Permata Di Kawasan Rawa



Apa yang paling membekas di pikiran Anda tentang Sumatera Selatan bila waktu kemarau tiba? Kebanyakan pasti akan menjawab kabut asap. Bencana asap beberapa tahun lalu yang membuat Indonesia dan negara tetangga kewalahan disebabkan oleh kebakaran hutan dan gambut yang sebagian besar ada di Sumatera Selatan. Sampai saat ini, bila musim kering tiba, Sumatera Selatan selalu menjadi perhatian.

Sumatera Selatan adalah sebuah provinsi yang terletak di bagian bawah pulau Sumatera yang berbatasan langsung dengan Lampung, Jambi, dan Bengkulu. Data dari Indonesian National Carbon Accounting System menunjukkan bahwa bentang alam rawa yang ada di Sumatera Selatan mencapai 1.3 juta lahan gambut. Hal ini tergolong besar mengingat luas wilayahnya sendiri kurang lebih sekitar 9.2 juta hektar. Keberadaan lahan gambut sendiri ibarat dua sisi mata koin, keduanya berdampingan. Dengan demografi yang seperti itu, potensi kebakaran lahan gambut di provinsi ini menjadi cukup besar. Namun, tahukah Anda bila dibalik itu semua, di kawasan rawa gambut tersebut ada permata bernama kerbau pampangan?




Ada yang tahu mengenai Pampangan? Pampangan merupakan sebuah daerah yang ada di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, seratus kilometer jauhnya dari Kota Palembang. Karena lahan yang ada di daerah ini kebanyakan adalah lahan rawa gambut, maka masyarakat yang ada di sini membudidayakan sebuah hewan secara turun-temurun. Dan hewan tersebut adalah kerbau rawa atau biasa disebut kerbau pampangan (Bubalus bubalis carabauesis).

Menilik asal usulnya, alkisah di masa Kesultanan Palembang di abad ke-19, kerbau-kerbau dibawa oleh para penggembala dari Teluk Benggala, India ke Pulau Kuro yang ada di daerah Pampangan. Tujuannya untuk diperah susunya kemudian dijadikan makanan khas yaitu puan. Semakin lama, kerbau-kerbau itu dikawinkan dengan kerbau lokal Indonesia sehingga menghasilkan kerbau pampangan. Perkawinan ini menjadikan pemerintah dalam hal ini melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 694/Kpts/PD.410/2/2013 menetapkan kerbau ini sebagai kerbau rumpun lokal yang menjadi sumber daya genetik ternak Indonesia. Menarik bukan?
Kerbau Pampangan Di Tengah Rawa. (Dok. Antara)
Sebagai kerbau lokal, kerbau pampangan memiliki karakteristik yang unik yang berbeda dengan kerbau lokal lain. Kerbau ini memiliki kulit yang tebal berwarna hitam dengan rambut-rambut yang legam. Kepalanya besar dengan muka segitiga pendek agak cembung serta memiliki ruang dahi yang lebar. Bagian bawah lehernya berwarna putih yang membentuk setengah lingkaran. Kerbau pampangan juga memiliki telinga yang panjang. Yang paling menarik perhatian adalah adanya tanduk pendek melingkar ke belakang dan arah ke dalam yang kadang asimetris. Kerbau ini memiliki berat kurang lebih 450 kg buat jantan dan 350 kg buat betina sehingga tampilan badannya cukup besar. Hal yang unik pula adalah kebiasaan kerbau ini yang sepanjang hari berada di kawasan rawa.
Tampilan Fisik yang Unik dari Kerbau Pampangan. (Dok. Antara)
Gagahnya Kerbau Pampangan. (Dok. Antara)
Kerbau pampangan dipelihara secara tradisional yaitu dikandangi secara berkelompok pada malam hari dan dilepas-gembalakan pada siang hari di kawasan rawa. Masyarakat setempat juga kadang menjadikan kerbau pampangan sebagai hewan bantu untuk membajak persawahan. Selain itu, kerbau ini dipelihara sebagai penghasil daging untuk dijual. Namun, perlahan populasi kerbau ini terus menurun. Hingga saat ini, tak kurang dari 5.000 ekor kerbau pampangan yang tersebar di wilayah Sumatera Selatan. Padahal kerbau pampangan memiliki potensi yang lebih besar jika dapat dikelola dengan baik.




Kerbau pampangan merupakan salah satu aset nasional dari tujuh rumpun kerbau lokal asli milik Indonesia. Kerbau ini memiliki banyak potensi bukan hanya untuk sekadar membajak sawah dan dimakan. Di daerah Pampangan, kerbau ini dibudidayakan sebagai penghasil panganan khas lokal Sumatera Selatan. Namun sayangnya, keanekaragaman hayati ini masih belum dikenal dengan baik sebagai sumber pangan. Salah satu yang harus dimanfaatkan adalah susu kerbau pampangan.
Proses Pemerasan Susu Kerbau Pampangan. (Dok. Antara)
Menurut data yang dikeluarkan oleh Kementrian Pertanian, rata-rata kerbau pampangan menghasilkan 8.000 hingga 1.200 liter susu per satu kali siklus laktasi. Lumayan banyak bukan? Bayangkan bila dimanfaatkan dengan baik. Maka potensi ekonomi wilayah sekitar pun akan membaik. Selama ini, bukan tidak ada pengelolaan susu dari kerbau pampangan. Hanya saja masyarakat sekitar mengandalkan peralatan tradisional untuk membuat berbagai panganan sehingga produksinya masih cenderung kurang. Padahal, banyak panganan khas Sumatera Selatan yang mengandalkan susu kerbau pampangan sebagai bahan utamanya.
Susu yang Sudah Ada Disimpan untuk Diolah Kembali. (Dok. Antara)

1. Gulo Puan

Gulo Puan amat erat kaitannya dengan sejarah kerbau pampangan. Seperti yang dituliskan sebelumnya, gula inilah yang menjadi makanan para bangsawan Kesultanan Palembang. Gulo memiliki arti gula sedangkan puan adalah susu. Secara harfiah, gulo puan adalah gula yang dibuat dari susu. Namun, susu yang dipakai sebagai bahan baku gulo puan bukanlah sembarang. Panganan ini terbuat dari susu kerbau rawa murni Pampangan yang khas dan hanya hidup di daerah Ogan Komering Ilir.

Secara tampilan, gulo puan tak ubahnya seperti saus kacang karamel. Makanan ini berwarna kecokelatan dengan aroma khas susu yang menyengat. Bagi sebagian orang, aroma ini mungkin terlalu kuat untuk dibaui, namun inilah yang menjadi daya tariknya. Teksturnya lembut dan sedikit berbulir seperti pasir. Gulo puan memiliki rasa yang manis yang pekat dan gurih khas susu karamel. Dan karena rasanya ini, gulo puan amat cocok disandingkan dengan kopi pahit atau olesan roti.
Gulo Puan yang Dijajakan Kaki Lima. (Dok. Deddy Huang)
Tampilan Kecokelatan dari Gulo Puan yang Bikin Lapar. (Dok. Deddy Huang)
Tidak mudah membuat panganan ini. Susu yang telah diperah dari kerbau pampangan kemudian dicampurkan dengan gula dengan perbandingan 5 banding 1. Campuran itu dimasak dengan api yang kecil dan harus terus diaduk selama kurang lebih lima sampai tujuh jam. Nah, perlahan, campuran itu akan mengental dan lama kelamaan akan mengering membentuk gumpalan kecokelatan. Inilah yang dinamakan gulo puan. Yang mesti diingat, susu kerbau harus benar-benar dikeringkan dan tidak boleh ada kandungan air sedikitpun sebab dapat menghasilkan jamur. 

Kepopuleran gulo puan sebagai panganan khas Sumatera Selatan tidak sebanding dengan ketersediaannya di pasaran. Bisa dibilang gulo puan saat ini langka. Hal ini disebabkan karena produksi gulo puan amat tergantung dengan ketersediaan susu yang ada di peternakan Pampangan. Selain itu faktor ongkos produksi yang tinggi serta distribusi yang lumayan susah. Hal ini juga berimbas pada harganya yang tidak murah. Di Palembang sendiri, gulo puan dapat ditemui di Masjid Agung Palembang selepas salat Jumat. Biasanya, pedagang gulo puan akan menjajakan dagangannya secara kaki lima di gerbang utama Masjid Agung. Harganya bervariasi mulai dari Rp 20.000,- untuk bungkusan kecil hingga Rp 100.000 untuk per kilogramnya.
Gulo Puan Dijual juga Dengan Kantung-Kantung Plastik Kecil. (Dok. Dddy Huang)

2. Sagon Puan

Sama seperti gulo puan, sagon puan adalah makanan khas Sumatera Selatan dengan proses pembuatan yang serupa. Meski sama-sama terbuat dari susu kerbau pampangan, yang membedakan hanyalah hasil akhirnya. Bila gulo puan memiliki tekstur yang lebih lembut dan sedikit berpasir, lain halnya dengan sagon puan. Panganan ini memiliki tekstur yang kasar seperti bulir-bulir pasir—mirip kue sagon. Warnanya pun tidak terlalu pekat melainkan cokelat muda. Di sagon puan, ada tambahan telur pula.
Sagon Puan yang Langka. (Dok. Pribadi)
Keberadaan sagon puan sama sekali tidak terdengar.  Sagon puan ini merupakan produk agroekologis dari Desa Bangsal Kecamatan Pampangan Ogan Komering Ilir. Hal ini menyebabkan produksinya belum besar dan hanya sebatas pesanan. Bagi orang Sumatera Selatan pun, sagon puan asing terdengar.
Lebih Berbulir dari Gulo Puan. (Dok. Pribadi)

3. Minyak Samin

Mendengar kata samin, hal yang pertama kali terlintas di pikiran kita adalah nasi khas Arab. Itu sama sekali tidak sepenuhnya salah. Minyak samin memang biasa digunakan oleh komunitas orang Arab yang ada di Sumatera Selatan untuk membuat nasi samin. Saat Kesultanan Palembang berjaya, banyak budaya yang ikut masuk ke daerah Sriwijaya, termasuk komunitas wong Arab. Nah orang-orang ini tersebar di berbagai wilayah yang ada di Sumatera Selatan. Biasanya, orang-orang ini disebut dengan panggilan ‘saman’.
Ilustrasi Dadih untuk Minyak Samin. (Dok. Sarihusada)
Namun, ada yang berbeda dengan pembuatan nasi samin khas Sumatera Selatan. Penggunaan minyaknya itu dibuat dari susu kerbau pampangan juga. Jadi, susu yang telah diperah kemudian diendapkan sehingga lapisan dadihnya terpisah. Endapan berwarna putih ini memiliki aroma dan rasa yang mirip dengan mentega. Inilah yang kemudian digunakan sebagai minyak dalam pembuatan nasi samin. Sekilas, minyak samin ini juga mirip dengan ‘dadih’, panganan khas Sumatera Barat. Bila minyak samin diolah kembali, dadih biasanya disantap langsung sebagai teman lauk. Menarik bukan?




Berbicara tentang kerbau pampangan, kita pasti berbicara tentang pelestarian alam. Apalagi karena habitat kerbau rawa ini yang mayoritas adalah rawa lahan gambut. Ananto dan Pasandaran dalam Laporan Pengelolaan Lahan Gambut Di Provinsi Sumatera Selatan – Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007) menuturkan gambut dapat diartikan sebagai ekosistem basah yang dicirikan oleh adanya akumulasi bahan organik berupa sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dalam kurun waktu lama di tanah jernih air (Ananto dan Pasandaran, 2007). Oleh sebab itulah maka kebijakan pengelolaan lahan rawa harus didasarkan pada konsep pembangunan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Oleh karena kerbau pampangan adalah kerbau lokal yang harus dilestarikan, maka dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada di ekosistemnya harus sesuai dengan kaidah konservasi. Potensi untuk mengembangkan dan memanfaatkan lahan gambut beserta ekosistemnya harus terpadu dan memperhatikan prinsip kelestarian. Belum lagi lahan gambut menghasilkan emisi gas karbon (CO2) akibat oksidasi pada drainase. Hal ini meningkatkan risiko mudah terbakar sehingga menghasilkan bencana seperti kabut asap. Dan lagi ancaman bagi keanekaragaman hayati yang masih tersisa di lahan gambut yang jadi habitat berbagai fauna yang ada di ambang kepunahan.

Di sinilah peran masyarakat amat diperlukan. Masyarakat lokal sangat bergantung pada potensi yang ada di kawasan sumber daya alam. Pelibatan masyarakat lokal dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan yang juga dapat melindungi kawasan. Dalam hal ini kawasan Pampangan telah melakukannya dengan memanfaatkan keanekaragaman hayati di daerah mereka yaitu kerbau pampangan lalu menjadikannya komoditi pangan khas Sumatera Selatan seperti gulo puan, sagon puan, dan minyak samin. Namun upaya ini akan sia-sia bila pihak-pihak yang seharusnya mendukung malah lepas tangan.

Salah satu upaya nyata yang semestinya masyarakat lakukan adalah dengan mendukung pangan lokal. Dengan permintaan yang semakin banyak terhadap produk yang dihasilkan dari susu kerbau pampangan, secara tidak langsung kita juga mendorong aktivitas ekonomi yang ada di sana. Selain itu, bila produksi semakin meningkat diiringi dengan perhatian pemerintah yang sama besarnya, otomatis masyarakat akan dengan serius mengembangkan potensi kerbau pampangan. Menaikkan potensinya berarti ikut menjaga pelestarian alam di rawa lahan gambut sebab itu adalah tempat hidup para kerbau rawa. Dengan pelestarian kerbau pemampang juga berarti masyarakat dilibatkan langsung dengan pelestarian lahan gambut sehingga potensi terjadinya kebakaran dapat diminimalkan. Ini seperti efek domino. Satu perbuatan kecil kita yang sederhana memiliki dampak yang sangat luas bagi pelestarian alam dunia.

Indonesia dikaruniai keanekaragaman hayati yang tumpah ruah. Menurut berbagai sumber, Indonesia menempati urutan kedua di dunia. Dengan keanekaragaman yang begitu banyak, sudah tentu banyak potensi yang dapat kita manfaatkan. Contohnya kerbau pampangan yang berada di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan ini. Ibarat permata di kawasan rawa, potensi pangan berupa produksi makanan khas lokal yang Sumatera Selatan yang dapat dihasilkan dengan kerbau pampangan ini sudah tentu harus kita apresiasi. Gulo puan, sagon puan, dan minyak samin adalah contoh kecil pangan yang bisa kita dapatkan. Keren bukan?
Manusia dan Lingkungan Harus Berjalan Beriringan. (Dok. Antara)
Jadi, di hari Keanekaragaman Hayati 2019 ini, kita harus dapat membuka tangan kita dan bertekad mendukung produk-produk lokal hasil keanekaragaman hayati di daerah kita masing-masing. Dengan begitu kita sudah dapat melestarikan habitat mereka yang otomatis juga kembali pada diri kita sendiri. Sebab, alam tidak pernah salah, bukan?. Yang patut dipertanyakan adalah apakah manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. [bm]




Sumber Referensi:

Indonesian National Carbon Accounting System – Kementrian Lingkungan Hidup dan Hutan

Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak – Kerbau Pampangan

Nova Wahyudi – Melestarikan Kerbau Rawa Pampangan - Antara Foto

Irene Sarwindaningrum – Gulo Puan, Gula Bangsawan dari Pampangan - Kompas

31 komentar

  1. Menambah wawasan lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Senang dapat berbagi pengetahuan penting tentang alam kepada semua. :)

      Hapus
  2. wah baru tau ada kerbau pampangan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Bahkan di Sumatera Selatan sendiri lebih terkenal Gulo Puan meski gak tahu dari mana makanan itu dibuat. Makanya saya bikin ini untuk menaikkan awareness tentang hewan endemik lokal Indonesia. :)

      Hapus
  3. Udah lama banget gak lihat kerbau, baca blog ini jadi nambah khazanah ilmu pengetahuan baru... Terutama penasaran, sama gulo puan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mau? Nanti kukirim kalo mau sagon puan dan gulo puan. 😁

      Hapus
    2. Hahaha iya. Lain kali kakak bisa berkunjung ke Palembang dan nyicipin karamel asli dari susu kerbau itu. Enak loh. :D

      Hapus
  4. Aih keren jadi lebih paham kenapa kerbau itu bisa berada di Pampangan dan jadi kenal gulo puan sebagai sajian khas Palembang yang bahkan gak semua orang Palembang tahu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Sejarah kerbau pampang emang menarik buat diulik. :D Yuk lebih kenal dekat hewan lokal di sekitar kita.

      Hapus
  5. Wah, bangga dan selalu gunakan produk pangan lokal ternyata bisa turut membantu kelestarian alam dan keanekaragaman hayati kerbau rawa yang hewan endemik sumsel ya. Keren ..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar sekali. Dari apa yang kita makan ternyata berpengaruh juga ke alam. :)

      Hapus
  6. Baca ini menambah pengetahuan dan insight baru. Bahkan panganan khas daerah memiliki kisahnya sendiri :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makanan daerah selalu menyimpan kearifan lokal masyarakatnya, ya kak. :)

      Hapus
  7. Wah ternyata banyak ya manfaat dari kerbau lokal satu ini. Bisa diolah menjadi banyak produk pula.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Dari susu kerbau bisa jadi panganan khas yang memiliki rasa yang unik. :)

      Hapus
  8. gileee... kerbau disana gagah-gagah yak. asli saya jadi penasaran dengan rasa hasil olahannya. nais info Sobat

    salam blogger dan salam HOKI

    BalasHapus
  9. Wah ternyata banyak keanekaragaman hayati lokal yang nggak aku tahu. Makanan khas daerah pun bisa melestarikan alam ya. Terima kasih informasinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama. Semoga bisa membuka mata kita untuk mencintai produk keanekaragaman hayati lokal kita sendiri. :)

      Hapus
  10. Saya sering dengar gulo puan. Dan baru tahu kalau terbuat dari kerbau unik dan spesial. Keanekaragaman hayati yang luar biasa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Senang bisa berbagi ke lebih banyak orang tentang kerbau pampangan dan gulo puan, Kak. :)

      Hapus
  11. Tempatnya dan landskapnya asik juga. Jadi media pembelajaran

    salam
    kidalnarsis.com

    BalasHapus
  12. Pengin main2 ke Palembang lagiii
    Trus mau ikutan jelajah kuliner Palembang bareng Koh Deddy Huang
    Seru banget pastinya
    --bukanbocahbiasa(dot)com--

    BalasHapus
  13. Jadi penasaran banget nih sama kuliner yang pakai susu kerbau pampangan. Ayo dong, dilestarikan ya.

    BalasHapus
  14. asli tulisan ini keren...
    aku baru tau pembuata minyak samin dari kerbau jenis ini juga
    jadi pengen banget ke daerah OKU dan OKI asyik ini kalau dijelajahi

    BalasHapus
  15. Belum pernah lihat kerbau secara langsung,and begitu baca artikel ini jadi tambah pengen lihat bukan di tv aja.

    BalasHapus
  16. wah penasaran dengan gulo dan produk2 hasil dari susu kerbau ini.. Semoga lestari ya potensi keanekaragaman hayati Sumsel ini..

    BalasHapus
  17. Aku pernah baca-baca artikel yang bahas tentang kawasan ini, dan ini ditambah lagi sama kamu. Jadinya semakin tertarik untuk mendalaminya syukur kalau bisa kesampaian ke sana riset dalam waktu dekat

    BalasHapus
  18. Artikel edukasi untuk diriku. Ada tempat edukasi juga yang bisa kunjungi dan mengenal produk dalam negeri

    BalasHapus
  19. Sumatera Selatan ini kulinernya selalu di rindukan yaa..
    Dan aku sungguh baru tahu mengenai kerbau pampangan.

    Sungguh banyak yang bisa diperoleh dari hasil beternak kerbau pampangan yaa...

    BalasHapus
  20. Menarik banget pembahasannya. Di tempatku kayaknya nggak ada si kerbau ini. Soalnya bertaninya manual banget dan sawahnya nggak dibajak

    BalasHapus