Promp kedua dari @kampungfiksi adalah Kamera! Selamat menikmati, ya. Semoga suka.
Jangan lupa kirim kesan pesan di kolom komentar! ^^
*
gambar diambil dari sini |
*
#2
Di Balik Lensa Kamera Canon FTB QL
Rae
Bulan masih menggantung di langit
timur, tapi aku sudah duduk di tempat tidur. Sepanjang malam tadi, sejujurnya
aku tidak bisa tidur. Pikiranku sibuk melayang-layang tentang hari ini, hari
dengan sejarah baru yang akan kutorehkan dalam hidupku.
Tepat setelah sinar matahari perlahan
masuk melalui celah-celah jendela kamar, aku langsung bangun dari tempat tidur sembari senyum-senyum
sendiri membayangkan semua yang akan terjadi hari ini. Maksudku, hei, hari ini
adalah hari pertama aku jadi jurnalis Gema, majalah sekolah yang hits itu. Nggak salah bukan kalau aku
bergembira sedikit untuk merayakannya?
Dengan bersemangat, aku menyambar
handuk di belakang pintu kamar, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Lagu apa saja
tak hentinya keluar dari bibirku dan aku tak begitu peduli. Pokoknya, aku harus
cepat-cepat. Semua liputan sudah menungguku di sekolah.
Setelah selesai berbaju rapi plus
wangi, aku berlari keluar kamar menuju meja makan di lantai pertama. Di sana,
kulihat Bunda sedang sibuk bolak-balik membawakan makanan.
“Pagi!” seruku bersemangat lalu
langsung duduk di kursi. Bunda hanya menoleh sekilas ke arahku sambil
geleng-geleng kepala.
“Kalau turun ke bawah, coba bantuin
Bunda dulu, toh,” protes Bunda di tempatnya lalu ikutan duduk di kursi di
hadapanku.
Aku mengambil secentong nasi goreng
yang baru saja Bunda letakkan di atas meja lalu menaruhnya ke piringku.
“Ah, Bunda. Sekali-kali juga,” kilahku
sambil tersenyum. “Lagi pula hari ini adalah hari spesial!”
Alis mata Bunda terangkat. “Oh, ya?”
tanyanya dengan nada terkejut.
Mendengar itu, aku langsung menghentikan
gerakan sendok yang hendak masuk ke dalam mulutku kemudian memberikan
tatapan-tak-bisa-percaya pada Bunda. Bisa-bisanya Bunda lupa kalau ini adalah
hari pentingku? Bukankah aku sudah memberitahunya—bahkan tiap hari selama satu
minggu ini?
“Bunda...” ucapku pelan dengan nada
kecewa.
Wanita di hadapanku malah mengangkat
bahu, memberikan raut muka yang seolah tak tahu apa-apa.
“Hari ini hari pertama aku masuk Gema,
Bun. Masa’ Bunda lupa?”
Bunda menatapku heran sembari menepuk
keningnya. “Bunda lupa! Maaf, ya, Sayang.”
Aku mengerucutkan bibirku, kesal. Tapi,
sebelum sempat aku mengutarakannya, Bunda beranjak dari tempat duduknya menuju
dapur sekali lagi lalu kembali membawa sebuah kotak yang cukup besar berwarna
cokelat.
Setelah duduk, Bunda mengulaskan
senyum.
“Bunda nggak lupa, kok,” katanya
lembut. “Mana mungkin Bunda lupa wong kamu
ngingetin Bunda tiap hari sampai-sampai Bunda hapal di luar kepala.”
Aku nyengir. “Ah, Bunda,” ucapku sambil
menahan malu.
“Nah ini sebagai hadiahnya.”
Wanita itu menyodorkan kotak cokelat
tadi kepadaku. Aku menerimanya dengan kedua tangan dengan kening berkerut.
“Apa ini, Bun?”
“Coba kamu buka.”
Aku menuruti kata-kata Bunda. Dengan
cepat, aku membuka tutup kotak tersebut dan terlihatlah sebuah kamera berwarna
hitam dan perak yang mengilap di sana. Aku mengerjapkan mata tidak percaya lalu
beralih menatap Bunda.
Bunda kembali tersenyum.
“Itu kamera analog. Canon FTB QL. Masih
pakai film. Punya Bunda dulu,” jelas Bunda setelah melihat raut mukaku yang
ternganga.
“Kamera itu yang Bunda gunain waktu
dulu tugas jadi jurnalis kampus,” lanjutnya. “Selain itu, dari kamera itu juga,
Bunda pertama kali menangkap sosok Ayah.”
Kulihat mata Bunda berkaca-kaca. Ada
air mata yang ia tahan di sana. Sama sepertiku. Kami terdiam lama. Ada hening
yang panjang.
Memang selalu begini. Tiap kali nama
Ayah disebut, atau tak sengaja teringat, mata Bunda akan berkaca-kaca—tidak menangis.
Pun aku, seolah-olah kenangan tentang Ayah kembali berputar liar di dalam otak,
menjelma jadi rindu yang tidak tersampaikan.
“Bun...”
Wanita itu menyeka air matanya yang
belum sempat jatuh. “Pokoknya, sekarang ini buat kamu. Kamu kan mau jadi
jurnalis sekolah,” ucapnya lagi. Nada suaranya kembali seperti semula, seolah
tadi tidak terjadi apa-apa. “Bunda sudah cek semuanya. Di dalamnya juga sudah
Bunda kasih rol film. Pokoknya kamu tinggal pakai dan pelajari.”
“Tapi, ini kan barang berharga, Bun...”
Bunda menggeleng pelan. “Berharga kalau
ia tetap bisa berguna. Kalau cuma ditaruh begitu saja, paling nanti terlupa.”
Aku kembali menatap benda yang ada di
dalam kotak itu. Benda kenangan bunda.
“Sudah, sekarang habiskan dulu
sarapanmu. Setelah itu kamu boleh mengutak-atik kamera itu.”
Napasku mendadak sesak. Segera aku
berdiri lalu menghambur memeluk Bunda. Ia membalas pelukanku sembari
menepuk-nepuk kepalaku pelan.
“Pokoknya, kamu pasti jadi jurnalis
hebat kayak Bunda!” serunya di sela pelukan.
Dan aku mengiakan.
*
Gema adalah nama majalah di SMA-ku.
Sebuah pusat informasi segala hal tentang sekolah—gosip, pengetahuan, hiburan,
berita, segalanya bercampur di situ. Selama ini, Gema menjadi hal yang paling
bergengsi di sekolah. Untuk masuk ke dalam klub majalahnya pun, kita harus
berjuang ekstra keras. Dan setelah satu tahun berjuang, akhirnya Gema
menerimaku.
Jadi, setelah bel istirahat berbunyi
nyaring tadi, aku bergegas membereskan buku-buku di meja. Tujuan akhirku jelas,
sebuah ruangan yang terletak di bagian paling ujung SMA 35. Ruangan yang berisi
orang-orang di balik Gema. Ruangan yang nantinya akan menjadi ruanganku.
“Mau ke Gema?” Rini, teman satu meja
denganku bertanya.
Aku mengangguk.
“Aku masih nggak habis pikir kau bisa
masuk ke sana,” katanya lagi dengan tatapan yang tak bisa percaya.
Aku menarik ujung bibirku. “Kau saja
tidak percaya, apalagi aku!” sahutku sambil terkekeh geli.
Rini menjulurkan lidahnya. “Memang ada
beberapa orang yang hidupnya penuh dengan keberuntungan.”
“Atau kerja keras,” ralatku. “Kau kan
tahu tiap hari sepanjang tahun kemarin aku selalu ingin untuk masuk ke Gema.
Dan ternyata, seperti kata orang, kerja keras tak akan mengkhianatimu.”
Perempuan itu menoyor pelan lenganku. “Apa
katamu!” balasnya.
Aku mengalungkan kamera yang tadi pagi
kuterima dari Bunda masih sambil terkekeh. “Pokoknya, doakan, ya!”
Rini menepuk pundakku, memberi
semangat.
Tanpa babibu lagi, aku langsung menuju
ruangan Gema. Tak sampai lima menit, aku sampai di sana.
“Halo!” sapaku lantang saat baru saja
melangkahkan kaki di ruangan itu.
Dari ekor mataku, aku dapat melihat
jelas ruangan klub bergengsi ini. Ruangan yang cukup besar—mungkin hampir sama
ukurannya dengan kelasku. Berwarna krem dengan lantai keramik putih. Di sisi
belakang, ada tiga komputer yang saat ini sedang dipakai oleh dua siswa
laki-laki—yang hmm.. aku belum tahu namanya—sementara satunya mati. Di sisi
sebelah kanan, terdapat papan panjang yang di permukaannya tertempel berbagai
jenis kertas dan tulisan warna-warni. Di sebelah kiri, terdapat kulkas (aku
juga tidak percaya ini!) dan beberapa lemari yang memuat alat bantu
jurnalistik. Sementara di tengah ruangan, sebuah meja bundar berdiri kokoh dengan
kursi-kursi yang mengelilinginya.
Untuk sesaat, seluruh bulu kudukku
berdiri.
“Kau Rae Anjani, kan?” Satu dari mereka
kemudian berdiri menyambutku. Matanya sibuk menerawangku dari atas sampai
bawah.
“I—iya,” kataku gagap, tak siap
menerima perlakuan seperti itu.
Ia menyodorkan tangannya ke arahku, dan
aku menerimanya. “Aku Siska. Pakai ‘k’. Anak IPS 2. Bisa panggil Sis, Ka, atau
Siska. Asal jangan panggil Sayang aja. Sebab aku sudah punya pacar.”
“Eh? Apa?”
Otakku yang lambat ini sepertinya belum
bisa membaca situasi.
Perempuan bernama Siska dengan ‘k’ ini
langsung terkikik geli. “Santai aja, Rae. Santai,” ucapnya lalu nyengir.
“Ng... Anu...”
“Pokoknya selamat datang di Gema.
Sekarang, anak-anak lagi pada beli makanan di kantin. Di sini cuma ada aku,
terus Beno, dan Angga.”
Merasa disebut namanya, kedua orang
yang berkutat dengan komputer tadi menoleh ke arah belakang dan tersenyum. Aku
langsung saja membalas senyumannya.
Siska lalu menarik tanganku untuk duduk
di kursi di kecil yang ada di sekeliling meja bundar.
Baru saja aku duduk, perempuan itu kembali bertanya, “Jadi, bagaimana?”
Aku menggaruk kepalaku. “Bagaimana
apanya, ya, Sis eh Ka, eh Siska?”
Siska tertawa melihat tingkahku. Dan
ya, kalau dipikir-pikir konyol juga, sih.
“Gema, rae. Bagaimana rasanya masuk
Gema?”
Mendengar pertanyaannya, aku mengangguk
mengerti. “Sama sekali nggak seperti yang kupikir,” jawabku.
Itu adalah jawaban jujur. Sangat jujur
malah. Gema di benakku selama ini mungkin seperti kamp militer. Semua orang
yang sibuk dengan tugasnya masing-masing, berkutat dengan deadline, diskusi alot, sampai sibuk mendesain majalah. Orang-orang
di balik Gema pun kukira adalah tipe orang-orang yang irit senyum, wajah-wajah
serius yang bisa meledak marah kapan saja jika ada sesuatu yang nggak beres.
Untuk itulah, jauh-jauh hari aku sudah mempersiapkan diri.
Tapi, yang kulihat berbeda. Jauh dari
pikiranku sebelumnya.
“Orang-orang memang sering berpikiran
aneh tentang Gema,” kata Siska lagi. Kali ini suaranya biasa saja. “Tapi,
setelah tahu dan kenal semuanya, Gema itu tempat asik, loh.”
Sejujurnya, aku bingung ingin
menanggapi perkataan itu seperti apa. Jadinya, aku hanya memberikan seulas
senyum yang canggung.
“Oh, ya, tampaknya kau sudah siap jadi
anggota Gema.”
Aku membenarkan posisi dudukku. Tegap. “Maksudnya?”
Siska menunjuk benda yang tergantung di
leherku. “Itu.”
“Kamera ini?” Aku mengangkat benda itu.
“Pemberian Bunda. Katanya biar jadi jurnalis hebat seperti Beliau.”
“Ibumu jurnalis?”
Aku mengangguk. “Sewaktu kuliah.
Jurnalis kampus. Saat itulah Bunda bertemu dengan Ayah.”
Kudengar perempuan itu berdecak. “Wah,
kalau begitu, mungkin kau juga akan menemui jodohmu?” godanya.
Mukaku memerah. “Nggak kok,” kilahku. “Ngomong-ngomong,
ada berapa yang diterima di Gema sekarang, Sis?” Aku berusaha mengalihkan
perhatian sembari memainkan kamera yang ada di tangan.
“Satu. Cuma kau,” jawab Siska singkat. “Tapi,
ada tambahan satu lagi dari kepala sekolah.”
Jawaban itu tak terdengar di telingaku.
Kini aku sedang asik mengutak-atik kamera di tanganku. Aku mendekatkan kamera
itu ke mata lalu melihat melalui layar kaca kecil yang terletak di bagian atas
kamera.
Dari sana, aku bisa melihat sesosok
laki-laki sedang berdiri dengan tampang yang menakutkan sedang menatap langsung
ke arah kameraku. Tatapannya tajam bak elang. Aku terdiam kemudian tak sengaja
menekan tombol lewat jari telunjukku.
Klik.
“Itu dia... Kaisar, silakan masuk.”
Siska berdiri sementara aku melepaskan
pandanganku dari kamera. Kini sosok itu nyata di hadapanku. Laki-laki yang tadi
tertangkap di balik lensa kamera Canon FTB QL.
*
Tidak ada komentar
Posting Komentar