasar Baba Boentjit Minggu (26/11). Sedari pagi, saya sudah mewanti-wanti Za untuk datang pagi. Maklum, indekosnya di Inderalaya dan saya nggak mau ambil risiko buat terlambat. Kami berjanji untuk bertemu di KFC Dermaga pukul 10 pagi. Di rumah, semua sudah saya persiapkan. Powerbank? Checked! Action cam? Okay! Dua senjata itu sudah saya masukkan ke dalam tas. Kali ini memang saya mengandalkan keduanya sebab ponsel saya sedang rusak. T.T

Di waktu yang telah dijanjikan, akhirnya kami berjumpa. Setelah sejenak brunch di KFC, saya dan Za keluar dan berjalan ke Tugu Belido. Menurut informasi yang kami dapat, tersedia ketek gratis sebagai alat transportasi menuju ke sana. Kami menemukan panitia yang berbaju hitam dengan tulisan Pasar Baba Boentjit yang berdiri di sana. Tak lama kemudian, kami pun disuruh naik ke ketek.

Kala itu, pukul dua belas lewat sedikit, kapal kami melaju, memecah ombak menuju 3-4 Ulu.

Menikmati sungai sembari menuju lokasi. (Dok. Pribadi)


PASAR BABA BOENTJIT: FESTIVAL RAKYAT KEKINIAN DI TEPIAN SUNGAI MUSI

Setelah kurang lebih sepuluh menit, akhirnya kami tiba di lokasi acara. Dari atas kapal yang saya naiki, saat akan menepi, sudah tampak hiasan yang terbuat dari anyaman nipah beraneka yang menempel di pagar. Dan ketika menginjakkan kaki pun, satu kata yang terlintas di pikiran saya: kekinian.

Panorama dari dalam kapal ketika akan menepi. (Dok Pribadi)

Pasar Baba Boentjit terletak di 3-4 Ulu, tepat di pingiran sungai Musi. Menurut info yang saya baca, lokasi ini merupakan peninggalan Baba Ong Boen Tjit, seorang saudagar Tiongkok yang amat terkenal pada zamannya. Rumah ini berada di Lorong Saudagar Yucing No. 55 RT 050 RW 002 Kecamatan Seberang Ulu 1. Dan ketika membaca ini, yang saya pikir, suasana pasarnya akan sepi dan nggak terlalu hype. Namun, saya salah. Tempat ini mungkin akan jadi favorit anak kekinian.

Ketika baru turun dari kapal, ada semacam tirai yang terbuat dari daun nipah yang bertengger di pintu masuk. Tirai itu seakan-akan sudah siap menyambut para pengunjung yang nantinya akan menghabiskan waktu di sana. 

Tirai selamat datang (Dok. Pribadi)

Setelah melewatinya, saya dan Za pun mengisi buku tamu di meja registrasi. Dan, voila! Dapat snack! Ada srikaya ketan, roket, dan kumbu yang ada di dalamnya. Makanan khas Palembang tersebut sayangnya nggak saya foto. T.T

Registrasi dulu.  (Dok. Pribadi)

Selesai salat sejenak di musala dekat situ, saya dan Za pun akhirnya masuk kembali ke lokasi acara. Barulah saya dapat mengamati setiap sudutnya. Di hadapan kami, dua buah rumah berdiri. Di depannya, sebuah halaman luas dipenuhi dengan bangku-bangku kecil dan meja-meja yang terbuat dari kayu. Nantinya, meja dan kayu ini bisa dipakai pengunjung untuk menyantap makanan yang tersaji. Di sebelah kanan, dekat pintu masuk, sebuah kapal tua bertengger dan menambah kesan vintage. Di sebelah kirinya, sebuah ayunan untuk sekadar berfoto sudah terpasang lengkap dengan hiasan anyaman nipah.

Suasana ketika baru sampai. Masih belum terlalu ramai. (Dok. Pribadi)

Maju lagi ke depan, di deretan sebelah kiri, terdapat pondok-pondok yang menjual pelbagai makanan khas Palembang. Jika diperhatikan lebih teliti, atapnya pun terbuat dari anyaman nipah, loh! Tak kurang, ada empat pondok di Festival Kuliner Trimpat Ulu: Ampera Bridge, Kuto Besak Fort, Musi River, dan Kemaro Island. Keempat pondok ini menyajikan makanan yang dijamin pasti bikin lapar seperti ragit, lakso, mi celor, kumbu, kue gandus, pempek, tekwan, rujak mi, lemper, dan es kacang. Semuanya itu dapat pengunjung nikmati dengan harga yang bervariasi.

Pondok penjual jajanan khas Palembang.  (Dok. Pribadi)

Contoh penanda nama pondokan yang kreatif!. Lihat atapnya dari anyaman nipah!  (Dok. Pribadi)

Selalu ramai dikunjungi pembeli. (Dok. Pribadi)

Di deretan sebelah kanan dari pintu masuk, kita akan disambut dengan anyaman nipah yang disusun sedemikian rupa yang dapat digunakan sebagai latar belakang buat foto-foto ala kids jaman now. Anyaman itu diwarnai beraneka macam sehingga menarik perhatian. Dan di ujungnya, tepat di sudut kanan dekat rumah, terdapat panggung kecil yang digunakan untuk acara.

Tempat foto kids jaman now.  (Dok. Pribadi)

Melihat itu semua, meski hanya dari halamannya saja saya sudah dapat pastikan bahwa tempat ini akan menjadi hits di instagram. Benar saja, setelah agak lama saya berada di sana, di setiap sudutnya, hampir tak pernah kosong orang-orang yang mengambil gambar. Ada yang selfie, groupie, ada yang sekadar mengambil orang yang sedang mengambil gambar, atau memfoto sekitar. Semuanya tumplek-blek di sana.

Ada satu hal lagi yang bikin saya dan Za tertarik: rumah Baba Ong Boen Tjit yang ada di hadapan kami. Sedari tadi, orang-orang tak hentinya berlalu-lalang di sana. Kami pun memutuskan untuk berkeliling sebentar sebelum acara dimulai. Dan benar saja, keputusan itu tak pernah salah.

Pintu masuk rumah Baba Boentjit yang selalu ramai.  (Dok. Pribadi)

Rumah Baba Ong Boen Tjit adalah tipikal rumah Tionghoa yang pernah saya kunjungi di kampung Kapitan. Namun dengan versi yang lebih terawat. Rumah panggung ini bernuansa merah-emas yang masih kental dengan kayu-kayu yang berusia ratusan. Memasuki pintu depan, saya dan Za langsung disambut dengan ruang tamu yang cukup luas. Di dinding-dindingnya, terdapat foto-foto sang empunya rumah, lengkap dengan berbagai ukiran-ukiran berwarna emas. Jendela-jendela besar khas rumah Palembang pun menambah kesan tua yang magis.

Ruang tamu yang luas.  (Dok. Pribadi)
Salah satu sudut ruang tamu. Terdapat foto-foto keluarga.  (Dok. Pribadi)

Ke ruangan selanjutnya, nuansa merah semakin menjalar. Terdapat altar doa dengan wangi dupa yang khas di sana. Altar ini digunakan untuk mendoakan para leluhur yang telah tiada. Pintu-pintu dan lemari-lemari kayu berwarna cokelat menghiasi pinggir kanan dan kirinya.

Altar doa. (Dok. Pribadi)
Merah manggis yang kental. (Dok. Pribadi)

Di ruang terakhir, paling ujung, nuansa hijau-putih lebih mendominasi. Ruang keluarga dan ruang makan berbaur jadi satu untuk suasana yang lebih santai. Semua ruangan di rumah ini sangat instagramable, cocok bagi orang-orang yang mau merapikan lini masa instagram. Hahaha! Saya dan Za sendiri amat menikmati berkeliling di rumah ini. Selain karena mengingatkan saya dan Za ketika berkunjung di kampung Kapitan, kami memang menyukai hal-hal yang berbau ‘lama’. We are kidz jaman old.

Atap ruang terakhir. (Dok. Pribadi)

Setelah puas berkeliling, kami pun singgah ke rumah yang berada di sebelahnya. Arsitektur rumah di sebelahnya amat berbeda dengan banyak ruang-ruang kecil seperti bilik. Barulah setelah mendengar penjelasan, ternyata rumah ini adalah..... (cari tahu di bawah!) :p Di rumah ini, pameran foto tentang perayaan Tionghoa tersaji. Rasanya seperti melihat kebudayaan lain yang sama sekali nggak asing.

Bangunan apakah ini? (Dok. Pribadi)
Interior yang klasik.  (Dok. Pribadi)
Pameran foto di setiap dindingnya. (Dok. Pribadi)

Kami pun akhirnya kembali ke kursi-kursi kecil yang berada di tengah halaman, sekadar duduk sambil iseng-iseng bikin time lapse sebelum acara dimulai.


KENALI TRADISI LEWAT ACARA SERU YANG BIKIN HAPPY


Pukul dua lebih sedikit, acara Pasar Baba Boentjit dimulai. Ya, pukul dua lebih sedikit. Di tengah terik matahari yang menyengat, akhirnya acara dibuka oleh dua MC. Kalau dari poster sih namanya Cek Fikri dan Cek Sisilia. Keduanya membuka acara dengan lucu dan seru. Setelah itu, acara serimonial berturut-turut dilakukan mulai dari pembukaan, penampilan tari peranakan, sambutan ketua pelaksana Generasi Pesona Indonesia (Genpi), dan sambutan dari perwakilan pariwisata. Terakhir ada doa dan penutup. Nah, setelah semuanya selesai, barulah acara ‘sebenarnya’ dimulai.

Duo MC. (Dok. Pribadi)

Pentas tari peranakan. (Dok. Pribadi)

Pertama, pertunjukan akustik dari M-MKR Band membangun suasana yang sudah panas menjadi lebih adem. Alunan gitar dan biola mengisi sudut-sudut tempat acara. Tak lupa suara merdu si mbak vokalis sukses bikin saya meleleh selain karena panas tentunya

Akustikan dulu. (Dok. Pribadi)

Sesudahnya, acara yang digemari ibu-ibu pun ikut-ikutan dimulai. Di sisi sebelah kiri, dekat pembakar kemplang tunu dan penganyam daun nipah, demo masak pindang oleh chef Kukuh hadir! 
Puluhan orang langsung menyerbu tempat demo masak. Saya dan Za pun nggak mau ketinggalan. Dari dekat, saya bisa melihat banyak sekali bahan makanan yang ada. Rupanya chef Kukuh bukan hanya memasak satu jenis pindang, melainkan lima! Catat: lima! Ada pindang tulang, pindang telok gabus, pindang baung, udang galah, dan pindang patin. Chef Kukuh bilang memasak pindang sebenarnya mudah dan tidak memakan waktu yang lama. Kecuali untuk pindang tulang, bahannya dimasak terlebih dahulu agar lembut baru dicampurkan ke kuahnya.

Persiapan buat masak pindang! (Dok. Pribadi)

Suasana yang semarak itu semakin menjadi ketika kehadiran artis ibu kota: Dinda Kirana. Orang-orang yang mendengar kabar itu pun kembali menyerbu tempat demo masak. Suasana berhimpitan terjadi. Saya dan Za yang merasa sesak langsung memutuskan untuk melipir, kembali ke tempat duduk kami. Perut saya pun terasa keroncongan. Saya dan Za kemudian memutuskan untuk mencoba jajanan pasar yang ada di sana.

Overdosis gula. Pemanis yang bikin happy. (Dok. Pribadi) 
Hasil pindang yang dimasak setelah beberapa saat. :9 (Dok. Pribadi)

Setelah galau membeli karena banyaknya pilihan yang tersedia, akhirnya pilihan kami jatuh pada ragit, lakso, dan mi celor. Za memilih ragit karena sejak pertama kali melihat, ia penasaran dengan rasanya. Za sama sekali nggak tahu apa itu ragit dan baru pertama kali jumpa di pasar ini. Sedangkan saya sudah tahu ragit dan lakso. Untuk lakso sendiri, saya belum berkesempatan untuk mencicipi. Dan di sinilah akhirnya saya mencoba. Dan mi celor adalah pilihan aman jikalau kami nggak suka makanan sebelumnya.

Banyak pilihan makanan. (Dok. Pribadi)

Namun, setelah memakannya, kami malah jatuh cinta. Za sendiri amat menyukai ragit. Kuah karinya amat pas dipadukan dengan semacam roti canai yang ada, katanya. Saya sendiri merasakan sensasi makan yang baru: seperti makan mi namun dengan kuah opor. Enak! Tak butuh waktu lama bagi kami untuk menghabiskannya bersama mi celor. Emang ya, makanan Palembang enak semua. :”D

Tripple Hunger Killer. Atas kiri: Ragit. Bawa kiri: Lakso. Samping kanan: Mi Celor. (Dok. Pribadi)

Setelah acara demo masak selesai, terdapat drama “Legenda Antu Banyu” yang dipentaskan di panggung oleh Stisipol Candradimuka. Sayangnya, saya dan Za baru menontonnya ketika drama tersebut hampir habis.

Legenda Antu Banyu 'Cantik'. (Dok. Pribadi)

Sesudahnya pun, kami pergi ke workshop kerajinan nipah yang terlaksana di sudut kiri lapangan. Nipah adalah tanaman yang biasa ada di pinggiran sungai. Nah, oleh masyarakat sini, tanaman itu diubah menjadi berbagai kerajinan. Saya dan Za melihat bagaimana para ibu-ibu sangat cekatan menyusun satu per satu nipah lalu menganyamnya menjadi wadah seperti nampan dan piring. Dan semua itu sudah ada turun-temurun sejak dahulu. Selain itu ada yang membakar kemplang tunu khas Palembang juga. Berbagai penjuru mata menyaksikannya dengan takjub. Saya pun begitu. Keahlian yang seperti ini adalah tradisi-tradisi yang seharusnya terus dilestarikan. Mulai dari makanan, legenda, hingga kerajinan. Semuanya agar kita ingat. Tidak lupa.

Membakar kemplang. (Dok. Pribadi)

Membuat anyaman nipah. (Dok. Pribadi)

Dan psst... di sudut terdalam rumah Baba Ong Boeng Tjit, saya dan Za masuk dengan hati-hati. Satu per satu rahasia terkuak. Dan sebuah cerita bergulir begitu saja...



BABA DISAYANG, BABA YANG MALANG


Di satu senja yang nggak begitu ramai, seorang pria baya berusia lima puluhan duduk bersila. Di depannya, rombongan anak-anak SMA memakai baju pramuka duduk dalam diam. Pak Budiman, keturunan ke delapan Baba Ong Boen Tjit memberikan ceritanya mengenai rumah yang sedang kami tempati ini. Kala itu, kami duduk bersama di ruangan paling ujung rumah ini.

Dengan nada yang serius, beliau mulai bercerita. Rumah ini dibangun pada tahun 1800-an. Beliau sesungguhnya sama sekali nggak menyangka usia rumah ini selama itu. Yang ia tahu, rumah ini sudah ada ketika ia lahir. Barulah, ketika seorang biksu dari Tionghoa datang berkunjung, sebuah rahasia terkuak. Di balik altar doa tersebut, biksu itu membuka. Sebuah silsilah keluar. Dan barulah sang keluarga tahu bahwa rumah mereka jauh lebih lama dari apa yang mereka kira.

Pak Budiman bercerita sejarah rumah ini di ruang paling belakang. (Dok. Pribadi) 

Kami mendengarkannya dengan takjub. Bagi saya sendiri, hal-hal seperti itu selalu bisa bikin saya merinding. Sebuah kebenaran yang terungkap setelah sekian lama. Sebuah rahasia yang nggak tahu asal usulnya.

Saya pun baru mengetahui, tempat yang dipakai buat pameran foto tadi adalah sebuah gudang dari sang saudagar dari Tionghoa. Ong. Marga keturunan raja. Daerah sekitar pun mengenali. Sampai saat ini, rumah tersebut masih asli terbuat dari kayu ulen. Kayu-kayu itu dipasak sehingga jadi fondasi yang kokoh. Saat ini, semua keluarga hanya akan datang saat ada kematian. Arsitekturnya pun merupakan akulturasi budaya Palembang dan Tionghoa sebab leluhurnya menikah dengan orang asli Palembang.

Menunjukkan silsilah keluarga. (Dok. Pribadi)

Rumah ini juga sering dikunjungi oleh orang-orang di antaranya pak Taufik Kiemas dan Eddy Santana. Wisatawan luar pun sering datang mulai dari Australia, Tiongkok, Jepang, Singapura, dan lain-lain. Semuanya ingin mengetahui dan mengamati struktur bangunan dari rumah Ong Boen Tjit. Pak Budiman pun mendapat banyak penghargaan. 

Namun, dengan pengakuan yang seperti itu, ada ironi yang menyertai. Dengan mata yang berkaca-kaca dan nada yang sedikit meninggi, Beliau mengatakan bahwa pemerintah sama sekali belum turun tangan untuk perawatan. Padahal ini adalah sebuah budaya yang patut dilestarikan. Selama ini, perawatan dilakukan oleh sang keluarga sendiri sedangkan untuk perawatan kayu, biaya yang diperlukan tidak sedikit. Pak Budiman berharap pemerintah dan semua orang ikut turut melestarikan peninggalan budaya ini.

Dia yang berjuang sendirian. (Dok. Pribadi)
Saya dan Za baru pulang ketika matahari mulai terbenam. Dengan kembali menggunakan ketek seharga lima ribu rupiah, banyak hal yang kami dapat di Pasar Baba Boentjit ini. Saya bisa tahu sejarah-sejarah yang tak ada di dalam buku, sejarah-sejarah yang terucap dari satu leluhur ke leluhur, dari satu cerita ke cerita lain. Saya pun dapat mengenal banyak hal seperti makanan Palembang dan tradisi-tradisi masyarakatnya. Dan semua itu dibalut dengan acara yang seru.


Pulang. (Dok. Pribadi)

Secara garis besar, acara ini sangat menyenangkan. Terima kasih kepada semua pihak yang telah menyelenggarakan acara ini. Semoga ke depanya, acara seperti ini semakin banyak diadakan. Bukan hanya sebagai ajang pencarian destinasi wisata baru, tetapi juga ajang untuk menceritakan kembali sejarah yang tak tertuliskan. It’s really great to be here!

Salam dari anak trimpat ulu, (Dok. Pribadi)

*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog Pasar Baba Boentjit dari Genpi Sumsel.


12 komentar

  1. Lengkap Bimo.. udah icip galo2 makanan di sano yo.

    Balik jam berapo kemaren?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha. Alhamdulillah kalau lengkap, Koh. Semoga bermanfaat bagi yang baca. :D

      Kemarin aku di sana sampai selesai. Setelah workshop. Mungkin pulang jam 6 kirang sedikit. Soalnya si Za mau pulang ke Inderalaya. Takut kemalaman. :D

      Hapus
  2. Kece Bim, tulisan jawara nih.

    Semoga menang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah makasih kak udah mampir. :"D

      Aamiin. Wish me luck kak. Heheh.

      Hapus
  3. Bagus kak Bim, nambah wawasan. semoga menang kak ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lain kali kalau ada lagi, Tama bisa dateng juga. Hitung-hitung wisata kota sendiri. Haaha. :D

      Aamiin. :D

      Hapus
  4. Seru banget yah kak Bim, sayang kemarin aku nggak bisa hadir soalnya udah ada agenda lain.

    Semoga menang kak Bim. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sayang yaa. Padahal kalau datang bisa explore bareng. :D Next time deh. Hahahhaa.

      Aamiin. Makasih doanya, Fi. :D

      Hapus
  5. Balasan
    1. Hahha. Malah beneran dikomen gini. :"D Anyway, thanks a lot kak udah mampir! Aamiin doanya. :"D

      Hapus
  6. #DukungBimoHapeBaru

    Anyway... Sayang saya gak ikut.. sorry. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahha, Satu lagi #DukungBimoHapeBaru :"D Aamiin!

      Sayang ya kak nggak ikut. Padahal seru kalau sama-sama. :"D

      Hapus